Trimurti.id, Bandung – Hampir enam tahun berlalu, warga Dago Elos, Bandung, tak kunjung dapat hidup tenang. Ibaratnya, makan tak enak tidur pun tak nyenyak.
Bagaimana tidak, puluhan tahun bermukim di kampung kota Dago Elos, tiba-tiba saja mereka digugat melalui Pengadilan Negeri Bandung, dituduh menghuni lahan milik orang lain tanpa hak.
Sejak November 2016 mereka seperti dicemplungkan ke sengketa hukum yang panjang dan melelahkan, sejak tingkat pengadilan negeri hingga kasasi di Mahkamah Agung.
Seteru mereka di pengadilan adalah Heri Hermawan, Dodi Rustendi, dan Pipin Sandepi. Ketiganya menyandang nama belakang Muller, dan mengaku mewarisi kepemilikan lahan seluas 69.346 m² di Dago Elos dari ayah mereka, Edi Eduard Muller.
Padahal di atas lahan sengketa tersebut telah tumbuh kampung kota yang dihidupi oleh penghuninya selama puluhan tahun.
Di atasnya bahkan sudah berdiri balai pertemuan warga, Kantor Pos Dago Elos, serta Terminal Dago yang dikelola Pemerintah Kota Bandung.
Dari beberapa salinan dokumen pengadilan yang diperoleh Trimurti.id, diketahui bahwa tiga bersaudara Muller telah memasrahkan/menyerahkan hak atas tanah yang disengketakan ini kepada PT Dago Inti Graha (PT DIG).
Penyerahan hak tersebut berlangsung pada 1 Agustus 2016 di hadapan Notaris Tri Nurseptari, SH, Pejabat Pembuat Akta Tanah Kota Bandung.
Fakta ini menjelaskan mengapa PT DIG tercatat pula sebagai pihak yang menggugat warga Dago Elos.
Mengutip data dari Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum, Kemenkumham, PT DIG beralamat di Jalan Astanaanyar No. 340, Bandung, bergerak di bidang usaha Konstruksi Gedung, Real Estate, Perdagangan dan Kegiatan Jasa lainnya.
Ajaibnya, aktivitas lain dari perusahaan ini nyaris tidak diketahui sama sekali. Mengandalkan mesin pencari berita di internet, PT DIG hanya ditemukan pada berita-berita tentang sengketa lahan di Dago Elos saja.
Tidak diketahui apa saja proyek konstruksi dan real-estate yang pernah digarap PT DIG. Sama tidak diketahuinya, bidang perdagangan yang mereka masuki.
Jadi, besar kemungkinan PT DIG bergerak di bidang “jasa lainnya” yang entah apa.
Hanya tiga hari sesudah didirikan (Jumat, 29 Juli 2016), PT DIG menghadap notaris dan diserahi hak atas tiga bidang lahan dari tangan Muller bersaudara.
Beberapa bulan kemudian, pada 30 November 2016 mereka menggugat warga Dago Elos di Pengadilan Negeri Bandung (Nomer perkara: 454/Pdt.G/2016/PN Bdg).
Maka, paling sedikit dapat dilacak bahwa bidang “jasa lainnya” dari PT DIG adalah menerima hak atas tiga bidang tanah dari Muller bersaudara dan kemudian menggugat warga Dago Elos.
Dari penelusuran selanjutnya terhadap PT DIG, ditemukan bahwa perusahaan ini diawaki oleh tiga nama berikut: Jo Budi Hartanto (direktur utama), Erwin Senjaya Hartanto (direktur), dan Lionny Sutisna (komisaris).
Pemegang saham utama perusahaan adalah Jo Budi Hartanto (Rp15 milyar), disusul Erwin Senjaya dan Lionny Sutisna yang masing-masing menaruh saham sebesar Rp7.5 milyar.
Ada petunjuk bahwa PT DIG dikendalikan oleh anak-beranak keluarga Hartanto.
Jo Hartanto: Juragan Sandang-Tekstil dari Bandung Selatan
Sabtu, 7 Juli 2018, Alvin Senjaya Hartanto dilaporkan terlihat di sekitar Oxbow Jembatan Biru Kalimati, Bojongsoang, Kabupaten Bandung.
Lulusan Deakin University, Australia, ini sedang menebar bibit lele dan mujair. Ditemani tim dari Satgas Citarum Harum dan pemuda Karang Taruna setempat.
Kepada reporter indoartnews.com yang meliput kegiatan tersebut, Alvin Hartanto menjelaskan, “Aktivitas ini merupakan inisiatif kami saja dengan melakukan penanaman ikan sebanyak tiga kuintal dan kami juga sebagai perwakilan dari perusahaan harus turut serta mendukung demi terciptanya Sungai Citarum yang bersih.”
Alvin Hartanto hadir pada kegiatan ini mewakili PT Tridayamas Sinar Pusaka (PT TSP), perusahaan tekstil dan sandang (pakaian bayi, pakaian olahraga, dan produk sandang lainnya) yang dirintis oleh ayahnya, Jo Budi Hartanto, pada 1993.
