Trimurti.id, Bandung – “Katanya, sih, orang Jerman…,” ungkap Ibu Eti (bukan nama sebenarnya) setengah ragu, ketika ditanyai tentang siapakah Hendrik Muller gerangan.
Eti adalah salah seorang warga Dago Elos, Bandung. Bersama lebih dari 300 keluarga lainnya, dia sedang dilanda kecemasan hebat.
Mereka dianggap melakukan perbuatan melawan hukum. Tudingannya pun serius, telah tanpa hak menempati lahan milik orang lain.
Penggugat mereka di pengadilan adalah tiga orang bersaudara, mengaku sebagai cucu dari Hendrik Muller.
Mereka merasa berhak atas harta warisan berupa tiga bidang lahan seluas kurang-lebih 6,3 ha di kawasan Dago, Bandung utara.
Berbekal berbagai macam dokumen, tiga bersaudara keturunan Hendrik Muller (Heri Hermawan, Dodi Rustendi, dan Pipin Sandepi) maju ke pengadilan.
Mereka ingin membuktikan kepemilikan lahan warisan kakeknya. Salah satu yang dibawa adalah Penetapan Pengadilan Agama Cimahi (2014) yang menyebut leluhur mereka George Hendrikus Wilhelmus Muller adalah “orang Belanda kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia.”
Keterangan tersebut sungguh menggelikan. Karena surat tugas yang dimaksud tidak pernah diperlihatkan, tidak diketahui apa saja gerangan tugas yang mulia Tuan George Hendrikus Wilhelmus Muller di Indonesia.
Tidak ada bukti orang itu berkerabat dengan Ratu Wilhelmina. Mustahil pula membayangkan ketiga orang Rancaekek keturunannya ini tergabung dalam—jika ada—grup WhatsApp anggota Kerajaan Belanda.
Namun, justru dari sekeping keterangan menggelikan inilah Trimurtid.id tergerak untuk mencari tahu silsilah dan latar belakang keluarga Muller.
Berikut adalah penelusuran kami tentang keluarga Muller. Sebagian informasi bersumber dari salinan dokumen pengadilan atas sengketa lahan Dago Elos, yang diperoleh dari warga tergugat.
Informasi selebihnya dipungut dari sumber-sumber terbuka termasuk Wikipedia. Namun sumber yang sangat berharga berasal dari situs arsip nasional Kerajaan Belanda, yang melakukan digitalisasi dokumen-dokumen masa kolonial dan menyajikannya untuk publik luas agar dapat dibaca oleh siapa saja.
Georgius Hendrikus Muller (1805-1882), serdadu KNIL
Leluhur keluarga Muller yang pertama kali menginjakkan kaki di Hindia Belanda adalah Georgius Hendrikus Muller. Dia lahir di Rotterdam pada 1805.
Sebuah dokumen menerangkan bahwa pada 21 November 1822 Georgius meninggalkan pelabuhan Hellevoetsluis di Selatan Belanda, menumpang kapal Wilhelmina, dan mendarat di Batavia pada 11 Mei 1823.
Tenaga kesehatan ini, tepatnya juru bedah, tiba di Hindia Belanda sebagai serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL, militer Hindia Belanda).
Georgius ditugaskan mula-mula di garnisun Seram (1823), kemudian di Yogyakarta (1828), Banjarmasin (1831), dan Kedu (1837).
Sesudah pensiun dengan pangkat kapten (uang pensiunnya 1200 gulden per tahun), Georgius membuka praktik swasta dan menetap di Pekalongan sampai akhir hayat (1882).
Berkat jasanya saat bertugas di Yogyakarta semasa perang Diponegoro (1825-1830), Henricus Muller dinyatakan sebagai pahlawan perang yang dianugerahi Medali Perunggu oleh Kerajaan Belanda.
Henricus Muller menikahi Virginia Elisabeth Montignij di Salatiga (1835) dan dikaruniai belasan anak. Sebagian besar perempuan. Salah satu anak laki-lakinya adalah: Georgius Hendricus Wilhelmus Muller.
