Trimurti.id, Bandung – Bentuk alasan seperti apa yang mampu membuat tindakan penghilangan hak dasar semua manusia, kurang-lebih pada jaman ini, bisa disikapi dengan wajar dan legal?
Begitulah pertanyaan yang muncul di benak setiap orang yang telah/akan kehilangan kebutuhan dasarnya sebagai manusia.
Pertanyaan itu pula yang kembali hinggap di setiap kepala warga Dago Elos.
Mereka terancam kehilangan sumber kehidupannya, yakni tanah dan rumah tanpa ada kompensasi.
Bukan dalam rencana revitalisasi, benar-benar berada dalam sengketa yang hasil pahitnya adalah penggusuran yang tidak terdapat kebijakan relokasi sama sekali.
Dago Elos merupakan wilayah yang begitu hidup, dengan segala kompleksitas yang mengada bersama hubungan antar-individu yang bersosial di dalamnya.
Terletak di bagian Bandung utara, Dago Elos sama seperti kawasan Dago yang lain.
Salah satu sudut dari ramainya aktivitas di sepanjang jalan raya utama Dago yang pada tahun 1970 telah resmi berganti nama menjadi jalan Ir. H. Juanda.
Bentangan jalan yang hari ini lebih dikenal sebagai pusat komoditas konsumsi; sebagai wisata belanja dan kuliner.
Setidaknya dalam kacamata kita yang kekinian, kawasan ini begitu atraktif untuk bertamasya ala penduduk urban.
Di sepanjang kanan-kiri jalannya terdapat deretan gedung, mulai dari bank, kafe dan restoran, toko outlet, gedung pendidikan, dan hotel.
Dago Elos sendiri merupakan area penting bagi perputaran hubungan antar masyarakat. Di tempat ini terdapat terminal Angkutan Kota (Angkot) sekaligus tempat pemberhentian Bus.
Di waktu subuh, luasan lapang terminal ini menjadi sebuah pasar tradisional harian. Dari sarana transportasi warga Bandung, hingga situs jual-beli kebutuhan keluarga yang sangat diperlukan bagi warga Dago dan sekitarnya.
Di belakang terminal, terdapat pemukiman warga RT 01 dan RT 02 dari wilayah RW 02 Dago Elos yang kini terancam hilang.
Telah puluhan tahun tanah Dago Elos digarap oleh warga sebagai tempat bermukim sehingga memiliki fungsi sosial yang begitu penting.
Sejak tahun 1918 saja sudah ada empat keluarga yang menempati tanah ini.
Terhitung sejak itu pula tanah Dago Elos telah dipelihara, dipergunakan untuk keperluan dasar setiap manusia (papan), dan berhasil memenuhi fungsi bagi masyarakat penggarap dan sekitarnya.
Di atas tanah itu telah berdiri rumah-rumah para pekerja untuk mereproduksi tenaga kerjanya untuk hari esok.
Generasi buyut hingga cucu telah lahir di tanah ini, membentuk masyarakatnya; membentuk kebudayaannya sendiri; membentuk jaringan sosial yang ‘sah’ secara adiministratif.
Terbentuknya rukun tetangga/warga, pos kamling dan sebagainya, teregistrasi secara resmi sebagai penduduk kota Bandung.
Sudah sekian lama menjadi saksi hidup ratusan orang sebagai ruang dimana pelbagai pengalaman membentuk sejarahnya bagi masing-masing individu.
Sebagai tempat kelahiran dan tanah yang membesarkan setiap warga dari semula merangkak, belajar berjalan lalu ter.jatuh, sampai mampu berlari dengan cepat.
Namun Dago Elos juga ternyata sama seperti daerah Dago lainnya. Kawasan yang semula diperuntukan untuk pemukiman dan Ruang Terbuka Hijau berangsur-angsur menjadi Dago yang kita kenal saat ini: kawasan komersial.
