Saya terpikir untuk melanjutkan seri tulisan ini setelah menonton Trigger Warning (2024) yang baru saja dirilis beberapa hari lalu. Berangkat dari rasa penasaran dalam kadar terhitung tinggi, mengingat film-film sebelumnya yakni Fiksi. (2008), Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta (2013), dan Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) pernah membuat rontok anggapan saya mengenai perfilman Indonesia yang sedemikian tragis.
Mendengar kembali nama Mouly Surya sebagai sutradara Trigger Warning sudah tentu saya nanti-nantikan. Terlebih tubuh inlander saya meronta-ronta mengetahui film itu merupakan produksi Hollywood! Begitu pun publik Indonesia yang kini sedang ramai membicarakannya. Tidak bisa dipungkiri kalau parameternya perangkat teknologi produksi film, kecanggihan pranata Hollywood diharapkan mampu membuat ide Mouly Surya mengalir tanpa terhambat.
Namun kali ini terasa kekecewaan yang lebih kentara. Bukan karena harapan yang anjlok karena filmnya tidak sebaik film sebelumnya—meskipun banyak dari kita harus jujur bahwa hal itu pun betul. Tapi yang lebih mengganggu ialah kemasan cerita, khususnya latar belakang tokoh utama, karakter perempuan tipikal film-film Mouly yang kali ini merupakan anggota militer Amerika Serikat yang kariernya mujur.
Jessica Alba yang berperan sebagai agen Central Intelligence Agency (CIA) bernama Parker ialah karakter utamanya. Parker adalah tokoh yang teguh dan berdedikasi pada negara Amerika, tidak memiliki perubahan karakter dari awal hingga akhir (one-dimensional character). Keputusan menggunakan one-dimensional character itu sangat menjelaskan bagaimana cerita melihat konflik Timur Tengah, pun menegaskan pandangan pembuatnya mengenai konflik di luar layar Hollywood.
Meskipun adegan baku tembak di Suriah hanya berlangsung sekian menit, justru itulah yang menuntun narasi Trigger Warning hingga akhir. Kita tidak akan tahu kemampuan perang dan olah pedang dari sosok Parker berasal. Kita tidak akan mengerti kenapa Parker mentraktir tentara yang sama sekali tidak ia kenal sambil berujar, “Terima kasih atas pengabdiannya.” Kita bisa dipusingkan dengan stigma biner teroris yang tengah digunakan jadi konflik cerita.
Adegan awal yang hendak memperkenalkan pahlawan kita di film ini sarat akan rasisme yang mempertebal islamofobia serta stigma terorisme dunia Arab. Diperlihatkan bahwa Parker dan pasukan militer Amerika Serikat yang sedang mengirimi bantuan diadang oleh gerombolan ber-keffiyeh.
Tudingan muncul bersahutan dengan tragedi pada 8 Juni 2024 lalu, ketika militer Israel menyamar sebagai truk pembawa bantuan ke kamp pengungsi Palestina di Nuseirat untuk membantai mereka. Karenanya adegan itu dituduh sebagai upaya mengaburkan pembantaian pengungsi Palestina, padahal produksi filmnya sudah digarap sejak 2021 lampau.
Namun yang sulit disangsikan adalah penilaian publik Indonesia mengenai Trigger Warning sebagai proyek Hasbara. Seperti yang kita ketahui, Hasbara merupakan program propaganda Israel untuk membalikkan narasi pelaku-korban antara Israel dan Palestina. Biasanya membingkai kabar pembantaian Israel terhadap warga Palestina bersifat pembalasan atau memerangi terorisme dan antisemit.
Hasbara yang berjalan mirip CIA dengan tujuan membentuk opini dunia internasional terkait zionisme dan penjajahan Palestina telah menjalin relasi politik kebudayaan bersama Hollywood sedari Perang Dunia I.[1] Dalam sejarahnya pun Hollywood rajin mengasuh para zionis karena tuntutan hubungan diplomasinya dengan Israel. Salah satu di antaranya adalah Gideon Raff yang didukung Netflix habis-habisan.
