Categories
Telusur

Guru Adalah Pekerja, Guru Berhak Berserikat

Trimurti.id Pasangan Pilgub Jawa Barat nomor urut empat, Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, yang keluar sebagai pemenang untuk periode 2024-2029 ini memiliki program unggulan mengenai peningkatan pendidikan. 

Dedi-Erwin berkomitmen menyediakan pendidikan gratis untuk jenjang SMA/SMK. Selain itu, dalam menanggulangi ketimpangan ruang kelas sekolah-sekolah di Jawa barat, mereka akan membangun ruang kelas tambahan, khususnya bagi sekolah berstatus negeri. 

Melansir  publikasi Mendikbudristek tahun 2023, guru PNS jenjang Sekolah Menengah di Jawa Barat berjumlah 19.001 atau sekitar 19,76%. Sedangkan guru bukan PNS jenjang Sekolah Menengah di Jawa barat berjumlah 77.177 atau sekitar 80,24%.

Dikutip dari Ayo Bandung, kebutuhan guru di Jawa barat pada 2024 berjumlah 8.974 orang. Sedangkan, kuota untuk Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hanya 1.529 orang saja. Kesenjangan jumlah antara kebutuhan dan ketersediaan guru, tentu akan semakin melebar ketika program Dedi-Erwin ihwal penambahan ruang kelas baru di seluruh sekolah negeri di Jawa Barat berjalan.

Jika tidak ada pembenahan terkait masalah kekurangan guru, maka beban guru akan semakin meningkat. Padahal dalam Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008, telah diatur mengenai rasio ideal guru dalam mengejar sesuai jenjang pendidikan murid. Rasio tersebut adalah sebagai berikut:

  • SD/MI: 1 guru untuk 20 peserta didik.
  • SMP/MTs: 1 guru untuk 20 peserta didik.
  • SMA/MA: 1 guru untuk 15 peserta didik.

Penambahan jumlah kelas tanpa menambah jumlah pengajar sama saja dengan melanggar Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 mengatur tentang rasio ideal guru terhadap peserta didik. Padahal, pasal ini bertujuan untuk menjaga kualitas pendidikan dengan memastikan bahwa guru tidak dibebani terlalu banyak peserta didik, sehingga proses pembelajaran dapat berjalan efektif.

Di sisi lain, masalah kesejahteraan guru tidak dilihat oleh pemimpin Jawa Barat mendatang, Dedi-Erwan. Meskipun isu ini pernah dibicarakan oleh paslon lain atau dalam kampanye pilkada Jabar sebelumnya, nyatanya problem kesejahteraan guru hanya menjadi topik seksi tanpa solusi nyata. Lebih parah lagi, pekerjaan guru, khususnya honorer yang rentan, hanya diekstrak kerentanannya untuk mendulang suara. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mendapat laporan bahwa di beberapa daerah terdapat kepala daerah yang menginstruksikan kepada Dinas Pendidikan dan para Kepala Sekolah untuk memilih salah satu paslon di Pilkada 2024. Paslon yang dikampanyekan biasanya memiliki keterkaitan dengan pemerintah sebelumnya.

“Ya bukan hanya guru honorer sebetulnya, guru secara umum menjadi lumbung suara dalam pilkada sangat tinggi sekali” Ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G (12/4/2024).

Hal itu juga terbukti dalam Pilkada 2024 di Jawa Barat ini. Selain lobi-lobi “bawah meja”, beberapa organisasi berbasis guru dikunjungi dan mendeklarasikan dukungan terhadap salah satu paslon. Seperti beberapa organisasi guru yang mendukung paslon Dedi-Erwin.

“Kami sedang cek, kira-kira hak-hak guru apa saja yang terenggut oleh situasi Pilkada ini” tukas Iman.

Sejauh ini P2G tidak ikut berkecimpungan dalam sorak-sorai Pilkada 2024. Secara organisasi Iman ingin memastikan bahwa anggotanya tidak dimanfaatkan dalam politik elektoral yang baru saja berlangsung. P2G menjunjung independensi sebagai pilar organisasi agar anggotanya tetap kritis, bebas, dan merdeka.

Dalam menjaga independensi organisasi, Iman menganjurkan para guru untuk tetap memiliki pilihannya pribadi sehingga terhindar dari mobilisasi suara. Baginya ini merupakan tindakan menjadi warga negara yang baik sebagai guru. 

“Mereka (anggota P2G) harus tetap menjadi warga negara yang baik dan saya kira tetap ya bahwa mereka itu berprofesi guru tidak boleh diintimidasi dan perlakukan mereka sebagaimana warga negara secara umum” ujar Iman.