Georgius Hendricus Wilhelmus Muller (1842-1917), Si Tuan Kebun
Georgius Hendricus Wilhelmus (GHW) Muller lahir di Salatiga pada 1842. Sebagai anak (pensiunan) Kapten KNIL, diperkirakan dia mendapatkan pendidikan yang cukup baik. Setidaknya mampu baca-tulis. Tidak ada yang diketahui tentang masa mudanya. Namun penting untuk dicatat, GHW Muller berusia 28 tahun ketika pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Agrarische Wet 1870.
Undang-undang tentang agraria ini memberi kesempatan bagi perusahaan swasta untuk menyewa lahan negara hingga selama 75 tahun dan membuka perkebunan skala besar.
Sekian puluh tahun kemudian, barulah nama GHW Muller muncul dalam sistem administrasi Hindia Belanda.
Dalam dokumen berjudul Daftar Perkebunan Besar Swasta Hindia Belanda (1914), dia disebut sebagai pemegang konsesi erfpacht (setara dengan Hak Guna Usaha) sekaligus administratur perkebunan teh dan kina di persil Tegalsari I dan Tegalsari II.
Kedua persil, terletak di afdeeling Tjitjalengka (Cicalengka) dan Baloeboerlimbangan (Balubur Limbangan, sekarang masuk wilayah Kabupaten Garut), masing-masing disewa sejak 1892 dan 1899.
Selain itu, namanya juga tercantum sebagai administratur perkebunan Sindang Wangi dan Gadoeng Batoe, yang mengolah empat persil lahan di daerah Cibentang.
Dokumen yang sama menyebutkan bahwa adiknya, Hendrikus Petrus Everardus Muller, mengelola perkebunan kopi di persil Daoelat, yang juga terletak di Balubur Limbangan.
Generasi kedua Muller, keduanya lahir di Salatiga, tiba-tiba saja muncul di Priangan Timur sebagai tuan kebun, yang sangat diuntungkan oleh keputusan pemerintah kolonial untuk membuka jalur kereta api Bandung-Cicalengka-Garut.
Semua perkebunan yang disebutkan di atas terletak dekat Stasiun Cicalengka (beroperasi mulai 1884) dan Stasiun Nagreg (dibuka pada 1890).
Dapat dibayangkan, hasil panen dari perkebunan mereka (teh, kina, kopi) diangkut ke Stasiun Nagreg dan Cicalengka, mungkin dengan gerobak yang ditarik kuda, lalu diberangkatkan ke Batavia untuk diekspor ke luar negeri.
Dari beberapa potong informasi di atas, setidaknya sejak 1892 GHW Muller kemungkinan besar berkeliaran di Salatiga serta sekitar Cicalengka, Nagreg, dan Balubur Limbangan.
Dia diberitakan menikah dengan perempuan asal Desa Simpen, Limbangan. Namanya “Ny. Munersih alias Ny. Mersi,” menurut salinan dokumen pengadilan.
Keterangan ini diperoleh dari Pakih, yang mengaku sebagai adik dari Munersih. Tidak ada informasi tambahan, sejak kapan GHW Muller menikah dengan Munersih.
Pakih sendiri bukan saksi hidup sehingga sehingga keterangannya kurang dapat diandalkan. Dia tidak pernah berjumpa dengan GHW Muller.
Pakih diperkirakan baru lahir pada 1932, atau 25 tahun sesudah GHW Muller meninggal dunia. Menurut keterangan Pakih, dari perkawinannya, Munersih kemudian dikarunia tiga orang anak: George Hendrik, Ani, dan Husni. Kemudian, cerita tentang Ani dan Husni berakhir begitu saja. Keduanya dikabarkan sudah meninggal dunia. Ani pada 1971, dan Husni pada 1967.
Munersih alias Mersi dari Limbangan rupanya adalah perempuan yang, pada sumber yang lain, disebut sebagai Nersi atau Nersie.
Diperkirakan, sejak sebelum 1902, GHW Muller menikahi Nersie. Pada tahun itu Nersie tercatat melahirkan anak laki-laki bernama Anton Willem Muller di Cicalengka.
