Categories
Telusur

Guru Honorer dalam Pusaran Politik Elektoral

Trimurti.id – Lima tahun sekali, warga Indonesia yang punya hak pilih akan mencoblos calon pemimpin pilihan mereka. Setelah pemilihan presiden Februari lalu dimenangkan pasangan Prabowo-Gibran, rakyat memilih kepala daerah mereka pada November 2024. 

Umumnya, ada dua tipe pemilih dalam masyarakat. Mereka yang kepingin kondisinya membaik dengan menggantungkan harapannya kepada salah satu paslon atau sekadar berjuang agar paslon terburuk tidak jadi pemimpin.

Namun tidak bisa ditampik, ada pula mereka yang kelewat jengah. Barisan satu ini bisa diduga mengalami gempa kepercayaan terhadap wakil rakyat. Perasaan yang terakhir disebut melanda Rifki (28), seorang guru honorer di Bekasi.

“Untuk musim pilkada saya rasa gak berbeda jauh dengan tahun-tahun sebelumnya dan siapa pun yang terpilih juga paling masih gini-gini aja,” ujarnya kepada Trimurti.id, 2 Desember 2024. 

Hal yang tak berubah itu adalah kondisi kerja yang ia hadapi sehari-hari sebagai guru honorer. Dengan upah yang hanya sekecil biji sawi, mereka justru harus mengemban tanggung jawab besar: memikul masa depan bangsa.

Selain itu, guru honorer juga menghadapi ketidakjelasan status kerja. Mereka menginduk kepada sekolah-sekolah yang mempekerjakannya karena kekurangan tenaga pengajar. Sebab, untuk mempekerjakan guru yang statusnya diakui oleh negara, birokrasi yang mesti ditempuh cukup panjang.

Status itulah yang membuat guru honorer disebut-sebut sebagai “pekerjaan ilegal”. Mereka ada tapi hak-haknya sebagai tenaga pengajar atau guru tidak diakui dan lebih buruk dibandingkan dengan guru-guru dengan status pegawai negeri sipil  (PNS). 

Jika bisa memilih, Rifki mungkin tak ingin menjadi guru, apalagi honorer. Masalahnya, lapangan kerja yang berkaitan dengan latar belakang pendidikannya masih sangat terbatas.

Selama dua tahun ini dirinya ditempatkan sebagai pustakawan dan tata usaha di salah satu sekolah negeri di Bekasi. Seperti guru honorer lain, besaran upah Rifki sebagai guru harus ditambah dengan pekerjaan sampingan untuk bisa hidup.

Kerentanan yang dihadapi oleh guru honorer ini, sering kali jadi komoditi yang menjanjikan untuk dijual, demi meraup suara bagi siapa pun yang sedang berkontestasi dalam politik elektoral. 

Baca juga: Guru Adalah Pekerja, Guru Berhak Berserikat

“Ya, sejauh ini paling gitu-gitu aja, cuman jadi bahan gimik dan gak ada perubahan signifikan,” tutur Rifki.

Dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat terbaru, beberapa pasangan cagub dan cawagub dengan jelas memiliki pendekatan pada sektor pendidikan dalam visi-misinya. Sebagian yang lain secara implisit mencantumkannya, seperti paslon nomor 1 (Acep-Gita) dan nomor urut 2 (Jeje-Ronal). Sedangkan sisanya, paslon nomor 4 (Dedi-Erwan) dan paslon nomor 3 (Syaikhu-Ilham) sama-sama memasukkan isu pendidikan sebagai fokus kebijakan mereka.

“Biasa saja, namanya orang jualan buat nyari jabatan apa aja pasti dipake jadi alat,” Rifki menanggapi pekerjaannya sebagai guru yang sering jadi alat kampanye para paslon.

Itulah kenapa Rifki tidak memiliki alasan untuk memilih dan memakai hak suaranya. Pada 27 November 2024, hari pemungutan suara pilkada serentak, Rifki hanya memanfaatkannya sebagai hari libur tambahan layaknya hari minggu.

Meski demikian, Rifki tetap berharap bahwa siapa pun yang terpilih memahami betul persoalan yang dihadapi oleh guru honorer.