Trigger Warning pun di distribusikan oleh Netflix, perusahaan televisi online yang terkenal dengan kegemarannya pada drama yang memuja-muji Mossad.[2] Tonton saja dua film garapan Gideon Raff yang didistribusikan Netflix: The Red Sea Diving Resort (2019) dan The Spy (2019). Ada juga Operation Finale (2018) atau Fauda (2015) yang sempat membuat Netflix dikecam sebagai distributor propaganda Israel.[3]
Namun memang kita tidak sekonyong-konyong menganggap Mouly Surya sebagai zionis karena filmnya begitu kental dengan propaganda Hasbara. Seperti konflik kebudayaan era Perang Dingin, kita tidak boleh melihatnya secara hitam-putih, tidak sesederhana berhubungan dengan Uni Soviet sama dengan musuh Amerika Serikat. Nyatanya banyak orang seperti Gabriel Garcia Marquez yang merasa dikibuli oleh agen CIA karena menulis di media bentukan mereka. Begitu pun dalam menanggapi Hasbara, saya kira banyak juga yang kena kibul atas program-programnya yang terselubung.
Anggap saja Mouly Surya sepolos itu, menerima tawaran menjadi sutradara di film Hollywood tanpa peduli naskah filmnya hendak berbicara apa. Dengan begitu, saya bisa menganggap enteng dirinya sebagai korban kibul agenda propaganda.
Tidak jadi soal, saya sudah kebal akan rasa heran sejak Blake Ibanez, gitaris Power Trip, sempat tergiring zionisme yang syukurnya dalam waktu singkat dia sadari itu hal yang bodoh bahkan untuk seorang Yahudi. Apa kabar dengan Alec Empire dan Jello Biafra? Saya cuma bisa berkerut-kening. Begitu pun suporter bola St. Pauli yang mengilhami banyak firma suporter di Indonesia untuk melawan depolitisasi sepak bola warisan Orde Baru, kini malah mengibarkan “Free Palestine from Hamas” yang dibalas oleh suporter Celtic FC dengan membentangkan spanduk “Fuck St. Pauli – Free Hamburg from Hipster”.
Kita tahu betul fenomena ini bukan karena kedunguan, kebodohan, atau sesederhana malas membaca. Bisa jadi mereka yang disebutkan di atas dikepung oleh informasi yang terancang dan sistematis. Sehingga cara menghindarinya mengharuskan semua manusia di muka bumi mendedikasikan waktu menjadi seorang peneliti yang tentu saja itu sulit kalau tidak mustahil.
Toh Zionisme pun tidak bisa dilihat sebagai gerakan politik yang antiintelektual. Mereka memiliki orang-orang yang mampu menerjemahkan dan menafsir laku-lampah masa yang telah lalu; mereka memiliki para intelek hermeneutik yang dapat menguak kode-kode arkais; mereka memiliki segudang pengarang spekulan yang mampu membuat pembacanya masuk ke dalam kisah dan mengimani kisahnya.
Walau tampak sekali agama dijadikan tiang pertama selain tradisi dan nostalgia kejayaan masa lalu, ketiganya dikemas dengan apik sebagai gerak sejarah. Melaluinya banyak orang percaya bahwa ada hamparan tanah yang dijanjikan bagi kaum Yahudi.
Bisa dibilang, fenomena seperti Alec Empire, Jello Biafra, suporter St. Pauli atau masa lalu Muray Bookchin, merupakan keberhasilan Hasbara dan Mossad mengail simpati dunia, dari kanan hingga kiri, penjajah atau bekas jajahan, untuk mengamini zionisme sebagai solusi kaum Yahudi di dunia. Di tulisan ini saya ingin memotret gerak-gerik Hasbara melancarkan propaganda zionisme melalui medium utamanya: Hollywood!
Makelar Hasbara di Hollywood
Dalam pemaparan Shaw dan Goodman dalam Hollywood and Israel: A History, diperlihatkan bahwa Hasbara selalu menitik beratkan programnya di Hollywood. Mereka bersikeras membuat film-film yang menggiring orang untuk simpati pada pendirian negara Yahudi bernama Israel.
