Trimurti.id – Pada pagi yang hujan, saat orang-orang masih berjibaku dengan dering alarm mereka masing-masing, tiba-tiba saja notifikasi whatsapp berbunyi.
“Intinya adalah tidak ada kenaikan gaji pokok bagi siapapun,” tulis Rivaldi (29), seorang guru honorer yang bekerja di salah satu SMP Negeri Kota Sukabumi, Selasa (3/12).
“Non ASN yang mempunyai sertifikasi akan diberikan Rp2.000.000. Sertifikasi sebelumya, Rp1.500.000, sehingga hanya naik Rp500.000. Bagi ASN yang memiliki sertifikasi, uang sertifikasi satu kali gaji pokok,” pungkasnya.
Guruku sayang, guruku malang. Dibelenggu dan ditipu tampaknya lebih terlihat pas dan cocok untuk menggantikan adagium dari digugu (dipatuhi) dan ditiru. Peringatan Hari Guru Nasional sekaligus Hari Ulang Tahun PGRI telah menginjak usia 79 tahun. Pada usianya yang cukup renta, kesejahteraan para guru pun kebanyakan masih terlunta-lunta.
Santer terdengar, tahun 2023, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia. Urutan tersebut tentu masih terbilang jauh dari kata berkualitas. Namun pertanyaannya adalah, bagaimana caranya mendorong pendidikan di Indonesia jadi berkualitas jika kualitas hidup para pendidik yang mengemban tanggung jawab besar ini masih berada di lubang kesengsaraan dan ketidakpastian?
“Salah satu kejahatan pada upah honorer adalah kebijakan jam mati. Kerja sebulan dibayar seminggu,” kata Rivaldi dengan mata menyiratkan kekesalan, Jumat (29/11)..
Menurutnya, jika bukan karena kebijakan jam mati, sudah dipastikan upah untuk mengajar selama satu bulan tidak akan berjumlah Rp1.700.000.
Sebagai guru Bahasa Indonesia, Rivaldi mengajar 30 jam pelajaran per minggu dengan bayaran Rp57.500 per jam. Dengan perhitungan sederhana, seharusnya ia menerima Rp6,9 juta per bulan (Rp57.500 x 30 jam x 4 minggu).
“Lebih kaya dibanding ASN, harusnya. Dan tentunya, bakal jadi sejahtera, dong,” katanya sembari tersenyum kecil. “Untung lajang. Masih belum ada kebutuhan-kebutuhan lain, walau pun ada kebutuhan orang tua sih.”
Dengan upah sekecil itu, jangankan menabung, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja Rivaldi masih kesulitan.
Dengan upah yang demikian kecil itu, ia bercerita mengenai pengalaman pahitnya pada beberapa bulan sebelumnya. Ia mengaku, pernah selama tiga hari berturut-turut hanya makan nasi saja tanpa ada lauk yang menyertainya. Kesulitan ini ditanggung sendiri, karena ia tak mau sampai merepotkan ibu dan adiknya di rumah.
Apakah ia kemudian menambah pekerjaan lain untuk menambal berbagai kekurangan dari penghasilan yang dimilikinya selama satu bulan? Sambil menarik napas panjang dan terkekeh, ia mantap mengatakan tidak, “Idealnya nyari kerja lain, tapi pertimbangannya adalah nggak mau capek. Sebenarnya sekolah itu capek pikiran, capek batin. Bukan fisik. Karena menghadapi siswa.”
Berbeda dengan Rivaldi, Nurul (26), perempuan lajang dari Jakarta, telah 5 tahun menjadi guru. Karena upah mengajar di satu sekolah tidak cukup, ia mengampu mata pelajaran IPS di sebuah SMP swasta di Jakarta Utara, mengajar ekstrakurikuler di TK di sela hari libur, mengajar di SD pada Sabtu, dan bekerja sebagai freelancer di tengah kesibukannya.
Bukan tanpa alasan seminggu penuh ia disibukkan dengan bekerja. Jika hanya mengandalkan upah mengajar dari satu sekolah saja, sudah barang tentu itu tak dapat menambal apa-apa. Namun ternyata, jika upahnya ditotal pun, besarannya tak berbeda jauh dengan Rivaldi yang berada di wilayah Kota Sukabumi. Ia mengaku, selama satu bulan hanya mengantongi upah sebesar Rp2juta
Saat dihubungi melalui saluran WhatsApp pada Sabtu (30/11), menurutnya pekerjaan menjadi guru lebih cocok bagi mereka yang berlimpah harta. “Yang kerja sebagai hobi, bukan kerja nyari duit,” katanya berkelakar.