Pendapat lain diutarakan oleh Andi Febriansyah (27), Juru Bicara Guru Honorer Muda (GHM). Mereka tidak terlibat dalam politik praktis atau mendukung salah satu paslon di Pilkada 2024 karena tindakan itu dirasa akan mengkerdilkan sikap kritis Guru Honorer Muda (GHM).

“Beberapa tahun ke belakang memang ada guru honorer yang terlibat dalam politik praktis namun bagi saya sendiri memihak dalam politik praktis adalah sebuah keniscayaan karena lagi-lagi guru honorer dijadikan komoditas semata atau dipelihara sebagai ajang pemilu lima tahunan.” ujar Andi (12/2/2024).

Guru Honorer Muda (GHM) menganggap mendukung salah satu paslon atau masuk dalam politik praktis merupakan salah satu pilihan. Tapi  mereka enggan terjebak dalam aktivitas politik elektoral semata. Mereka tidak melihat ada yang benar-benar ingin mengatasi masalah guru honorer di Pilkada seluruh Indonesia.

“Jangan menjadikan politik praktis sebagai mendulang karir, karena lagi-lagi sudah berapa kali pemilu, itu guru honorer hanya dijadikan lumbung suara saja.” tukas Andi.

Guru honorer bagi Andi hanya “komoditas politik” baik Pilpres maupun Pilkada yang seolah-olah dipelihara agar kondisinya tetap rentan. Andi menganggap semua calon di Pilkada hanya “belanja isu”. Guru honorer, termasuk isu yang “seksi” dan dibeli, lantas dipakai isunya oleh para calon. 

Baca juga: Guru Honorer Dalam Pusaran Politik Elektoral

“Namanya janji sangat sulit direalisasikan. Apalagi saat ini yang lagi gencar yaitu di media bahwasanya gaji guru naik atas pidato Prabowo. Nyatanya bukan gaji guru yang naik tapi tunjangan guru yang sudah tersertifikasi baik itu ASN maupun non ASN” ujar Andi.

Maulana Malik Ibrahim (25), Juru Bicara Guru Honorer Muda (GHM), juga melontarkan komentarnya terkait guru honorer dalam kontestasi Pilkada 2024. Maulana pikir organisasi-organisasi yang ikut dalam politik elektoral ini sebenarnya tidak mewakili orang-orang atau status guru di dalamnya. Mereka hanya mewakili organisasi untuk kepentingan yang hampir tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan guru.

“Saya rasa begini, guru maupun organisasi-organisasi profesi lain itu menjadi ceruk suara yang akhirnya bisa dilakukan mobilisasi massa.” Ujar Maulana (12/2/2024).

Bagi Maulana alangkah lebih baik bila para guru tidak mengikuti keputusan ketua organisasi dan memiliki pilihan rasionalnya masing-masing. Menurut Maulana sendiri, belum ada yang bisa dipercayai dalam perpolitikan Indonesia selama sekian kali pemilu.

“Kita (Guru Honorer Muda) tidak ada (yang) menyatakan dukungan apapun dalam kontek pilkada kemarin karena belum ada salah satu solusi konkret yang dinyatakan dimanapun itu, baik itu di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, maupun Jawa Timur. Kami melihat bahwa masih banyak calon yang tidak memiliki kompetensi dalam berbicara soal guru” kata Maulana.

Apa Kabar Organisasi atau Serikat Guru?

Di tengah ketidakpastian nasib tenaga didik di Indonesia, khususnya guru honorer, bagaimana peran organisasi atau serikat yang menaungi para “pahlawan tanpa tanda jasa” ini? Siapa mereka itu?

Bagi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) cukup jelas bahwa guru itu merupakan kelas pekerja. Meskipun P2G terdaftar sebagai organisasi profesi mengikuti peraturan pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 dalam pasal 44 yang menjamin hak berserikat dalam Organisasi Profesi, menurut Iman Zanatul Haeri guru adalah buruh.

“Tetapi kami juga mengakui bahwa guru itu patut dan harus berserikat. Jadi ini (P2G) boleh saja disebut serikat guru.” ujar Iman.

Iman menjelaskan, pendirian P2G berlandaskan pada solidaritas sesama guru. Di dalamnya berisi guru-guru yang berjuang untuk kesejahteraan semua guru di Indonesia dan terus belajar mengenai kompetensi seorang guru.

“Solusi dari P2G jelas dan terang benderang upah minimum guru untuk semua guru berlaku secara nasional” sahut Iman.