Kedekatan Israel pada industri perfilman Amerika itu terbilang kental lagi langgeng. Tidak mengherankan apabila pada 1947, di bawah payung American Arts Committee for Palestine, 250 orang penting di Hollywood turut menandatangani kampanye untuk membuka Palestina bagi agenda zionisme. Arthur Miller dan Fred Zinnemann termasuk di antaranya.
Sudah pasti ada makelar yang bukan kaleng-kaleng untuk memikul tanggung jawab penyebaran agenda negara itu. Di Hollywood, terdapat tiga nama paling dikenal yang merupakan delegasi pemerintahan Israel: Teddy Kollek, Moshe Pearlman, dan Reuven Dafni. Ketiganya memiliki koneksi yang kuat dengan para majikan hingga pekerja Hollywood; dari mereka yang konservatif hingga progresif.
Pertama, kita bicarakan Teddy Kollek, salah satu aset utama intelijen Israel dalam operasi rahasianya di London dan Washington.[4] Keberhasilan Kollek sebagai agen bisa dilihat dari upayanya memodernisasi kebudayaan dan kesenian di Yerusalem yang dananya didapat dari Hollywood. Banyak petinggi Hollywood memberi donor kepada Kollek, bahkan musisi beken Frank Sinatra jadi salah satu donatur paling setianya. Kollek juga menjalin kerja sama dengan Wim dan Lia Van Leer membangun Jerusalem Film Center (Cinematheque) dengan menghubungkannya dengan seorang agen CIA, Frederick Gronich.
Dalam agenda kebudayaannya, Teddy Kollek mengadakan seminar penulisan naskah di Hebrew University dengan mendatangkan langsung sosok penting di Hollywood, Carl Foreman. Kegiatan itu beriringan dengan agenda Pemerintah Israel dalam menggenjot propaganda melalui budaya yang bisa diproduksi oleh penduduknya sendiri. Tak tanggung-tanggung, kala itu Israel memberikan pinjaman dan pembebasan pajak bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia film di negerinya.[5]
Sedangkan untuk agen bernama Moshe Pearlman, misi-misi Hasbara bisa dilacak pada saat Pemerintah Israel menggunakan insentif keuangan dalam memerangi gerakan boikot dari negara Arab melalui Hollywood. Pada 1958 Israel memberi subsidi besar pada produksi kultural luar negeri yang tidak memiliki tendensi antizionis, komite departemen yang mengurusi hal tersebut dikepalai oleh Pearlman.
Lebih jauh lagi, Moshe Pearlman pernah mengadakan kompetisi penulisan naskah yang bertema tentang penuturan Israel yang baik dan benar versi zionis. Kompetisi tersebut memiliki juri sineas tersohor dari Fred Zimmermann, Elia Kazan, hingga sutradara Prancis Christian-Jaque dan sutradara Italia Vittorio De Sica.[6]
Ketika film Roman Holiday (1953) dan Three Coins in a Fountain (1954) sukses di pasar global, Moshe Pearlman dalam kunjungannya ke Hollywood pada 1955, mendesak para penulis naskah mempelajari bagaimana kedua film itu merevitalisasi citra fasisme Italia pascaperang dengan cerita romcom (komedi romantik). Dalam kunjungannya ke Amerika itu, Pearlman meminta para sineas Hollywood untuk membuatkan dirinya film semacam Tel Aviv Holiday.[7]
Dalam perjalanannya menyusupi Hollywood, Moshe Pearlman memiliki hubungan spesial dengan sutradara cum produser, Dory Schary. Selain menghasilkan garapan film propaganda dan kompetisi naskah film yang mendulang publisitas tinggi di Amerika, Dory Schary juga mempunyai tugas mencari penulis naskah yang memiliki pandangan zionis dan mengirim mereka ke Israel untuk memperkuat perspektifnya.
Salah satu penulis yang diunggulkan Dory Schary adalah Leon Uris. Pandangan Uris terkait pendudukan Israel di Palestina membuatnya menjadi tamu kehormatan di tanah tersebut. Pada 1956, Leon Uris mendarat di Israel dan mendapat pendampingan langsung dari anggota muda Hasbara, Ilan Hartuv. Hanya berselang satu tahun setelah ia mengunjungi Israel, Leon Uris menghasilkan novel zionis berjudul Exodus.
