Categories
Kabar Perlawanan

Aan Aminah Ditetapkan sebagai Tahanan Kota. Pembungkaman Buruh?

Trimurti.idInilah perkembangan berikutnya dari kasus pelanggaran hak-hak perburuhan di CV Sandang Sari. Pada 1 Februari 2021 kemarin, Kejaksaan Negeri Bandung menetapkan Aan Aminah (46 tahun), pengurus Serikat Buruh Militan (Sebumi) di CV Sandang Sari, sebagai tahanan kota.

Berdasarkan laporan yang diterima oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Antapani, Bandung, Aan Aminah dikenai sangkaan melakukan penganiayaan terhadap Yudi Hardadi, petugas keamanan (security) di pabrik CV Sandang Sari.

Padahal, “satpam itu sendiri gak tahu kalo dia pernah melaporkan saya,” ungkap Aan Aminah saat dihubungi Trimurti, Kamis 4 Februari 2021.

Aan Aminah menceritakan, perkara ini bermula dari rencana perusahaan untuk melakukan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dengan cara dicicil, bukan dibayarkan penuh sekaligus. Kemudian, pada Sabtu 22 Juni 2020, buruh-buruh CV Sandang Sari mendesak untuk melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Bukan perundingan yang terjadi, melainkan penghadangan rombongan buruh oleh pihak keamanan perusahaan dan polisi.

Pada peristiwa penghadangan itu, Aan menceritakan; dia dan tiga temannya menjadi korban kekerasan aparat dan petugas keamanan pabrik dengan didorong dan dihimpit. Merasakan sakit di dada dan tangan, Aan berteriak minta tolong. Alih-alih menolong, keamanan pabrik dan polisi malah memperkuat himpitan. Secara spontan Aan menggigit tangan petugas keamanan.

“Jadi, itu murni upaya saya membela diri,” tegas Aan.

Terluka akibat himpitan itu, Aan Aminah dan beberapa buruh lainnya memeriksakan diri ke RSUD Ujung Berung, Bandung.  Sayangnya, pihak rumah sakit tidak bersedia memberikan surat hasil pemeriksaannya (visum). Alasannya, visum hanya dapat diberikan bila ada surat pengantar dari kepolisian.  Sementara, Kepolisian Sektor  Antapani menolak memberikan surat pengantar.

 

Baca juga:

https://trimurti.id/kabar-perlawanan/tuntutan-masih-belum-dipenuhi-bogem-polisi-didapati/

 

Aan Aminah kemudian diadukan melakukan penganiayaan, ditetapkan sebagai tersangka, dan sekarang dikenai tahanan kota. Menurutnya, penetapan dirinya sebagai tahanan kota adalah upaya CV Sandang Sari membungkam para buruh yang menuntut hak-haknya.

“Ini jelas upaya politik perusahaan sih. Mereka melakukan ini karena saya vokal dalam menuntut hak-hak saya,” jelasnya.

Sebagaimana diberitakan sebelumya, gara-gara menuntut hak dan melakukan mogok kerja, 120 buruh CV Sandang Sari digugat oleh majikannya sendiri, dengan nilai gugatan Rp12 Milyar (tepatnya, Rp12.007.969.666,-).

Aan menambahkan, hinggas saat ini buruh-buruh masih menuntut pembayaran upah dan THR, yang sejak tahun lalu belum dilunasi oleh CV Sandang Sari, dengan dalih kesulitan keuangan akibat pandemi. Para buruh telah melaporkan pelanggaran hak-hak di CV Sandang Sari ke Dinas Keteranakerjaan (Disnakertrans) Kota Bandung dan Wali Kota Bandung. Laporan itu sampai sekarang belum ditanggapi.

 

Baca juga:

https://trimurti.id/kabar-perlawanan/enggan-penuhi-hak-buruh-cv-sandang-sari-gugat-buruhnya-sebesar-12-miliar/

 

Kuasa Hukum Tersangka: “Cacat Hukum”

Menurut pandangan Heri Pramono, satu kuasa hukum Federasi Serikat Buruh Militan (F-Sebumi), penetapan Aan Aminah sebagai tahanan kota adalah cacat secara hukum. Penetapan ini mengacu ke pasal 35 ayat 1 dan 2 KUHP, yang menyebut bahwa (1) penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; (2) jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

“Penetapan ini cacat hukum, karena sama sekali tidak berdampak apapun terhadap si petugas keamanan. Ia tidak terluka, memar dsb,” ungkap Heri ketika dihubungi Trimurti.id pada Selasa 2 Februari 2020.

Heri menambahkan, apa yang dilakukan Aan Aminah adalah upaya untuk melindungi diri ketika Aan dan buruh lainnya hendak berunding dengan pihak perusahaan. Rangkaian kejadian ini mencerminkan upaya membungkam tuntutan buruh.

 

Reporter: Abdul Harahap

Editor: Dachlan Bekti