Pada masa dewasanya, Anton diketahui bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf, dan kemungkinan pernah tinggal di Kaum Kidul, Sukabumi.
Bagian cerita yang menyedihkan, pada umur 42 tahun Anton ditangkap bala tentara Jepang, untuk dipekerjakan sebagai tenaga romusa yang membangun jalur kereta api di Pakanbaru, Riau.
Anton tidak pernah tiba di Pekanbaru. Kapal yang ditumpanginya, Jun’yō Maru, ditorpedo kapal perang sekutu dan tenggelam di perairan Sumatera pada 14 September 1944.
Anton tewas bersama 5600 orang lebih penumpang lainnya.
GHW Muller dikaruniai umur panjang. Meninggal pada usia 75 tahun dan dikuburkan di pemakaman Sentiong, Cicalengka (1917).
Setengah abad lebih kemudian, pemakaman orang Eropa di Sentiong dibongkar. Tulang belulang orang-orang yang sudah meninggal dipindahkan ke pemakaman Nyalindung.
Keterangan ini diberikan oleh saksi hidup Machyar, sekretaris desa yang kemudian menjadi kepala desa Cicalengka Wetan.
Nasib istrinya, Nersie, benar-benar tidak diketahui. Padahal, dialah ibunda dari penerus keturunan Muller berikutnya: George Hendrik.
George Hendrik Muller (1906-1964), Anak dari Masa Perang Dunia
George Hendrik Muller lahir di Tegalsari, Salatiga, pada 24 Januari 1906. Dia kurang beruntung, karena lahir pada saat kejayaan perkebunan mulai memudar.
Beberapa tahun sebelum dia lahir, perkebunan Daoelat hendak melepaskan hak pengusahaan atas persil Daulat dan Daulat I yang ditanami kopi jawa, kopi liberia, dan kina.
Iklannya terpampang di Preanger Bode edisi 25 Mei 1902. Di situ disebutkan, “administrasi kebun berjalan dengan baik.”
Kedua persil ditawarkan sekaligus dengan gudang, ternak bertanduk, kandang kuda, beberapa kamar tidur untuk para bujang, gamelan, peralatan pres tembakau dan penggiling kopi.
Peminat dipersilahkan menghubungi “… Administrateur, den Heer H. Muller te Daoelat (halte Nagrek).” Orang yang dimaksud siapa lagi kalau bukan Hendricus Muller, paman dari George Hendrik Muller.
Hindia Belanda kemudian mengalami masa kemunduran, dan titik terendahnya adalah krisis ekonomi 1930-an.
Seperti Anton, kakaknya yang mati tragis tenggelam di laut, George Hendrik Muller memasuki masa dewasa dalam kecamuk Perang Dunia II.
Sesudah Jepang menyerah pun, bahkan hingga 1949, perang masih berkecamuk antara tentara Indonesia melawan KNIL. Termasuk di Rancaekek dan Cicalengka.
Menurut keterangan dari keturunannya, yang kemudian dikukuhkan oleh Penetapan Pengadilan Agama Cimahi, GH Muller menikah dengan perempuan Rancaekek bernama Roesmah, dan dikaruniai lima orang anak: Renih, Edi Edward (Eduard), Gustaaf, Theo, dan Dora.
Keterangan tersebut dapat disandingkan dengan informasi dari sumber-sumber lainnya. Ada bukti bahwa pasangan George Hendrik Muller-Roesmah dikaruniai anak sulung bernama Harry Muller, yang lahir di Madiun pada 22 Agustus 1930.
Agak aneh, dan tidak ada penjelasannya, mengapa Roesmah melahirkan di Madiun. Menariknya, informasi ini diperoleh dari catatan militer.
Tersimpan dalam arsip Kementerian Tanah Jajahan, tepatnya dari Daftar Pensiunan Serdadu Militer KNIL di Hindia Timur dan Barat, tahun 1815-1949 (tahun terbit: 1954).
Rupanya, pada tahun 1942, saat Hindia Belanda memasuki masa perang, George Hendrik Muller mendaftarkan diri masuk KNIL.
