Categories
Montase

Jangan Berhenti Menyuarakan Kekerasan Terhadap Perempuan!

Trimurti.id, Bandung – “Bersuara adalah Hak, Bukan Kejahatan!” begitulah tulisan sebuah poster yang beredar pada aksi peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP), Sabtu, 14 Desember kemarin.  

Sore itu, di tengah hiruk-pikuk kendaraan yang berlalu-lalang, puluhan muda-mudi dari berbagai organisasi maupun kolektif di Bandung Raya membentangkan poster dan spanduk tuntutan yang isinya mengutuk penindasan serta kekerasan yang kerap dialami kelas buruh perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Tak kurang dari satu jam aksi berjalan, hujan mengguyur Kota Bandung. Massa aksi lantas bergeser ke bawah fly over, Cikapayang, Dago. Walaupun cuaca akhir pekan terasa tak bersahabat, semangat mereka tak surut. Di bawah fly over,  beberapa massa aksi nampak silih berganti membacakan puisi, membawakan tembang anti penindasan, hingga melakukan teatrikal. 

Seperti diketahui, akhir-akhir ini pelbagai laporan menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan cenderung meningkat. Namun, satu hal yang pasti, kekerasan digunakan oleh kelas yang penguasa untuk menundukkan dan mengambil keuntungan dari kelas yang tak memiliki kuasa.

Dari beberapa cerita, pabrik atau kantor-kantor industri jasa lebih memilih mempekerjakan perempuan karena mereka dianggap patuh dan mudah dikontrol. Hal itu membuat posisi buruh perempuan menjadi sangat rentan. Buktinya, dalam banyak kasus, majikan tak segan memecat buruh perempuan jika kedapatan hamil dan menyunat hak cuti haid serta mangkir dari pembayaran upah lembur.

Ancaman kekerasan dan pelecehan seksual juga terus mengintai buruh perempuan, terutama dari majikan laki-laki berotak mesum.

***

Ainul Mardhiah, atau yang akrab disapa May, tumbuh besar di dekat perkebunan sawit di Sabah, Malaysia. Perusahaan-perusahaan sawit di sana menanami sawit mereka hingga ke pemukiman warga. Ayah May bekerja sebagai mandor perusahaan yang bertugas mengawasi buruh pemanen dan penyemprot sawit.

Sejak kecil, May sering melihat buruh perkebunan bekerja keras, memunguti buah tandan sawit dari satu blok ke blok lainnya. Awalnya, pemandangan itu tampak biasa saja. Namun, semuanya berubah ketika suatu hari polisi kerajaan Malaysia menyerbu pemukiman buruh migran—kebanyakan dari Indonesia. Mereka menggedor pintu-pintu rumah dan menangkap beberapa buruh migran perempuan dengan alasan tidak memiliki dokumen resmi seperti paspor.

 “Polisi-polisi di sana itu sangat kejam (kepada buruh),” ucap May saat ditemui reporter Trimurti.id. 

Ada yang tertangkap, ada pula yang lari tunggang-langgang hingga memasuki hutan dan bertahan sekuatnya di sana. Bagi yang tertangkap, mereka harus mendekam di balik teralis jeruji penjara. Jika tidak ingin dipenjara, polisi korup itu akan meminta sejumlah beberapa ringgit kepada mereka. 

Sebagian buruh yang tertangkap akhirnya dipenjara, sementara yang lainnya dimintai sejumlah uang oleh Polisi Kerajaan Malaysia untuk menghindari hukuman. Buruh yang berhasil melarikan diri seringkali bersembunyi di hutan, bertahan hidup dengan segala keterbatasan.

Menurut May, runyamnya persoalan buruh migran tak lepas dari minimnya perlindungan terhadap buruh oleh Pemerintah Indonesia dan Malaysia. Pemerintah Indonesia membiarkan praktik percaloan tenaga kerja marak terjadi, sedangkan Pemerintah Malaysia memfasilitasi perusahaan-perusahaan untuk memperoleh buruh murah.