Iman selaku kepala Bidang Advokasi di P2G bercerita mengenai aktivitasnya mendampingi para guru yang diperlakukan tidak adil. P2G baginya sudah memiliki tanggung jawab selaku organisasi profesi yang diamanati undang-undang.

“Kami sebagai Organisasi Profesi Guru memang memiliki kewenangan untuk melindungi profesi guru (UU 14/2005 pasal 42). Dan wajib memberikan perlindungan pada guru (pasal 39). (Dalam aturan tersebut) dijelaskan dahwa guru harus mendapati perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta perlindungan hak intelektual.” ujar Iman.

Berkat ada aturan yang mengatur hak-hak guru sebagai profesi, P2G cukup jelas mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi  profesi karena anggota spesifiknya adalah guru. Ini karena ada kekhususan kerja tidak seperti buruh yang bermakna luas.

 “Namun hari ini tidak banyak guru yang mau mengakui bahwa posisi guru sebagai kelas pekerja yang profesional.” ujar Iman.

Hal itu, menurut Iman, disebabkan melalui proses menyejarah yang diwarisi oleh kekuasaan pada era Orde Baru. Pada masa itu banyak terjadi politik bahasa atas berbagai kategori. Istilah buruh diperlakukan dan dimaknai sebagai kata terendah dalam kategori kelas pekerja.

Iman juga memaparkan bahwa afiliasi internasional dari organisasi guru di Indonesia itu berada dalam naungan International Labour Organisation (ILO). Sehingga cukup jelas posisi guru itu adalah nama profesi dari kelas buruh atau pekerja.

“Tidak perlu diperdebatkan, apakah guru pekerja/ buruh atau bukan. Sekjen PBB Antonio Gueteres membahas masa depan pendidik itu saat di forum ILO kok,  jadi secara tidak langsung itu pengakuan bahwa guru adalah buruh.” tukas Iman.

P2G, menurut Iman memiliki tujuan, ciri, dan karakter yang punya tujuan yang jelas. Harapannya memiliki anggota yang berkualitas. 

Iman menambahkan, P2G lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas. Bukan menghimpun masa semata. Melainkan ingin mencetak guru yang kritis, guru yang teruji kompeten, bebas dan merdeka, independen dalam arti memahami proses dirinya sebagai guru.

“Disitu saja terlihat bahwa target kami bukan untuk banyak-banyakan anggota, kami berbasiskan kader ketika masuk menjadi anggota kami harus diwawancara dulu, berproses, bagi kami tidak masalah anggota kami tidak terlalu banyak tetapi lebih ideologis dan juga kritis tentu saja” jawab Iman.

Maulana Malik Ibrahim selaku Juru Bicara Guru Honorer Muda (GHM) mengungkapkan bahwa organisasinya dibentuk sebagai serikat buruh berbasis guru. Gerakan GHM ini hendak mengkampanyekan bahwa guru berhak berpolitik.

Namun berpolitik disini tidak berarti sekadar ikut serta dalam politik elektoral. Berpolitik yang dimaksud ialah gerakan para guru dalam menuntut haknya.

“Jadi kita pengen mengajak semua guru berserikat itu berpolitik. Berpolitik itu bukan  masuk partai dan segala macam, bukan.  Tapi berpolitik yang kita maksud itu berserikat” ujar Maulana.

GHM sendiri terbentuk melalui semangat muda yang ingin mendobrak warisan organisasi guru tua yang menciutkan makna berpolitik. Seolah politik hanya berkontestasi di jalan parlemen atau politik praktis semata.

Bapakisme yang dilakukan oleh orang-orang tua pada akhirnya menyurutkan semangat kami misalnya kita disuruh ikhlas, sabar, jangan pamrih dan segala macam, tapi tuntutan hidup dari masyarakat atau manusia itu jelas tiap tahun meningkat.” kata Maulana. 

Selain itu, GHM juga cukup jengah dengan pembiaran kondisi guru honorer melalui penjelmaan seorang “bapak”. Sehingga upaya-upaya perlawanan dan penuntutan hak dianggap sebagai perilaku dosa atau durhaka kepada orang tua.

“Apa yang hari ini kita perjuangkan bukan semata-mata untuk kepentingan materiil sebetulnya, tapi untuk memenuhi standar-standar manusia yang seharusnya negara bayarkan kepada kami.” ujar Maulana.

Mereka ingin menggali kembali fitrah gerakan guru sebelum adanya depolitisasi organisasi guru pasca 1965 dibawah pimpinan sang bapak Soeharto. Pada era orde baru satu-satunya organisasi guru yang diperbolehkan hanyalah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam PGRI semua guru disatukan tapi tidak tahu dan tidak memiliki tujuan.