Baca juga: Guru Honorer Dalam Pusaran Politik Elektoral
Nurul kemudian berkisah, kondisi kerja guru-guru di Indonesia masih belum bahkan jauh untuk dapat dikatakan berada di standar layak. Apalagi bagi mereka yang statusnya sebagai guru di sekolah swasta yang masuk dalam kategori sekolah menengah ke bawah. “Pengupahannya jauh dari kata layak.”
Keaktifannya di organisasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) sebagai divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang), membuatnya jadi banyak tahu mengenai praktik upah murah yang menimpa guru-guru lain. Ia kemudian menjelaskan, bahwa di beberapa sekolah swasta yang lain, Nurul menemukan guru-guru yang masih diupah sebesar Rp800.000.
Bayangkan, untuk ukuran tinggal di Jakarta yang standar upah minimumnya tembus di angka Rp5.396.761, sepertinya tak perlu kemudian kita tanyakan apakah Rp2.xxx.xxx dapat mencukupi biaya bulanan apalagi kepada mereka yang hanya mengantongi Rp800.000. Dengan pilihannya bekerja di lain tempat pun, seharusnya kita sudah tahu betul, bahwa praktik upah murah masih terus menjerat para guru sekalipun ia berada di wilayah pusat pemerintahan negara.
Untuk diketahui,komponen penghitungan upah Nurul dan Rivaldi masih sama, sama-sama menggunakan penghitungan jam mati. Untuk lebih jelasnya adalah: Rp600.000 untuk upah mengajar selama 15 jam, Rp120.000 tunjangan wali kelas, dan Rp1.000.000 biaya transport harian (Rp50.000 x 5 hari x 4 minggu). Maka, total upah keseluruhan Nurul hanya berkisar Rp1.720.000.
Di sekolah, tentunya kita sudah mafhum bahwa dari jenjang sekolah dasar sampai menengah atas, mata pelajaran matematika adalah mata pelajaran wajib. Namun ketika melakukan penghitungan upah, entah teori matematika yang mana yang dipakai sampai mengeluarkan kebijakan jam mati. Meski begitu, kebijakan jam mati ini tentu tidak berlaku di semua sekolah. Ada pula jam hidup, yakni penghitungan upahnya dihitung berdasarkan jumlah jam pelajaran selama satu bulan.
Hanya saja, tentu tidak seperti Rivaldi atau Nurul yang bayaran untuk satu jam pelajarannya tidak berada di angka Rp50.000. Ini terjadi kepada Farida (29), seorang ibu muda dari Karawang yang baru saja kembali mengajar setelah melahirkan. “Per Jam (dibayar) Rp8.000.” tulis guru bahasa inggris di salah satu SMP swasta di Karawang, saat ditanya melalui saluran WhatsApp Senin (2/12).
“Bulan ini aku belum tau ada berapa jam, ga ngitung soalnya hehe–dan baru masuk juga di bulan ini. Perihal cukup engganya untuk sebulan tentu tidaks dong ya haha,” tulisnya. “Tapi kebetulan upahnya engga buat kebutuhan sehari-hari sih.”
Perempuan yang biasa dipanggil Ida ini memang berada dalam jerat upah murah, tetapi, ia mengaku tak masalah. Selain mengajar hanya untuk membantu pendapatan lain dari suaminya, ini jadi salah satu cara untuk dia dapat menghabiskan waktu luang. “Di awal wawancara (oleh sekolah) juga udah dikasih tau kalau upahnya sekian per-jam, nggak apa-apa, nggak? Dan yaa gapapa. Karena (waktu kerja) fleksibel, jadi sekarang sebagai ibu muda juga alhamdulillah membantu banget.”
Selain paparan fakta yang telah dikatakan oleh beberapa narasumber sebelumnya, survei kesejahteraan guru yang telah dilakukan Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada Mei 2024 menyebut, sebanyak 74 Persen Guru Honorer dibayar Lebih Kecil dari Upah Minimum Terendah Indonesia.
Survei tersebut dilakukan secara daring terhadap 403 responden guru di 25 Provinsi memiliki komposisi responden Pulau Jawa sebanyak 291 orang dan Luar Jawa 112 orang. Responden survei terdiri dari 123 orang berstatus sebagai Guru PNS, 118 Guru Tetap Yayasan, 117 Guru Honorer atau Kontrak dan 45 Guru PPPK.
“Survei tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 42 persen guru memiliki penghasilan di bawah Rp2 Juta per bulan dan 13 persen diantaranya berpenghasilan dibawah Rp500 Ribu per bulan,” kata Muhammad Anwar, Peneliti IDEAS dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (21/05/2024).