Lalu satu tahun setelah Exodus dirilis, Leon Uris menjalin kerja sama untuk mengangkat novel itu ke layar kaca dengan Otto Preminger. Sutradara yang dua filmnya, The Man with Golden Arm (1955) dan Anatomy of Murder (1959), sangat ikonik dengan poster buah tangan Saul Bass. Walau entah kenapa di tengah garapan naskah filmnya, Preminger bertikai dengan Uris.
Namun Otto Preminger sudah memiliki hak cipta dari proyek tersebut, alhasil produksi film tetap dilanjutkan. Dengan dibutuhkannya penulis naskah yang tangkas, Preminger mencari pekerja dari mereka yang disebut Hollywood Ten. Awalnya Albert Maltz yang menggarap naskahnya, tapi di kemudian hari Preminger menunjuk Dalton Trumbo atas pertimbangan kecakapan dan kecepatannya memproduksi naskah.[8] Trumbo tidak masuk dalam kredit film karena waktu itu dirinya masih terdaftar sebagai Hollywood blacklist.
Penggarapan Exodus diawasi langsung oleh dua orang penasihat Hasbara: Pearlman dan Kollek. Keduanya ikut turun tangan menyetir Exodus agar diproduksi sebaik novelnya. Terdapat perombakan naskah yang datang dari para agen Hasbara, satu pendapat yang tidak dilakukan tapi sangat tendensius adalah pendapat Pearlman untuk mengganti kata “Palestina” menjadi “Tanah Israel” supaya membiasakan telinga dunia atas pendudukan Israel.[9]
Dimulai sejak keberangkatan Otto Preminger ke Israel pada Juli 1959 yang dikawal oleh Meyer Weisgal, seniman yang jadi pentolan fundraiser zionis di Amerika sebelum tahun 1948, untuk memastikan Exodus digarap di sana secara seksama.[10] Pembuatan film itu terbilang cepat, hanya butuh setahun untuk Exodus tayang di layar perak. Film Exodus meraih kesuksesan yang sebanding dengan film propaganda zionis sebelumnya, Land of Promise (1925).
Terakhir ada Reuven Dafni, yang sering membawa film-film Hollywood untuk diputarkan di Israel pada masanya. Dirinya merupakan utusan dari Haganah (paramiliter yang menjadi cikal bakal Israel Defense Forces, IDF) yang terkenal dengan anggota pendiri pemukiman Kibbutz Ein Gev di pesisir laut Galilea.
Keberadaan Dafni sebagai agen Israel di Hollywood terdeteksi sejak keikutsertaannya dalam rapat umum Hollywood di Los Angeles. Rapat umum itu diprakarsai oleh aktor Gene Kelly yang masyhur dengan filmnya, Singin’ in the Rain (1952), Keely dalam rapat tersebut menyerukan “Free Palestine”.
Pada masanya banyak kelompok kiri pasca-Perang Dunia II tergiring bersimpati pada program zionisme karena gemparnya tragedi Holocaust. Dalam agenda kampanye negara Israel yang kala itu baru berdiri di tanah Palestina, Reuven Dafni selaku diplomat Israel, memiliki taktik untuk mengail simpati selebritas progresif.
Dafni berhasil mengajak aktor, penyanyi, sekaligus aktivis Lena Horne untuk konser komersial dan amal di hadapan pasukan militer Israel yang sedang mengalami luka-luka. Tak terkecuali, komedian kritis yang sedang naik daun pada waktu itu, Charlie Chaplin, oleh Dafni dijadikan figur untuk kepentingan Hasbara.