Kemudian, ada petunjuk lain yang menyatakan bahwa pada 1943 Roesmah melahirkan Pieter Adriaan Muller di Bandung. Pieter Muller meninggal pada usia 26 tahun di Heerlen, Belanda.
Malang betul nasib Harry dan Pieter. Dilupakan oleh sanak saudaranya sendiri. Nama mereka sama sekali tidak disebutkan dalam seluruh dokumen pengadilan dalam sengketa lahan di Dago Elos.
Tidak diketahui sejak kapan tepatnya George Hendrik Muller dan Roesmah—mungkin bersama anak-anak mereka—menetap di Belanda.
Kemungkinan, mereka meninggalkan Indonesia usai masa perang, sesudah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia (1949).
Ada kemungkinan lain, sesudah nasionalisasi pekebunan swasta asing tahun 1957-58, dan keluarga Muller kehilangan seluruh lahan perkebunannya, barulah George Hendrik Muller mengucapkan selamat tinggal kepada Rancaekek.
Jejak George Hendrik Muller dan Roesmah baru terlacak lagi sesudah dua puluh tahun lebih. Pada 2 November 1964 Gustaaf Muller, 28 tahun, buruh pabrik, mendatangi petugas Balaikota Heerlen di Belanda untuk melaporkan kematian ayahnya.
George Hendrik Muller, buruh tambang, meninggal dunia di Voerendaal pada usia 58 tahun.
Roesmah berusia jauh lebih panjang dari yang dinyatakan di dokumen pengadilan. Nenek ini mengembuskan nafas terakhir pada 1989.
Menandai kepergiannya, keluarga Muller di Belanda mengumumkan berita duka di Limburg Dagblad edisi 7 Desember 1989, yang (sebagian) terjemahannya berbunyi kira-kira begini:
“Dalam kedukaan mendalam kami beritahukan, telah meninggal dunia pada usia 80 tahun, Ny. Roesmah (lebih dikenal sebagai Oma Larees), janda dari George Hendrik Muller. (Kami yang berduka) Anak: Harrie Muller, Eduard Muller, Gustave Muller, Theo Muller, Dora Muller. Menantu: Willem Reinartz; beserta segenap cucu dan cicit keluarga Muller.Pembacaan doa, dilanjutkan dengan pemakaman, akan dilakukan pada Sabtu, 9 Desember (1989), pukul 11.00 bertempat di Gereja Bunda Maria Pelindung Abadi, Kunrade.”
George Hendrik Muller dan Nersie meninggalkan beberapa orang anak. Tapi, yang perlu diceritakan hanya satu orang saja, Edi Eduard Muller.
Edi Eduard Muller dan Tiga Anaknya
Edi Eduard Muller diketahui lahir pada 1933. Menikah dengan Sarah Sopiah Siahaya pada Agustus 1966 di Rancaekek.
Dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak: Herry Hermawan (1967), Dody Rustendi (1968), dan Pipin Sandepi (1971).
Ketiganya lahir di Rancaekek dan pada kemudian hari menjadi pihak yang menggugat warga Dago Elos.
Pernikahan Edi Muller dan Sarah bertahan sekitar sembilan tahun. Mengutip keterangan yang diberikan di depan Pengadilan Negeri Bandung, mereka bercerai karena Edi tidak punya pekerjaan tetap.
Dijelaskan pula bahwa Sarah “keadaan ekonominya lebih mampu.” Karena itu, pengadilan memutuskan, hak perwalian atas ketiga anak yang masih kecil ini diberikan kepada ibunya, Sarah.
Tidak diketahui, apa tepatnya yang dilakukan Edi Muller, wiraswasta, untuk mengongkosi hidupnya sendiri.
Dokumen pengadilan menunjukkan, Edi Muller terlihat lebih sibuk sepanjang tahun 2000. Mondar-mandir dari kantor desa dan kantor kecamatan di Rancaekek sampai kantor pemerintah Kabupaten Bandung di Soreang.
Berbulan-bulan dia menghabiskan waktunya mengurus berbagai macam kelengkapan administrasi, untuk mendapatkan surat keterangan sebagai keturunan sah yang berhak mewarisi harta kekayaan ayah dan kakeknya.