Alvin Hartanto dan manajemen PT TSP barangkali berpikir bahwa menebar bibit lele dan mujair merupakan cara ampuh untuk membersihkan Citarum.
Sulit untuk memastikan bagaimana nasib dari tiga kuintal lele dan mujair itu sekarang.
Namun, yang dapat dipastikan, Citarum adalah salah satu sungai terkotor di dunia, yang tepiannya dijejali tak kurang dari 1,900 pabrik yang belum tentu memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang memenuhi syarat.
Paling tidak, melalui kegiatan menebar bibit ikan, sebagai perusahaan yang memarkir pabriknya di tepi anak sungai Citarum, PT TSP sudah menunjukkan tanggung jawab terhadap keselamatan lingkungan.
Untuk dicatat, sepuluh tahun sebelumnya, mengutip Laporan Basis Data Status Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, pada 2008 PT TSP tercatat sebagai perusahaan yang limbah batubaranya mengotori lingkungan.
PT TSP berkembang sebagai perusahaan sandang berorientasi ekspor. Pencapaian ini tak terlepas dari komitmen perusahaan untuk–sebagaimana diungkap oleh Jo Budi Hartanto– “…terus melakukan bisnis secara efisien, bertanggung jawab, dan menguntungkan dalam meningkatkan jaringan distribusi kami tanpa mengorbankan kepuasan pelanggan, dan dengan harga yang wajar dan kualitas produk yang terjamin” (dikutip dari Tridayamas.com).
Komitmen PT TSP untuk berbisnis secara bertanggung jawab kiranya dapat disandingkan dengan rekam jejaknya selama ini.
Menurut jabar.tribunnews.com, pada 2015, 60 orang buruh PT TSP mengadu ke Disnakertrans Kabupaten Bandung karena dirumahkan tanpa ada batas waktu.
Tentang upah buruhnya, Uben Yunara, ketua Serikat Pekerja Tekstil Sandang Kulit-Serikat, SPSI, Kabupaten Bandung, mengatakan bahwa buruh-buruh PT TSP hanya dibayar Rp1,8 Juta per bulan (UMK Kabupaten Bandung pada 2015 adalah Rp2.001.15,-).
Sementara puluhan buruhnya sedang menanti kejelasan perihal nasib mereka, pada 2015 PT TSP memasang iklan di pubinfo.id untuk mencari tenaga Civil Engineering.
Soal perburuhan kembali muncul beberapa tahun kemudian. Diberitakan di spjnews.id, pada Senin, 8 Juni 2020, puluhan buruh PT TSP berdemonstrasi di depan gerbang pabrik.
Mereka menuntut kejelasan sikap perusahaan terkait buruh yang dirumahkan.
Menurut Adas, salah satu perwakilan buruh, perusahaan selalu berdalih belum mampu mempekerjakan kembali buruh yang dirumahkan karena belum ada order.
“Akan tetapi, mengapa pihak perusahaan menerima karyawan baru dan mempekerjakan karyawan tersebut selama 12 jam. Kami rasa alasan tersebut tidak masuk akal.
Jika tidak ada orderan, kenapa harus menerima karyawan baru dan mempekerjakannya,” terang Adas kepada reporter spjnews.id, (Senin 8 Juni 2020).
Erwin Hartanto: Tergiur Bisnis Perumahan
Boleh jadi PT TSP merumahkan buruh dan menyunat upah buruh karena bisnis tekstil-garmen tak selalu menghasilkan laba melimpah.
Laporan PT. Reasuransi Nasional Indonesia Tahun 2008 menyebutkan PT TSP merugi Rp14,911,961,093. Di situ dibubuhkan penjelasan, penyebab kerugian adalah banjir.
Lima tahun setelah PT TSP diberitakan merugi, pada 2013 PT Pusaka Mas Persada (PT PMP) baru merampungkan pembangunan perumahan Green Sukamanah Residence, di kawasan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Perusahaan pengembang ini dipimpin oleh Erwin Senjaya Hartanto, anak dari Jo Budi Hartanto. Initiation Report PT. Wira Global Solusi Tbk ter tanggal 7 Februari 2022 mencatat, selain menjabat sebagai direktur utama, Erwin Hartanto adalah salah satu pemegang saham perusahaan.
Pemegang saham selebihnya adalah ayah dan ibunya sendiri, Jo Budi Hartanto dan Lionny Sutisna.
Mendirikan perusahaan pengembang, dan membangun Green Sukamanah Residence di Rancaekek, mestinya merupakan keputusan yang benar-benar strategis.
Perumahan ini seharusnya laris manis diserbu pembeli, karena menawarkan kemudahan akses ke stasiun Tegal Luar, stasiun akhir Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Namun demikian, kemampuan memilih lokasi yang strategis saja tidaklah cukup. Keluarga Hartanto rupanya lupa memenuhi janji kepada warga Green Sukamanah Residence untuk membangun mesjid.