Dengan bayaran yang murah, buruh perempuan di perkebunan sawit harus bekerja dari pukul enam pagi hingga enam sore. Mereka pun tidak mendapatkan jaminan hak cuti haid, uang lembur, status kerja yang jelas, dan jaminan sosial-kesehatan. Di samping jam kerja panjang dan hak yang tak terpenuhi, selepas kerja pun mereka masih harus mencuci piring, menghidangkan makan malam untuk sanak keluarga, dan menyiapkan keperluan bekerja untuk esok hari.

Kondisi perkebunan juga tak ubahnya neraka, perusahaan hanya mengaliri listrik di jam-jam tertentu saja. “Kalau listrik itu hanya dinyalain dari jam 7 malam sampai jam 10 malam,” tambah May. Patut diduga, hal ini dilakukan untuk mendisiplinkan para buruh agar segera tidur dan bekerja keesokan harinya. 

Begitupun soal air. Sudah dibatasi penggunaannya, tercemar limbah sawit pula. May menemukan beberapa buruh sawit mengidap penyakit kulit semacam ruam dan gatal-gatal. Untuk menyiasati kekurangan air bersih, para buruh mengandalkan air hujan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Perusahaan sawit benar-benar menguasai setiap lini kehidupan di perkebunan sawit. Asal tahu saja. Di Sabah, bentuk-bentuk penguasaan lahan berbeda-beda, ada yang menguasai lahan sekaligus pemilik perusahaan. Pemerintah Kerajaan Malaysia, seringkali bertugas sebagai pengecer lahan dan menguasakan lahan kepada perusahaan sawit asal China dan negara lainnya untuk ditanami sawit.

Kini, May telah meninggalkan Sabah untuk melanjutkan pendidikan di Bandung. Meski jauh dari kampung halamannya, ia terus mengenang kondisi buruh di perkebunan sawit. Dalam aksi 16 HAKTP, May menyuarakan penindasan yang dialami buruh migran perempuan yang pernah ia saksikan sendiri.

***

Peringatan 16 HAKTP memanglah sudah berakhir, tetapi malam itu menjadi pengingat bahwa kekerasan terhadap kelas buruh perempuan belumlah usai dan mesti terus dilawan. 

Bahkan saat tulisan ini diturunkan, Septia Dwi Pertiwi, mantan buruh perempuan PT Lima Sekawan atau Hive Five dituntut 1 tahun penjara dan membayar denda sebesar Rp 50 juta atau diganti hukuman kurungan selama tiga bulan penjara. Septia dituduh mencemarkan nama baik majikannya, Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF.

Septia dilaporkan oleh majikannya karena telah membuat cuitan ihwal pemotongan upah dan pemecatan di platform X. Ia tidak menyerah, dan kini tengah berjuang di meja hijau untuk mempertahankan martabat hidupnya di depan majikan maskulin yang selalu mencitrakan dirinya sebagai manusia berbaik hati layaknya dewa, dengan cara membagi-bagikan uang kepada orang-orang.

Demikian pula dengan anak-anak perempuan kelas buruh yang bersekolah, mereka pantang ciut menghadapi petinggi-petinggi predator berkedok penyelamat yang mengiming-imingi lulus cepat atau kemudahan memperoleh nilai akademik, dan hanya untuk kemudian merampas hidup mereka. 

Sekali lagi, peringatan 16 HAKTP memang berakhir malam itu. Namun, upaya untuk mengakhiri kekerasan sistemik ini harus berlanjut. Ia harus tumbuh menjadi api keberanian yang mendorong kelas buruh perempuan berani untuk bersuara dan menentang segala bentuk penindasan dan kekerasan yang terjadi saban hari. 

 

Teks: Baskara Hendarto
Foto: Faris Hamka
Editor: Nana Miranda