Ancaman penggusuran kian nyata bagi warga Dago Elos. Melalui surat bertanggal 16 Januari 2024, jurusita PN Bandung melayangkan surat panggilan kepada warga Dago Elos untuk datang pada 20 Februari 2024 ke Gedung PN Bandung guna “ditegur agar dalam waktu 8 (delapan) hari melaksanakan isi putusan Nomor 454/Pdt.G/2016/PN. Bdg..”
Untuk diketahui, putusan Nomor 454/Pdt.G/2016/PN. Bdg memenangkan pihak penggugat yakni tiga bersaudara Heri Hermawan Muller, Dedy Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller; dan PT Dago Inti Graha milik pengusaha Jo Budi Hartanto.
Baca juga: Dago Elos Dalam Pusaran Bisnis Keluarga Hartanto
Pantauan Trimurti.id di lapangan menunjukkan gelagat warga bersikukuh menolak untuk digusur. Mereka menganggap bahwa putusan hakim pada sengketa lahan ini didasarkan pada dokumen-dokumen bodong. Entah dokumen tersebut palsu, atau memang asli (otentik) tapi berisi keterangan-keterangan yang tidak benar.
Sejak Agustus 2023 warga Dago Elos sebenarnya sudah tiga kali mendatangi Polda Jabar, guna melaporkan beberapa keganjilan pada dokumen Penetapan Ahli Waris milik keluarga Muller.
Kali ini, 20 Februari 2024, 14 orang warga Dago Elos beserta kuasa hukumnya kembali menyambangi Polda Jawa Barat untuk membawa laporan baru.
Tiba pukul 10:00 di kantor Polda Jabar, Jl. Soekarno Hatta No.748, Kecamatan Gedebage, rombongan diarahkan ke bagian Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direkrimum). Hanya lima orang warga yang diperbolehkan memasuki ruangan untuk menyerahkan laporan mereka.
Sumber: Dokumentasi Warga Dago Elos
Kali ini warga melaporkan tiga bersaudara Muller dan Jo Budi Hartanto (Direktur PT. Dago Inti Graha) yang diduga kuat melakukan tindak pidana memalsukan dokumen dan memberikan keterangan yang diduga palsu dan tidak masuk akal.
Baca juga: Dago Elos dan Teka-teki tentang Keluarga Muller
Dokumen yang dipersoalkan warga adalah surat tanah dari masa Hindia Belanda, yakni Acte Van Eigendom Verponding 3740, 3741 En 3742. Dokumen ini diduga palsu karena memuat kebohongan yang sungguh tidak masuk akal.
Surat tanah ini menyatakan bahwa kakek dari Trio Muller, George Hendrik Muller, memperoleh lahan di Dago Elos dari sebuah perusahaan tegel yang bermarkas di Semarang, yakni NV Cementtegelfabriek Simongan. Diceritakan di situ, bahwa penyerahan hak atas lahan tersebut dilakukan di hadapan notaris Eliza Hendrik Corpetier Alting dan “…tertanggal tujuh Agustus seribu delapan ratus sembilan puluh sembilan.”
Keterangan itu tidak masuk akal, karena George Hendrik Muller baru lahir pada 1906. Menurut nalar warga Dago Elos, mana mungkin George Hendrik Muller–yang lahir saja belum–tapi sudah mampu mendatangi notaris untuk menerima kepemilikan lahan dari pihak NV Cementtegelfabriek Simongan.
Sumber foto: Salinan halaman 118 Putusan Pengadilan Negeri Bandung No:454/PDT.G/2016/PN.Bdg, yang dikeluarkan pada 10 Agustus 2017 oleh hakim ketua Wasdi Permana dan hakim anggota Jonlar Purba dan Pranoto.
Menanggapi laporan warga, polisi mengatakan bahwa pihaknya akan tetap mengusut kejanggalan keterangan palsu dari Muller dan PT. Dago Inti Graha yang termuat dalam putusan pengadilan.
“Kami bahkan sudah melakukan upaya pengecekan ke BPN,” jelas Budi -salah satu kuasa hukum warga- menirukan perkataan pihak kepolisian, saat dihubungi Trimurti.