“PGRI hanya melakukan depolitisasi massa pada era soeharto tapi tidak melakukan sebuah gebrakan atau dobrakan-dobrakan terbaru untuk melakukan pendataan, pembelaan terhadap guru-guru honorer. Lalu fungsinya apa PGRI dalam konteks berserikat mengatasnamakan guru tapi sedangkan guru-gurunya tidak sejahtera di lapangan” ujar Maulana.

“Saya kira kalo kita melihat penelitian yang dilakukan oleh Rakhmat dan Afdhal tahun 2019 disitu terlihat bahwa memang ada tradisi yang keliru sejak orde baru dimana organisasi guru ini dan orang-orangnya yang dianggap handal di dalam berbicara, public speaking, ini digunakan untuk kampanye salah satu partai pemenang pada era orde baru tersebut. Dan saya kira tradisi semacam itu masih berlangsung sampai sekarang, dalam bentuk berbeda.” kata Iman.

Senada dengan Iman dan Maulana, menanggapi permasalahan dasar mengenai apakah guru termasuk buruh atau tidak, Syarief Arifin, peneliti dan pengamat perburuhan dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) mengatakan, ada dua pendekatan yang dapat digunakan.

Pertama, menggunakan pendekatan hukum menurut UU No 13 yang kemudian bertransformasi menjadi UU Ciptaker. Jika menggunakan pendekatan hukum, maka setidaknya harus memenuhi tiga unsur: upah, perintah, dan kerja. Kedua, menggunakan pendekatan ekonomi-politik. Yakni, buruh adalah setiap orang yang menjual tenaganya untuk keuntungan orang lain.

“Maka, dengan kategori itu, kita dapat mengkategorikan guru sebagai buruh,” kata Syarief 24/12/2024. 

“Siapa majikannya? Kalau guru itu sekolah negeri, maka majikannya adalah negara. Jika guru itu di bawah sebuah yayasan atau sebuah badan, maka majikannya adalah yayasannya. Itu pengertian dasarnya seperti itu.”

Ia kemudian menjelaskan, sejarah gerakan guru adalah sejarah yang paling tua bahkan lebih tua daripada sejarah buruh manufaktur, termasuk kereta api, atau buruh pegadaian.

Artinya, kebutuhan untuk berserikat itu menjadi salah satu hal yang penting untuk para guru. Namun, menurutnya, jika berharap terhadap serikat guru yang selama 32 tahun fungsinya diberangus oleh rezim, jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Serikat tersebut tak lain adalah PGRI.

Syarief mengatakan, pada sejarah awal PGRI berdiri, organisasi tersebut merupakan manifestasi dari serikat buruh. Dibentuk untuk dua hal: pertama, memperjuangkan hak dan kesejahteraan guru; kedua, memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Benang Kusut Guru Honorer dan Jerat Kejahatan Upah Murah

“Watak anti-kolonialisme sudah terbentuk sejak awal. Tapi kenapa PGRI jadi seperti sekarang? Karakternya tidak menunjukkan sebagai Serikat buruh. Sebenarnya, dipangkas sejak zaman Soeharto. PGRI menjadi persatuan guru yang dimobilisasi untuk mendukung rezim,” ia menjelaskan.

PGRI mengalami reformasi tahun 1999, tapi reformasinya tidak terlalu signifikan. Menurut Syarief, isinya hanya guru-guru tetap yang watak dasarnya hanya kepentingan ekonomis. 

“Sekarang, PGRI tergabung di KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), tapi belum bisa mengorganisir guru-guru di luar guru-guru yang sudah menjadi PNS. Guru-guru honorer, kontrak, atau yang bertahun-tahun tidak ada upahnya, tidak diperjuangkan oleh PGRI.”

Untuk verifikasi, sejak 2018, PGRI menyatakan untuk keluar dari KSPI dengan alasan tidak akan terlibat politik praktis yang dilakukan KSPI yang menyatakan dukungannya terhadap pencalonan Prabowo Subianto.

Meski terkesan sulit untuk para guru mengandalkan serikat yang telah ada untuk memperbaiki kesejahteraan, menurut Syarief, masih sangat dimungkinkan untuk para guru membangun ulang kesadaran akan eksploitasi terhadap haknya melalui pembangunan serikat buruh yang baru.

“Tidak ada jalan pintas. Kalau membangun serikat guru dari awal, masih sangat mungkin, atau membangun yang lebih punya nilai-nilai guru sebagai buruh,” katanya tegas.