Pasalnya, tiga orang bernama belakang Muller bersama PT. Dago Inti Graha yang merupakan perusahaan properti mengakuisisi tanah Dago Elos seluas 6,3 hektare.
Warga Dago Elos digugat bersalah karena telah menduduki tanah milik Keluarga Muller.
Penggusuran yang akan dialami warga Dago Elos ini adalah dampak logis dari perubahan lanskap ruang Dago secara keseluruhan.
Ketika sebelumnya, rumah–rumah peninggalan Belanda pun hampir tidak tersisa di Dago. Aktor yang terlibat dalam sengketa tanah Dago Elos merupakan perusahaan property.
Baca juga: Dago Elos Dalam Pusaran Bisnis Keluarga Hartanto
Upaya Warga Dago Elos
Dimulai pada tanggal 4 Agustus 2016, Lahan seluas 6,3 hektare yang dihuni 400 kepala keluarga Dago Elos digugat berdasarkan hak Eigendom Verponding sebagai milik Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller dalam permohonan untuk hak atas tanah Eigendom nomor 3740, 3741, dan 3742 yang terletak di Dago Elos, kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung.
Warga tentu terkejut dengan gugatan tersebut. Karena selama mereka menampati tanah Dago Elos, tak pernah sekalipun ada desas-desus mengenai ahli waris, keluarga Muller, dan sebagainya yang menyangkut kepemilkan tanah ini.
Sehingga pada awalnya warga menganggap gugatan yang menimpa mereka sekedar angin lalu.
“Kaget lah, kenapa gak dari dulu, sudah lama kita di sini, gak ada tuh yang ngaku-ngaku punya tanah ini. Sekarang udah ada apartemen, tiba-tiba ada yang mengaku ahli waris. Jadi kaget aja warga tuh”, Ujar Tuti selaku warga yang telah tinggal di Dago Elos sejak tahun 1992.
Di tahun 1994 warga Dago Elos sempat meminta sertifikasi terhadap pemerintah kota Bandung yang ketika itu dipimpin oleh Ateng Wahyudi tetapi ditolak.
Pada tahun 2000 warga melakukan upaya yang sama kepada BPN, tetapi hanya 1 hektare yang disetujui.
Emak Aan, begitu sapaan dekatnya, adalah warga yang lahir di Dago Elos dari tahun 1965. Emak merupakan sepuh warga yang melihat perubahan Dago dari waktu ke waktu.
Seingat Aan beberapa rumah dulunya merupakan kebun-kebun kecil dan tempat berdirinya apartemen The MAJ dulunya adalah galian pasir (PT Tegel Semen Handeel Simoengan).
Konon hampir semua warga Dago Elos dan Cirapuhan menjadikan galian pasir tersebut sebagai mata pencaharian utama.
Bagi Aan, Dago Elos merupakan tempat yang melekat selama proses hidupnya.
Tentu Aan menangis histeris, ketika mengetahui putusan yang memenangkan gugatan keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha atas hak tanah Dago Elos pada tanggal 24 Agustus 2017.
Meskipun nama Emak Aan tidak ada dalam daftar 341 orang tergugat, tetapi ia tidak bisa menanggung beban jika harus hengkang dari Dago Elos.
Barangkali benar kata orang jika Emak Aan tidak akan kehilangan apa-apa dari akibat penggusuran ini, karena ia sekarang hanya menyewa hunian di Dago Elos.
Tapi ingatan akan tempat ini terlampau banyak untuk dilihatnya hanya sebatas kenangan.
“Dulu Emak punya rumah disini, tinggal sama orang tua Emak. Aing ti orok bereum didieu (saya dari bayi masih merah sudah disini) gak mau kalau harus pergi, Emak harus ikut bertahan dan berjuang untuk Dago Elos”, Ujar Aan.
Pada tanggal 7 September 2017, keluar surat eksekusi tanah terhadap 233 orang yang tidak mengikuti sidang, sedangkan 108 orang sisanya masih bisa Banding ke Pengadilan.