“Harapan atau aspirasi dari saya mungkin siapa pun nanti yang menjadi pemegang kebijakan harus lebih tau kondisi di lapangan sebelum menerapkan suatu kebijakan di daerahnya,” pungkasnya.

Janji-Janji Kesejahteraan Guru dalam Pilkada

Kurang lebih, pendidikan yang baik membutuhkan tenaga pendidik yang terjamin secara kompetensi dan ekonomi. Jika ada sebagian pekerja pendidikan yang belum mempunyai kedua jaminan itu, pendidikan yang baik hanya jadi janji yang di bulan depan sudah menguap.

Rifki mendesrkripsikan pengalamannya sebagai guru honorer dari awal hingga sekarang dengan sederhana, “Masih gini-gini aja.”

Dalam Pilkada Jabar 2024 pun demikian, setiap paslon punya agenda di bidang pendidikan dan kesejahteraan guru. Mereka yang rentan tapi punya peran signifikan, tiba-tiba kembali diperhatikan, suaranya diperebutkan.

Ahmad Syaikhu dalam kunjungannya ke Desa Cibatu, Sukabumi, yang dilaporkan Kompas, 29 September 2024, menawarkan kenaikan gaji guru honorer setara dengan upah minimum kota/kabupaten. Dia membandingkan dengan daerah yang pernah dipimpinnya pada 2013–2018, Bekasi. Bagi cagub nomor urut 3 ini, menaikkan upah honorer tergantung kemauan politik yang disesuaikan dengan kemampuan daerah.

Konon, saat Ahmad Syaikhu menjabat Wali Kota Bekasi, semua pekerja kontrak dan honorer memiliki upah sebesar Rp4,2 juta. Dengan begitu Syaikhu berkomitmen untuk melanjutkan programnya saat menjadi wali kota jika terpilih menjadi Gubernur Jabar.

Syaikhu-Ilham berjanji untuk memperjuangkan hak-hak tenaga pendidikan, termasuk guru honorer, yang menurutnya masih membutuhkan perhatian serius.

Baca juga: Benang Kusut Guru Honorer dan Jerat Kejahatan Upah Murah

Paslon Dedi-Erwan, menurut harian Pikiran Rakyat, 1 November 2024, menganggap bahwa jika kesejahteraan gurunya baik, pendidikan pun ikut membaik. Di sektor pendidikan, Dedi-Erwan akan mengimplementasikan program Pendidikan Terintegrasi yang berfokus pada kualitas ruang kelas dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga menengah atas (SMA/SMK). Mereka ingin memastikan bahwa fasilitas belajar yang disediakan serupa dan berkualitas di semua tingkatan.

Erwan Setiawan, dalam kampanyenya di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, mengaku mendapat dukungan dari berbagai organisasi guru. Seperti dikutip Radar Sumedang, ada tiga organisasi yang menggantungkan aspirasi guru honorer kepada pasangan Dedi-Erwan, antara lain Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (FKDT) Jawa Barat, Musyawarah Kepala Sekolah SMA/SMK Swasta (MMKS) Jawa Barat, dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Acep-Gita memiliki program unggulan Keluarga Bahagia yang diukur melalui ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Dilansir dari Kompas.com, 23 September 2024, paslon ini memiliki program Pendidikan Bahagia yang menjanjikan tidak ada lagi anak putus sekolah sebagai turunan dari program unggulannya. Mereka juga akan memberikan guru mengaji upah Rp500 ribu hingga Rp1 juta dengan alasan guru honorer pengajian ini masih kabur dari sorotan pemerintah.

Di kubu Jeje-Ronal, program pendidikan yang mereka sebut Bintang (Beasiswa Integritas untuk Anak Bangsa), merupakan pendidikan gratis bagi anak usia sekolah. Sebagaimana dilansir Radio Republik Indonesia, 15 Oktober 2024, Jeje-Ronal juga ingin menghadirkan visi besar melalui program unggulan bernama “Jabar Pintar”. Visi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Jawa Barat, dengan harapan mencetak generasi penerus yang berkualitas, berbudi pekerti, berkarakter, serta memiliki daya saing global. 