Terakhir, ia menyoroti persoalan mengenai penghapusan honorer yang akhir-akhir ini santer terdengar. Menurutnya, jika guru honorer pada akhirnya akan dihapus, fokus utama bagi para guru-guru adalah untuk mendiskusikan masalah guru honorer ini secara bersamaan.

“Menurut saya, itu penting didiskusikan,” lanjutnya. “Secara ekonomi politik, status guru honorer yang dihilangkan bisa dikatakan sebagai pekerja informal atau lebih tepatnya buruh informal di sektor formal. Kenapa di sektor formal? Karena negaranya formal, yayasannya formal, tapi hubungan kerjanya tidak diakui oleh undang-undang. Ini sebenarnya semacam paradoks ekonomi modern.”

Guru, PGRI, dan Serikat Buruh

Mengingat sepak terjang dan telah berumurnya PGRI, beberapa guru yang kami wawancarai melancarkan kritik dan bersepakat bahwa kehadiran PGRI tak begitu signifikan bahkan seringnya tidak efektif.

Salah satunya Ryan. Guru Bahasa Sunda di salah satu SMP Negeri di Depok mengatakan, PGRI hanya menampung iuran bulanan tanpa menampung aspirasi para guru. 

“PGRI mah harus dihapuskan. Tidak mewadahi apa pun, kecuali untuk mengurus acara hari ulang tahun PGRI,” kata Ryan tegas 3/12/2024

Kekecewaannya tersebut bukan tanpa alasan. Ia mengatakan, setiap bulannya mesti membayar iuran sebesar Rp15.000, tetapi, iuran tersebut tak jelas juntrungannya ke mana.

Pada akhirnya, Ryan berhenti untuk membayar iuran perbulan dikarenakan tak ada kejelasan sama sekali dari PGRI. Jangankan untuk meneruskan aspirasi, siapa saja pengurus yang ada di organisasi tersebut pun ia tidak tahu.

“Kartu membernya juga nggak ada. Padahal kartu member itu salah satu yang membanggakan buat saya,” seloroh Ryan.

Senada dengan guru di Depok itu, Rivaldi, guru di Sukabumi pun mengalami kebingungan yang sama terkait keanggotaan PGRI. “Saya juga gatau kalau saya itu anggota atau bukan, tapi tiap bulan bayar keanggotaan,” kata Rivaldi 29/11/2024 sambil terheran-heran

Rivaldi kemudian berkisah, saat mendaftar atau mengikuti sebuah perkumpulan atau komunitas atau serikat buruh sekalipun, ada identitas yang menyertainya seperti kartu keanggotaan.

Sekali pun tidak ada tanda pengenal seperti kartu keanggotaan, “minimal mah masuk group WhatsApp lah. Atribut PGRI yang lain saya ngga punya, kecuali batik PGRI doang,” ujar Rivaldi sambil terkekeh.

Ia menyesalkan aktivitas-aktivitas PGRI yang tak begitu berdampak besar terhadap penyelesaian masalah-masalah guru honorer. Absennya program-program advokasi yang dibutuhkan, menjadi alasan baginya untuk menyatakan bahwa organisasi tersebut sudah tidak memiliki daya gedor yang revolusioner.

“Saya tidak butuh menang lomba. Tapi butuhnya jadi naik pangkat, kepastian kerja dan upah yang layak,” pungkas Rivaldi.

Berbeda dengan Nurul, ia tak begitu ambil pusing dengan masalah-masalah PGRI atau organisasi-organisasi guru yang lain. Menurutnya, apa pun organisasi yang mewadahi gerakan guru, kesemuanya mesti dapat mengatasi persoalan guru di Indonesia, misalnya upah layak.

“Aku sih selalu percaya bahwa guru itu semestinya juga berserikat dan kuat. Karena dengan berserikat, kita bisa kuat dan bisa mendorong perubahan sehingga dapat menuju tujuan secara lebih dekat,” kata Nurul 30/12/2024

Selain untuk mengatasi pelbagai masalah guru, Nurul berharap, kehadiran organisasi atau serikat guru ini dapat menjadi wadah bagi para guru agar dapat lebih kritis dan membangun kesadaran akan kondisi kerjanya. Sehingga tidak ada lagi istilah menormalisasi bentuk-bentuk eksploitasi atas nama upah murah.

“Menurutku penting kayak tadi nih kayak mempertahankan energi-energi Serikat profesi keguruan untuk bersuara atau supaya teman-teman guru yang lain juga ikut gitu,” pungkasnya.\

 

Reporter: Rokky Rivandy, Syawahidul Haq

Editor: Ilyas Gautama

Artikel ini merupakan bagian dari  seri tulisan Guru Honoer dan Politik Elektoral