Bayang-bayang ketidakpastian
Belum selesai dengan masalah kesejahteraan yang tak kunjung memihak, para guru masih harus disibukkan dengan masalah-masalah lain terkait kondisi dan status kerja yang labil.
Upah yang jauh dari kata layak dan ketidakjelasan status kerja, membuat para guru honorer di tempat Rivaldi kerap dijadikan seperti kambing hitam lalu mau tidak mau mesti patuh dan bungkam. “Guru honorer itu rentan. Karena SK-nya itu dipegangnya langsung oleh sekolah. Jadi kalau ada apa-apa, sekolah bisa tinggal cabut (memecat),” kata Rivaldi, saat ditemui di kediamannya, Jumat (29/11).
Apalagi, menurutnya, masih ada dinding diskriminasi yang membentang antara honorer dan ASN. Sehingga para guru honorer di sekolah itu kerap berujung jadi kambing hitam. ”Kalau ada kesalahan apa pun di guru PNS atau ASN. Kita tuh lebih tertekan kalau ada kesalahan itu.”
Rivaldi kemudian bercerita, salah satu contohnya adalah kasus membolos yang sering terjadi di sekolah tempat ia mengajar. Meski ia sangat yakin bahwa sebenarnya yang sering membolos itu adalah guru-guru ASN. Buntut dari masalah-masalah membolos ini menyebabkan para guru honorer di tempatnya bekerja, merasa terpojokan akibat adanya peringatan yang bernada ancaman pemecatan jika kedapatan membolos dan tidak profesional.
“Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan pernah ngomong begini ke guru honorer. Intinya, ‘hati-hati guru honorer, wajib masuk kelas. Karena kalian sedang dipantau oleh Kepsek.’” Ujar Rivaldi sambil menirukan perkataan Wakil Kepala Sekolah.
Posisi yang aman dan dengan status jelas yang dimiliki oleh para ASN, menurut Rivaldi, terkadang membikin mereka jadi seenaknya. Berbeda dengan honorer, Kepala Sekolah tak memiliki wewenang untuk melakukan pemecatan jika saja ada kejadian-kejadian luar biasa yang menimpa para ASN, selain hanya mampu memberikan surat rekomendasi terhadap dinas terkait. “PNS kalau melakukan sesuatu, dia jarang ada yang dipecat. Paling mutasi,” katanya. “Bagi saya, bahkan hampir di semua sekolah pasti posisi guru honorer itu kayak gitu.”
Baca juga: Guru Adalah Pekerja, Guru Berhak Berserikat
Senada dengan Rivaldi, Ryan (29), salah seorang guru honorer asal Tasikmalaya yang merantau dan melabuhkan pilihannya mengajar di salah satu SMPN Depok menjelaskan bahwa status mereka sebagai guru honorer begitu tidak jelas. Meskipun ada kebijakan pemerintah daerah untuk mengupah guru honorer, namun ketidakpastian masa depan dan jenjang karir, tetap menjadi beban.
“Kami sering diiming-imingi saja. Pokoknya mah selain guru PNS atau P3K, di Depok, ada PKTT (Pegawai Kontrak Tidak Tetap), katanya. Tapi bagi yang (masa kerjanya) di bawah dua tahun itu nggak tahu nasibnya kayak gimana. Soalnya data mereka nggak ada di Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK)
Kasus di Depok tergolong berbeda. Karena para honorer yang bekerja terutama di sekolah Ryan, tidak berada di bawah pengawasan Kepala Sekolah. Melainkan berdasarkan Surat Perintah Kerja yang berlaku untuk kontrak satu tahun yang langsung dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Kota Depok berdasarkan Peraturan Wali Kota Depok Nomor 81, Tahun 2021 tentang Pelaksana Kegiatan Tidak Tetap. Alhasil, sistem pengupahannya pun berdasarkan APBD dan bukan dari dana BOS.
Meski ia termasuk dalam kategori pekerja yang mumpuni untuk mendaftarkan diri sebagai PKTT karena telah selama 5 tahun lebih mengajar di SMPN tersebut, Ryan tetap berharap bahwa masalah ketidakpastian kerja ini segera diselesaikan.
Meski telah mengajar lebih dari 5 tahun di SMPN tersebut dan memenuhi syarat sebagai PKTT, Ryan berharap ketidakpastian status honorer segera diselesaikan. Ia menegaskan perlunya regulasi yang jelas untuk mengelola status honorer.
“Kita bisa dipecat kapan saja, mungkin besok atau lusa,” ujarnya dalam wawancara via telepon, Selasa (3/12).