Sesudah tahun 2000, entah mengapa upayanya mengendor. Mungkin sibuk dengan urusan yang lain.
Edi Muller meninggal pada 2006. Upayanya diteruskan oleh ketiga anaknya. Hasrat dari ketiga keturunan Muller untuk mendapatkan lahan warisan leluhurnya terlihat lebih banyak pada Desember 2008. Mereka menunjuk kuasa hukum Abay Hambali (saat itu, 82 tahun) untuk mendatangi Balai Harta Peninggalan di Jakarta.
Tujuannya, untuk menyatakan bahwa ayah mereka almarhum Edi Muller meninggalkan rumah tempat tinggal di atas lahan verponding seluas 1.125 m2, di Jalan Ir. H. Juanda 166, Bandung.
Letaknya di dekat Simpang Dago, salah satu kawasan dengan harga lahan termahal di Bandung.
Benar saja. Beberapa tahun kemudian keturunan keluarga Muller masuk dalam pusaran sengketa lahan hingga di tingkat kasasi (Putusan No: 1482 K/Pdt/2012), yang melibatkan sebuah keluarga dan pihak PT Kereta Api Indonesia.
Sebuah salinan dokumen yang dilihat oleh Trimuti.id menunjukkan bahwa Muller bersaudara pernah mengincar sebuah lahan di Blok Pasir Sanghiang, Desa Dampit, Cicalengka.
Seperti yang sudah-sudah, mereka menyatakan diri sebagai keturunan GHW Muller.
Dan, seperti yang sudah-sudah pula, mereka menyatakan bahwa buyut mereka—entah benar entah tidak—adalah pemegang eigendom verponding dari lahan di Blok Pasir Sanghiang tersebut.
Lalu, karena tidak ada uang, keluarga Muller ingin mengetuk hati para investor, minta dibantu untuk mendapatkan lahan tersebut.
Sebagai informasi, ada rencana menjadikan lahan tersebut sebagai tempat pariwisata. Tidak diketahui, apakah rencana tahun 2017 tersebut terwujud atau tidak.
Namun, yang sudah diketahui dengan jelas, untuk merebut lahan di Dago Elos dan mengenyahkan segenap penghuninya, keluarga Muller telah menemukan kawan;: PT Dago Inti Graha.
**
Membandingkan semua dokumen yang diperoleh, keterangan yang diberikan oleh keluarga Muller di depan pengadilan sebagian memang benar.
Tapi sebagian lainnya harus disebut tidak lengkap, tidak seluruhnya tepat, tidak dapat diyakini kebenarannya.
Sejauh ini, dapat dipercaya bahwa Edi Muller dan ketiga anaknya memang keturunan dari George Hendrik Muller.
Benar pula adanya, George Hendrik Muller adalah anak dari Georgius Hendricus Wilhelmus Muller.
Meskipun Muller adalah nama marga Jerman, Muller yang sering digunjingkan antartetangga di Dago Elos adalah keturunan Belanda.
Lebih tepatnya lagi, George Hendrik Muller berdarah setengah Belanda setengah Limbangan. Generasi seterusnya, Edi Muller adalah seperempat Belanda, dan ketiga anaknya semuanya seperdelapan Belanda.
Ucapan bahwa leluhur mereka adalah “kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia” tak lain adalah dusta belaka.
Generasi kelima Muller di Rancaekek adalah keturunan serdadu KNIL dan tuan kebun.
Rasanya tidak perlu lagi untuk dijelaskan, bahwa ekonomi perkebunan kolonial sudah menguras kekayaan tanah Priangan Timur dan menyengsarakan rakyatnya.
Jika keluarga Muller di Rancaekek bersikeras hendak merebut lahan dari ratusan keluarga, yang seluruhnya adalah orang miskin atau tidak terlalu kaya, yang selama ini menghuni dan merawat kampung-kampung di Dago Elos, maka mereka sedang melanggengkan pemiskinan rakyat.
Penulis : Suyatno
Editor : Dachlan Bekti