Gara-gara mesjid tak kunjung terbangun, trans89.com melaporkan, pada 2018 warga melancarkan protes.
Mereka menuliskan tuntutan pada spanduk yang dibentangkan di depan waterboom yang dibangun oleh PT PMP.
Pengurus RT setempat ikut membubuhkan tanda tangan di spanduk tuntutan tersebut.
Meskipun lokasinya mungkin strategis, siapa sudi tinggal di pemukiman yang digenangi banjir?
Pada April 2019, jabartribunnews.com memberitakan, warga Green Sukamanah Residence kembali mengumpat pengembang PT PMP.
Kali ini lantaran pemukiman mereka lagi-lagi tergenang banjir.
Tinggi airnya 10-50 cm dan baru surut sesudah satu pekan. Pada 10 April 2019 spanduk kembali dibentangkan.
Pesannya: “Waterboom telah ditutup karena telah dibuka wisata banjir.” Itu bukan omong kosong.
Warga memang sungguhan menutup paksa waterboom yang dibangun oleh pengembang.
Kemudian, layanan teknologi
Dengan reputasinya yang cukup mengecewakan, alpa membangun mesjid dan gagal mencegah banjir, PT PSP belum kapok membangun perumahan.
Selain di Rancaekek, mereka mengembangkan beberapa proyek lagi di seputaran Bandung. Direktur Utama Erwin Hartanto rupanya tak ingin PT PSP hanya berhenti sebagai perusahaan pengembang.
PT PSP ternyata juga adalah perusahaan penanam saham, yang menggenggam 106,162,501 (12,73%) lembar saham di PT Global Solusi Tbk. Erwin Hartanto sendiri adalah pemilik dari 2,27% saham di perusahaan tersebut.
PT Wira Global Solusi Tbk., (PT WGS Tbk) bermarkas di Tangerang. Mulai beroperasi pada 2016 sebagai perusahaan perangkat lunak dan layanan teknologi informasi, kemudian berkembang menjadi perusahaan venture builder.
Melalui PT Kirana Tama Teknologi, salah satu anak perusahaannya, PT WGS memberikan layanannya untuk Julo, yang di Indonesia beroperasi sebagai penyedia layanan kredit digital.
Singkatnya, perusahaan penyedia hutang. Jika ingin berhutang, pembaca dapat mengunduh aplikasi Julo di situs ini: https://www.julo.co.id.
Siapa gerangan orang-orang di balik PT WGS Tbk? Perusahaan ini didirikan oleh suami-istri Ikkin Wiryawan dan Erlin Veronica Hartanto.
Erlin Hartanto, tak salah lagi, adalah anak perempuan dari Jo Budi Hartanto. Pada susunan komisaris dan direksi, dan terutama pada struktur kepemilikan sahamnya, terdapat nama-nama dua generasi keluarga Hartanto.
Dari ayah, ibu, sampai anak dan menantu; semua merupakan pemegang saham, baik secara langsung maupun melalui perusahaan yang mereka kendalikan.
**
Dari sebuah pabrik di Bandung Selatan, sekitar 15 Km dari Dago Elos, pada tahun 1993 Jo Budi Hartanto memulai bisnisnya.
Sama sekali bukan kebetulan jika PT Tridayamas Sinar Pusaka memilih lokasi pabrik di Cieunteung, Bandung Selatan, karena industri tekstil-sandang ini mengandalkan pasokan air melimpah di sepanjang daerah aliran sungai Citarum.
Untuk menggerakkan mesin-mesin pabriknya, mereka memilih cara yang murah yakni dengan membakar batu bara dan mengotori sungai dan udara dengan limbahnya yang berbahaya.
Pada saat yang sama, seperti industri padat karya pada umumnya, mereka mencari untung dengan menekan ongkos produksi semurah-murahnya, tepatnya dengan menekan upah buruh.
Memasuki generasi kedua, keluarga Hartanto merambah ke bidang jasa dan perdagangan, menjadi pengembang (developer) dan membangun real-estate.
Seluruhnya memang bukan industri dengan cerobong asap yang mengotori udara, tapi industri yang membutuhkan pasokan lahan.
Melalui PT Pusaka Mas Persada, tibalah Erwin Hartanto di Rancaekek untuk membangun dan memasarkan perumahan rawan banjir Green Sukamanah Residence.
Ada dua hal yang menarik untuk ditambahkan tentang Green Sukamanah Residence. Pertama, perumahan ini rawan banjir.
Kedua, semua dari tiga bersaudara Muller tinggal cukup dekat dari perumahan ini. Paling jauh hanya setengah jam perjalanan dengan sepeda motor.
Selanjutnya, pada 29 Juli 2016 keluarga Hartanto mendirikan PT Dago Inti Graha, sebuah perusahaan yang didirikan untuk maju ke pengadilan, menggugat warga, guna mengenyahkan warga Dago Elos dari kampungnya.
Warga Dago Elos perlu tahu dengan pebisnis macam apa mereka berhadapan.
*****
Reporter: Abdul Harahap, Ibrahim Alkatiri
Editor: Sentot