Dafni mengajak Chaplin dengan memanfaatkan situasi Amerika yang sedang dalam praktik McCarthyisme, karena Chaplin terbilang orang kiri bagi pemerintah Amerika. Sehingga pada awal tahun 1950-an, Chaplin berkunjung ke Israel. Kisah Chaplin menginjakkan kaki di Israel begitu lirih terdengar, konon dirinya menangis tersedu-sedan melihat masyarakat Yahudi di sana.[11]
Banyak orang-orang progresif di Hollywood yang tergiring zionisme. Bartley Crum, seorang pengacara pembela Hollywood Ten yang bersimpati terhadap gerakan kiri, pernah berpidato “Salute to Israel” serta mengecam negara-negara yang diyakininya menginvasi Israel.[12] Crum merupakan salah satu dari kumpulan orang-orang kiri Amerika yang masuk perangkap Hasbara, walau begitu Bartley Crum tetap mati bunuh diri berkat tekanan sosial dan negara karena telah membela Hollywood Ten.
Di sisi lain, pada 1945, Jewish National Fund (JNF) berhasil melobi Herbert Kline. Filmmaker yang mencintai anarkis Barcelona di Perang Sipil Spanyol melawan fasis Franco itu, membuat propaganda zionis melalui nilai-nilai hiburan guna merebut perhatian penonton Amerika.[13] JNF memberi anggaran sebesar $75.000 untuk Kline pergi ke Palestina menggarap film My Father’s House (1947).
Film propaganda serupa juga muncul pada tahun yang sama, The Illegals (1947). Penulis sekaligus sutradaranya, Meyer Levin, didanai organisasi zionis: Americans for Haganah.[14[ Kedua film itu cukup signifikan karena jadi prototipe gambaran Hollywood terkait Israel di masa setelahnya.
Sebut saja film The Juggler (1953) yang disutradarai oleh pengkhianat Hollywood Ten, Edward Dmytryk. Film ini dirilis pada tahun ketika Trumbo dan ratusan rekan Hollywood-nya masih diasingkan, dengan kucuran dana sebesar $70.000 langsung dari Pemerintah Israel.[15]
Beda Era, Beda Agenda
Hollywood menggambarkan Israel di tahun 1950-1960 dengan berfokus pada cerita sejarah. Agendanya meyakinkan khalayak bahwa zionisme tak terelakkan demi menggaet pendukung internasional. Mereka membingkai pembangunan negara Israel sebagai suatu hal yang progresif hingga mendramatisasi kisah-kisah masa lalu. Contoh film-filmnya ialah yang telah disebutkan sebelumnya.
Baru di tahun 1970-1980 Hollywood menyentuh permasalahan dan kekhawatiran Israel yakni ancaman Dunia Arab, khususnya “terorisme Palestina”. Hollywood sering mengeluarkan film yang di dalam ceritanya Israel dan Amerika bekerja sama menumpas terorisme internasional.
Film Hollywood pertama yang menyorot terorisme dari Timur Tengah adalah Sabra Command (1973). Film ini bercerita tentang peledakan sekolah di Timur Tengah yang dilakukan oleh “kelompok teroris Palestina”. Kejadian itu membuat Israel dan Amerika bersatu untuk mencari dan menumpas dalang dari peledakan. Produser dan penulis naskahnya, Buddy Ruskin, berkelit bahwa film tersebut bukanlah cerminan narasi anti-Arab melainkan penggambaran terorisme Arab seperti potret mafia pada masa kejayaannya.[16]
Untuk film bernarasi terorisme internasional yang lahir di Dunia Arab dan mengancam Dunia Barat, kita bisa mengawali menonton Rosebud (1975) yang digawangi Otto Preminger. United Artist, rumah produksi yang pada tahun 1960-an merupakan pendukung utama Israel di perfilman, mendanai film Rosebud sebesar $35 juta dolar. Rosebud terhitung sebagai film megah pada zamannya, bahkan IDF pun turun tangan menyediakan peralatan hingga prajuritnya untuk kebutuhan Otto Preminger di film tersebut.[17]
Maraknya narasi terorisme Dunia Arab yang menyembul ke budaya populer ditanggapi oleh gerakan kiri baru/new left Amerika yang rajin membongkar narasi rasis dan orientalis tersebut. Sedangkan usaha para pegiat kiri baru ini, disambut dengan munculnya sosok seperti Paddy Chayefsky, pendekar zionis yang ambisius dan rajin membeo mengenai hinanya narasi anti-Israel.