Isu ini semakin mengemuka setelah keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri PANRB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 tentang penghapusan tenaga honorer di instansi pemerintah. Meski belum ada pemecatan di tempatnya mengajar, Rivaldi mengaku cemas.
“Saya deg-degan waktu ada isu itu,” katanya.
Kecemasan ini beralasan. Selain kebijakan Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) yang tidak memihak, honorer bisa dengan mudah tergantikan jika ada ASN yang masuk ke sekolah negeri.
Masalah mentalitas
Sepertinya, semua orang akan bersepakat bahwa kelelahan yang timbul saat bekerja sebagai guru lebih banyak menyasar masalah mentalitas dan yang menyangkut isi kepala.
“Udah upahnya minim, jaminan sosial nya juga nggak ada,” keluh Nurul.
Nurul kemudian mengaku, bahwa di sekolah tempatnya bekerja, dirinya sama sekali tidak memiliki jaminan sosial apa pun. “Jujur, di sekolah aku, masih belum ada guru BK. Pun nggak ada ruang konseling. Jadi, semua numpuk aja di ruang guru. Kami juga nggak ada BPJS Ketenagakerjaan. Berhubung sekolahnya ini memang sekolah menengah ke bawah.”
Status sekolah menengah ke bawah jadi semacam alasan bagi absennya perlindungan-perlindungan yang mesti dimiliki oleh pekerja, khususnya guru, pekerja di sektor pendidikan. Menurut Nurul, absennya jaminan-jaminan sosial ini tak hanya terjadi di tempat ia bekerja. Di banyak sekolah swasta lain, khususnya menengah ke bawah, kondisinya demikian sama.
“Jadi yang sekolahnya berjalan seadanya gitu. Jadi improve-nya, pelan-pelan gitu. Tapi, ‘kan kita jadi bisa melihat, bahwa banyak guru yang bertahan tanpa jaminan sosial dan tanpa perlindungan lain yang seharusnya dimiliki para pekerja.”
Idealnya, menurut Nurul, sekolah memiliki ruang dan guru khusus untuk konseling yang tak hanya melayani curhatan para siswa, tetapi juga keluh kesah para guru yang bekerja di sana. “Karena bagaimana pun, guru adalah pekerja dan kita berhak untuk dilindungi hak-haknya untuk tetap bisa sehat dan tetap sejahtera secara mental dan fisik,” kata Nurul saat ditanyai mengenai jaminan sosial dan kesehatan bagi guru.
Lain hal dengan Rivaldi. Barangkali ia adalah guru yang cukup beruntung.
“Menurut penuturan guru yang sudah P3K dan pindah mengajar ke sekolah lain, katanya, di SMP saya tuh udah bagus secara perlindungan terhadap pekerja guru honorer,” katanya sambil mengingat-ingat.
Ia menjelaskan, di sekolah tempatnya bekerja, para pekerja yang statusnya honorer, didaftarkan untuk mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan untuk Jaminan Kecelakaan Kerja. Uang iuran untuk pendaftaran tersebut bersumber dari pemotongan upah yang ia peroleh selama satu bulan mengajar.
“Saya dapet upah Rp57.500/jam. Yang 2500 itu untuk BPJS Ketenagakerjaan, untuk kesehatan, ya masing-masing,” pungkas Rivaldi.
Keberadaan Rivaldi, Nurul, Ryan, dan Farida mungkin terhalang oleh batas-batas wilayah tertentu dan dengan ratusan kilometer jauhnya. Namun, di balik itu, ada benang merah yang kemudian dapat menghubungkan rentang jarak yang nan jauh itu; berbagai masalah pelik dan kusut guru dan guru honorer di Indonesia.
Guru adalah pekerja. Guru adalah manusia. Barangkali bukan cuma pendekatan ketenagakerjaan yang dibutuhkan guru, tetapi adalah bagaimana caranya para guru ini diperlakukan selayaknya manusia yang bermartabat tanpa perlu embel-embel moral dan segala macam mistifikasi yang menyertainya: cukup sejahterakan mereka dan penuhi haknya sebagai pekerja.
“Guru adalah profesi. Guru adalah pekerja. Jangan bilang kita dibayar pahala, dibayar di surga. Iya kalau (surga) ada, kalau nggak ada, gimana?” kata Nurul, diikuti suara yang berapi-api, tanpa tedeng aling-aling.
Reporter: Rokky Rivandy, Syawahidul Haq
Editor: Ilyas Gautama
Atikel ini merupakan bagian dari seri tulisan Guru Honorer dan Politik Elektoral