Salah satu warga Dago Elos yang dikenal sebagai Angga kemudian meminta bantuan kepada Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH).
Karena upaya pihak lawan sudah sedemikian matang, bagi Angga permasalahan ini harus diselesaikan secara hukum. Pada akhirnya warga melakukan upaya banding melalui LBH.
Selain LBH, ada kawan-kawan solidaritas menemani perjuangan mempertahankan tanah. Hingga kini mereka masih bersama warga Dago Elos.
Untuk mengajukan banding dibutuhkan sejumlah biaya yang tidak sedikit.
Seluruh warga patungan sukarela, lalu sisanya didapat dari kegiatan mengamen di depan terminal dan sumbangan dari solidaritas.
Biaya yang harus dikeluarkan warga Dago Elos waktu itu mencapai Rp200 juta lebih untuk menempuh jalur hukum.
Bertahun-tahun berselang, semangat perjuangan warga dan aktivitas hariannya di bawah bayang-bayang kehilangan rumah, mendapatkan kabar baik dari Mahkamah Agung (MA).
Warga memenangkan gugatan perdata di tingkat kasasi. Mereka menolak klaim tanah oleh keluarga Muller dan PT. Dago inti Graha karena eigendom verponding tidak dikonversi dan tidak di daftarkan.
Berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019, hakim Mahkamah Agung mempertimbangkan bahwa eigendom verponding atas nama George Henrik Muller sudah berakhir karena tidak dikonversi paling lambat tanggal 24 September 1980.
Pada tanggal 24 juli 2020, solidaritas bersama warga mengadakan konferensi pers untuk mengabarkan kemenangan yang telah diperoleh.
Dengan ini hak prioritas tanah yang sedang dalam sengketa diberikan kepada warga yang telah menggarap tanah tersebut dalam waktu yang cukup bahkan sangat lebih jika mengacu pada UU PA dimana tanah akan diprioritaskan untuk masyarakat yang telah mendudukinya selama 20 tahun.
Warga kemudian bisa bernafas lega, dapat melakukan rutinitas hariannya tanpa memiliki kecemasan terjadinya penggusuran.
Namun semua itu tidak berlangsung lama, ternyata pihak lawan tidak menerima begitu saja kekalahan mereka.
Di tahun ini warga ditampar oleh surat Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung yang memenangkan pihak Keluarga Muller dan PT. Dago Inti Graha.
Baca juga: Persoalkan Status Lahan, Faroum Dago Melawan kembali Geruduk BPN dan Pemkot Bandung
Di putusan Nomor 109 PK/Pdt/2022 Mahkamah Agung mengalahkan semua warga secara total seolah tidak melihat kemenangan warga di kasasi.
Menyatakan bahwa seluruh warga yang menempati tanah seluas 6,3 hektare telah mekakukan perbuatan melawan hukum.
Ternyata bukan harapan yang sirna melainkan kegeraman yang makin muncul.
Walaupun kalah di jalur hukum, jauh-jauh hari warga tidak hanya mengandalkan upaya hukum sehingga tak terhitung upaya yang mereka jalani menumbuhkan kesadaran masyarkat terhadap kasus-kasus sejenis.
Warga bersama kawan-kawan solidaritas lebih giat lagi melakukan aktivasi ruang di Dago Elos guna menumbuhkan kesadaran akan ketidakadilan yang diderita mereka.
Melakukan kampanye hingga aksi-aksi untuk mengabarkan konflik sengkata lahan di Dago Elos dan kewajiban mempertahankan ruang hidup.
“Kita bukan lagi berbicara masalah hak waris dijaman Belanda dan lain sebagainya, tapi ini adalah ruang hidup kami yang harus kami pertahankan, bukan lagi kita mempertahankan si rumah atau tanahnya tapi bagaimana kami bekerja mengumpulkan rupiah-rupiah dari sekitaran sini”, tukas Angga.
*****
Reporter: Elijah Warobay
Editor: Dedi Muis