Di era selanjutnya, pada tahun 1997 hingga 2012, kembali terjadi persilangan kerja sama yang lebih diplomatik antara Amerika dan Israel. Entertainment Division of the Jewish Federation of Greater Los Angeles bersama Jewish Agency for Israel membuat aktor, sutradara, produser, penulis, dan eksekutif Hollywood, hilir-mudik ke Israel. Agenda itu melahirkan generasi Israel yang memiliki ambisi untuk berkecimpung di Hollywood yang kala itu sedang meraih kejayaannya kembali melalui raksasa barunya yakni Home Box Office (HBO) dan Netflix.[18]
Kemunculan Gal Gadot di panggung Hollywood merupakan salah satu keberhasilan kerja sama itu. Dalam debut internasionalnya di Fast and Furious (2009), Gal Gadot terang-terangan memerankan Gisele Yashar, seorang agen Mossad. Gal Gadot di film itu persis dengan sikapnya di dunia nyata yang vokal sekali dalam mendukung tentara IDF.
Namun film Hasbara terbaik dalam periode ini adalah World War Z (2013), Times of Israel sendiri mengatakan film tersebut sebagai propaganda sinematik terbesar setelah Exodus. Pesannya subtil, tidak memakai perang antarmanusia melainkan zombi yang merepresentasikan ancaman. Produksinya berkisar $190 juta yang dibintangi oleh Brad Pitt sebagai Gerry Lane, karakter pakar kesehatan Amerika.
Kita akan sadar sedang menonton film Hasbara ketika di tengah cerita Brad Pitt harus pergi ke Israel karena himpitan zona perang zombi. Di momen itu Brad Pitt mendengarkan kata-kata mutiara sehingga mendapat rasa aman dari militer IDF. Di dalam film itu juga, seorang pimpinan Mossad, Jurgen Warmbrunn, dengan penuh percaya diri menyatakan bahwa Yerusalem mampu bertahan sejauh itu—saat hampir seluruh dunia telah menjadi kawasan zombi—karena negara Israel.
Diceritakan bahwa Israel mampu belajar dari sejarah dan mempunyai kewaspadaan tingkat tinggi. Seolah Israel sudah mengetahui terlebih dahulu apa yang akan terjadi. Rakyat Israel dan beberapa orang Palestina yang selamat dari zombi, menari bersama memuji negara Israel karena telah membangun tembok besar.
Wacana multikultural direpresentasikan melalui militer IDF yang membuka sebanyak mungkin orang yang selamat dari wabah zombi tanpa memandang agama, bangsa, dan etnisnya. Sedangkan perdamaian di pelukan penjajah berarti perdamaian yang mengorbankan mereka yang kecil dan terjajah. Di dunia nyata, Tembok Pemisah Israel (yang apartheid itu) dibangun untuk membatasi teritori Israel sejati dari kawasan Palestina.
Kerja sama Israel dan Hollywood masih terjadi hingga 2018, hal itu dapat dilihat melalui pesta perayaan ulang tahun berdirinya negara Israel pada tanggal 10 Juni 2018, yang bertempat di ruang VIP Universal Studio. Acara itu dihadiri 700 tamu kehormatan Hollywood dan dikirimi video ucapan selamat dari Benjamin Netanyahu.[19]
Selain itu, Israel adalah satu-satunya negara yang ulang tahunnya dirayakan oleh Hollywood. Hingga kini Israel masih terkoneksi kuat dengan Hollywood. Film-film Hasbara masih dimungkinkan terus bermunculan; film-film anti-Arab akan terus dibuat. Trigger Warning yang disutradarai Mouly Surya hanya salah satunya.
Penulis: Rokky Rivandy
Editor: Dachlan Bekti
[1]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 7
[2]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 271
[3]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 270
[4] Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 68
[5]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 91
[6]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 91-92
[7] Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 92
[8]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 98
[9]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022),99-100
[10]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 97
[11]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 55-56
[12]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 37
[13]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 30-34
[14]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 35
[15]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 59
[16]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 170
[17]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 171-172
[18]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 269
[19]Shaw, Tony & Giora Goodman. Hollywood and Israel: A History (New York: Columbia University Press, 2022), 272