Menurut pasangan Jeje-Ronal, pendidikan adalah kunci utama dalam menciptakan sumber daya manusia yang mumpuni di segala bidang. Program tersebut ingin menjawab tantangan besar yang dihadapi Jawa Barat, khususnya dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran di setiap lapisan masyarakat. Terdapat beasiswa, asuransi kesehatan, dan insentif bagi guru dan guru honorer pengajian.

Dalam Pilkada Jabar tahun 2018, kesejahteraan guru tidak absen dibicarakan. Walau tak sama persis, setiap paslon kala itu menjanjikan hal yang sama terkait kesejahteraan guru honorer. 

Pasangan RINDU (Ridwal Kamil-Uu Ruzhanul Ulum) menjanjikan program kesejahteraan guru honorer. Dalam kampanyenya, mereka menyediakan tunjangan berbasis kinerja terhadap semua guru termasuk yang honorer.

Dari Rakyat Jabar News, 9 Juni 2018, Uu Ruzhanul mendatangi Paguyuban Guru Honorer (PAGAR) di Garut yang ingin diangkat menjadi pegawai negri sipil (PNS). Dalam kunjungan tersebut PAGAR mengerahkan 12 ribu anggotanya untuk mendukung Ridwan-Uu. Ridwan Kamil juga disebut pernah mendorong pemerintah pusat untuk memprioritaskan guru honorer di Jawa Barat untuk diangkat menjadi aparatur sipil negara (ASN).

Saingan ketat mereka kala itu adalah Duo DM (Dedi Mizwar-Dedi Mulyadi), yang menyampaikan akan mendorong sektor pendidikan. Program paslon ini memiliki kemiripan dengan paslon-paslon yang maju sekarang di Pilkada Jabar 2024. Dalam warta Medcom.com, 22 Juni 2018, pasangan tersebut ingin membenahi infrastruktur pendidikan dan memperhatikan kesejahteraan guru.

Ahmad Syaikhu di Pilkada Jabar sebelumnya sempat maju bersama Sudrajat. Pasangan Asyik (Sudrajat-Ahmad Syaikhu) menawarkan program beasiswa bagi jenjang S1, S2, dan S3. Kemiripan ini bisa dilihat dengan program Jeje-Ronal di Pilkada Jabar 2024. Pemberitaan Liputan6, 11 Maret 2018, menyebut Sudrajat-Syaikhu ingin membuat pendidikan yang terintegrasi dan mengalokasikan bantuan pendidikan di institusi formal maupun informal.

Melansir Gesuri.id, 21 April 2018, pasangan Hasanah (Tubagus Hasanuddin-Anton Charliyan Amanah) melalui istri dari salah satu paslon, kandidat tersebut mendengar keprihatinan guru honorer dan mendulang dukungan dari Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I). Jawa Pos, 17 Februari 2024, memberitakan pasangan ini hendak mengawal kebijakan guru honorer untuk diangkat menjadi PNS.

 

Dimobilisasi saat Suksesi

Aku ngerasa kayak guru-guru di Indonesia ini jadi token banget, ya, ketika mau pilkada,” ujar Nurul (26), ketika ditanya keterkaitan guru dan pemilu di Indonesia, mengingat kasus korupsi Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah yang terjadi November lalu.

Perempuan asal Jakarta itu telah lima tahun menjadi guru. Karena upah mengajar di satu sekolah tidak cukup, selain mengampu mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial (IPS) di sebuah SMP swasta di Jakarta Utara, ia juga mengajar ekstrakurikuler di sebuah TK ketika hari libur, mengajar di SD pada Sabtu, dan bekerja sebagai freelancer di kala senggang.

Bukan tanpa alasan seminggu penuh ia disibukkan dengan bekerja. Jika hanya mengandalkan upah mengajar dari satu sekolah, sudah barang tentu itu tak dapat menambal apa-apa. Ia mengaku, selama satu bulan hanya mampu mengantongi upah sebesar Rp2 juta.

Kondisi ekonomi yang serba kekurangan ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan guru, tapi juga membuat mereka rentan dimanfaatkan dalam proses politik, seperti mobilisasi suara.

Menurutnya, aksi-aksi mobilisasi suara kepada para guru untuk memilih salah satu kandidat kepala daerah tidak terlalu terlihat, tapi keberadaan guru yang rentan dan mudah ditundukkan memungkinkan terjadinya mobilisasi suara.