Menurut Budi, pelaporan berlangsung kurang lebih tiga jam hingga pukul 13.00.
Tolak Teguran (Aanmaning), Warga Datangi Pengadilan
Sementara belasan perwakilan warga Dago Elos melaporkan tindak pidana Trio Muller dan Jo Budi Hartanto ke Polda Jawa Barat, ratusan warga lainnya bergerak menuju Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jl. LLRE Martadinata No 74-80, Bandung. Pada hari itu PN Bandung memang menjadwalkan akan menyampaikan Surat Teguran Eksekusi (aanmaning) untuk warga Dago Elos.
Sejak berangkat dari terminal Dago Elos, dan sepanjang 30 menit perjalanan menuju ke PN Bandung, warga Dago Elos–laki-laki dan perempuan, dari anak-anak sampai lanjut usia–terus meneriakan yel-yel. Tiada henti mereka mengabarkan kepada warga Bandung pemakai jalan tentang ancaman penggusuran yang mendera mereka.
Tiba pukul 13:00 WIB di PN Bandung, rombongan warga langsung membentuk barisan. Spanduk terbentang, berbunyi “Tolak Putusan MA” dan “Lawan Penggusuran”.
“Kami tegaskan ulang. Kami bukan hanya satu atau dua orang. Dago Elos berada di tangan seluruh warga Dago Elos,” tegas Angga, perwakilan warga, dari atas mobil komando. Pernyataan itu lantas disambut yel-yel oleh seluruh massa aksi.
Sebelum sidang dimulai, ada proses administrasi yang merepotkan dan menyita waktu hampir satu jam. Ratusan warga diminta untuk terlebih dahulu mengisi daftar hadir. Sungguh mengherankan, proses administrasi ini seharusnya dapat dilakukan dengan mudah dan cepat.
Berikutnya adalah, kembali menunggu. Karena para petugas yang terdiri dari ketua, wakil dan panitera pengadilan belum muncul di ruang sidang, warga memanfaatkan waktunya untuk shalat Dzuhur dan makan siang.
Menunggu sidang dimulai, sambil duduk-duduk di pelataran gedung pengadilan, salah seorang warga meluapkan kekesalannya. Menurutnya, ancaman penggusuran ini juga disebabkan oleh ketidakbecusan pengadilan memeriksa gugatan yang dilayangkan oleh Trio Muller dan PT. Dago Inti Graha.
“Teu ngarti aing mah, naha dokumen palsu bisa dianggap sah ku pengadilan. Jiga nu otakna teu dipake, (Saya gak ngerti. Kenapa dokumen palsu bisa dianggap sah oleh pengadilan. Seperti otaknya tidak dipakai saja)” ujarnya.
Sontak keluhan tersebut membuat yang lain ikut menyemburkan kekesalannya.
“Tolol!”
“Goblog!”
Gugatan Ngawur: Warga Meninggal hingga Salah Alamat Tetap Dianggap Mangkir dari Persidangan
Satu jam berlalu, terik mentari menyurut, awan mendung menggelantung di langit.
Seorang petugas datang menghampiri kerumunan warga, yang dari raut wajahnya nampak hampir mati bosan menunggu sidang dimulai.
“Ayo bu, pak. Persidangan sudah dimulai,” ucap petugas.
Dari arah pelataran, ratusan warga membuntuti petugas, antri di depan pintu masuk sempit lalu mendaki anak tangga menuju ruang sidang.
Wakil ketua pengadilan dan panitera tampak sudah duduk di kursi menghadap meja hijau. Sementara itu, di sisi kiri ruangan duduk pula Alvin Wijaya Kesuma, kuasa hukum yang disewa untuk memenuhi hasrat Trio Muller dan PT. Dago Inti Graha untuk menguasai 6,9 hektar lahan pemukiman warga Dago Elos.
“Baik hadirin sekalian, sidang aanmaning yang dihadiri oleh seluruh tergugat yakni warga Dago Elos dan penggugat yang diwakili oleh kuasa hukumnya Alvin Wijaya Kesuma…”
Belum selesai wakil ketua pengadilan menyampaikan pengantarnya, warga sudah meneriakan umpatan.