“(Contohnya) ketika ada isu pilkada, baru, nih, dinaikin isu guru yang kayak kemarin, naikin tunjangan. Diklaim naik upah, ternyata itu ‘kan naik tunjangan,” katanya. “Jadi kayak ke-prank (ketipu) aja gitu,” Nurul melanjutkan, “padahal untuk kepentingan mereka (elite) aja.”

Selaras dengan Nurul, Rivaldi (29) menyatakan, “Guru mah, ya, pasti jadi bahan kampanye aja.”

Rivaldi adalah guru honorer di SMP Negeri Kota Sukabumi. Sebagai guru Bahasa Indonesia, ia mengajar 30 jam pelajaran per minggu dengan bayaran Rp57.500 per jam. Dengan perhitungan sederhana, seharusnya Rivaldi menerima Rp6,9 juta per bulan (Rp57.500 x 30 jam x 4 minggu). Namun, faktanya, ia hanya mengantongi upah bulanan senilai Rp1.700.000.

Menurut Rivadi, helatan pilkada tidak menjadi sesuatu yang signifikan bagi peningkatan kesejahteraan guru honorer. Walaupun sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah menengah pertama negeri di Indonesia telah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sebagai contoh, di Sukabumi terdapat kampanye wali kota yang menjanjikan pemberian tunjangan kinerja terhadap guru.

“Walaupun dia tidak (memobilisasi), mau tidak mau mobilisasi guru itu (asumsinya) ada. Kampanye itu ‘kan salah satu bentuk politisasi kalau tidak dilaksanakan, kalau dilaksanakan, ya, alhamdulillah,” ucap Rivaldi.

Di Depok, Ryan (29) mengaku kesal karena acara sosialisasi yang dihelat dinas pendidikan setempat dipakai ajang kampanye terselubung. Menurut pemuda asal Tasikmalaya yang kini mengajar di SMPN Depok itu, acara sosialisasi bertajuk tersebut lebih banyakmembahas dan memuji program dan kebijakan yang telah ditelurkan oleh petahana.

Padahal tidak ada hubungannya sama sosialisasi absen. Pokoknya, kemarin pas sosialisasi yang terakhir itu, kayak gitu. Intinya jangan lupa nyoblos,” kata Ryan, dengan nada cukup ketus disertai ketawa kecil.

Menurut Ryan, sejak program-program tersebut dikampanyekan oleh petahana di pilkada sebelumnya, tak ada yang berubah dari nasib guru honorer. Status mereka masih tidak jelas. Meskipun ada kebijakan pemerintah daerah untuk mengupah guru honorer, tapi ketidakpastian masa depan dan jenjang karier, tetap menjadi beban.

Guru honorer seperti Rivaldi, Nurul, dan Ryan, adalah juga buruh yang upah, status, dan kondisi kerjanya jauh dari kata layak. Setiap lima tahun sekali mereka dijanjikan akan memperoleh peningkatan kesejahteraan. Janjinya bermacam-macam, cara menarik simpatinya juga berbeda-beda. 

Ryan berkisah, upah mengajar yang diterimanya selama satu bulan berkisar Rp3.200.000. Angka yang bagaikan bumi dan langit, dibandingkan upah yang diterima Rivaldi dan Nurul.

Butuh waktu selama lima tahun bagi Ryan untuk mendapat upah sebesar itu. “Tahun pertama diupah Rp1.700.000. Pas masuk beberapa lama, saat ada pemilihan, naik jadi Rp2.000.000. Dan terakhir sampai Rp3.200.000,” terangnya.

Mengapa ketika ada pemilihan wali kota upahnya naik? Kuat dugaannya adalah, seperti yang telah disinggung sebelumnya, pembayaran upahnya bukan berasal dari sekolah/dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak berdasarkan berapa banyak jam yang ia habiskan untuk mengajar, melainkan karena pengupahannya berada langsung di bawah pengawasan Pemerintah Daerah Kota Depok.

 

Reporter: Rokky Rivandy, Syawahidul Haq

Editor: Ilyas Gautama

 

Artikel ini merupakan bagian dari seri tulisan Guru Honorer dan Politik Elektoral.