“Huuuu…..,”
“Setan tanah,”
“Botak!”
Umpatan yang terakhir rupanya dialamatkan kepada kuasa hukum Alvin Wijaya Kesuma.
Dapat dipahami, warga sukar membendung kemarahannya. Sesudah delapan tahun berperkara dengan pihak-pihak yang tak diketahui jelas batang hidungnya, baru kali ini warga berjumpa muka dengan sosok (orang yang mewakili) lawan sengketanya.
Warga semakin kesal setelah mengetahui bahwa teguran pengadilan, agar warga mengosongkan lahan tanpa syarat, adalah atas permintaan dari PT Dago Inti Graha
Persidangan dimulai, panitera kemudian memanggil satu-persatu nama 331 nama warga Dago Elos yang tercantum sebagai tergugat. Belum sepuluh orang dipanggil, tampak bahwa beberapa nama yang disebutkan nyatanya tidak tinggal di tanah yang disengketakan.
“Warga tidak tinggal di Dago Elos,” sebut salah satu warga yang hadir dalam persidangan.
Menanggapi hal tersebut, panitera menganggap warga tersebut mangkir dari persidangan.
Warga protes tapi tidak digubris, dan malah dianggap mengganggu jalannya persidangan.
Keajaiban berikutnya, panitera memanggil nama seorang warga yang bahkan sudah meninggal sebelum Trio Muller dan PT. Dago Inti Graha melayangkan gugatan.
“Yang mulia tolong perhatikan, gugatan dia ngawur. Masa orang meninggal ikut juga digugat,” protes salah seorang warga, seraya mengarahkan telunjuk ke Alvin Wijaya Kesuma. Lagi-lagi, dengan dalih mengikuti prosedur, warga yang telah lama meninggal dianggap mangkir dari persidangan.
Sepanjang pemanggilan 331 warga Dago Elos tergugat, protes yang datang bertubi-tubi semakin menunjukan gugatan tiga bersaudara Muller dan PT. Dago Inti Graha dibuat secara serampangan.
Kemarahan warga semakin memuncak di penghujung sidang, saat wakil ketua pengadilan mengulang kembali isi aanmaning, menyatakan bahwa warga mesti menerima eksekusi lahan. Seketika warga menghambur ke depan ruang sidang, membentangkan spanduk.
“Putusan PK MA No.109/PK/Pdt/2022 Cacat Hukum”,
“Batalkan Surat Eksekusi Lahan”.
Dalam situasi yang semakin memanas, kuasa hukum Alvin Wijaya Kesuma meloloskan diri dan berlindung di belakang barisan aparat keamanan yang berjaga di ruang sidang.
Berikutnya, wakil ketua pengadilan memutuskan untuk menunda sidang aanmaning. Alasannya, mereka yang namanya ada dalam daftar gugatan (dan daftar itu ternyata ngawur), dianggap tidak menghadiri sidang. Selanjutnya, sidang bubar.
“Karena putusan pengadilan yang cacat hukum. Kami menuntut Ketua Pengadilan Negeri Bandung untuk mengeluarkan surat non-executable yang membatalkan eksekusi lahan,” ucap seorang perwakilan warga di atas mobil komando usai sidang.
Di bawah mobil komando, massa aksi yang masih kesal saling tukar komentar dan hujatan.
“Jangan tolol pak! Anda disekolahkan tinggi-tinggi bukan untuk tolol! Periksa yang bener itu bukti-bukti kebohongan Muller dan Dago Inti Graha,” protes salah seorang warga Dago Elos kepada Pengadilan Negeri Bandung.
“Kami pernah merasakan pentungan dan gas air mata. Kalaupun kalian mengirimkan peluru kami tidak akan takut. Saya tidak akan takut mati untuk mempertahankan tanah saya,” balas yang lain.
Sesudah menyampaikan pesan mereka, rombongan bergerak meninggalkan pengadilan. Kembali ke Dago Elos.
Reporter: Abdul Harahap
Editor: Sentot