Categories
Orasi

Di Balik Layar Hollywood

“Apakah ibu itu komunis?” seorang anak bertanya pada ayahnya.

“Bukan!” jawab ayahnya lugas.

“Kalo aku?” tanya anak itu lagi.

“Hmm. Kenapa kita tidak melakukan tes resmi?” kelakar ayahnya.

“Misalkan ibu membuatkan makan siang favoritmu, lalu di sekolah ada temanmu yang tidak membawa makan siang sama sekali, apa yang bakal kamu lakukan?”

“Membagikan makanan siangku”

“Kamu tidak akan menyuruhnya bekerja?” tanya ayahnya lagi.

“Enggak!”

“Oh kamu bisa menawarkan dia pinjaman sebesar enam persen untuk porsi yang kamu bagi, itu cara yang cerdik sekali”

“Ayah!” anak itu kebingungan.

“Oh, kamu mengabaikan mereka?”

“Enggak!”

“Kalo begitu, kamu itu komunis kecil,” jawab sang ayah.

Percakapan di atas bisa ditemukan dalam film biopik Trumbo (2015) garapan Jay Roach. Film itu diangkat berdasarkan buku biografi Dalton Trumbo buatan Bruce Cook. Mengisahkan kanon penulis naskah Hollywood pada jamannya yang pernah dipenjarakan dan diperlakukan sebagai ancaman kultural khususnya, Amerika Serikat pada umumnya.

Melalui biopik itu, kekerasan budaya yang pernah terjadi di Hollywood diceritakan dalam narasi penyintas. Tentang bagaimana Dalton Trumbo dan satu keluarganya menyiasati hidup di tengah penolakan masyarakat. Menempuh tahun-tahun yang mirip pengesat kaki, keras terinjak. Siapa pun korban demonisasi pasti paham, hidupnya mesti serba hati-hati pada segala perihal, sekecil apapun peningkahnya akan mendapat rundung, sediam apapun mulutnya akan berbuah prasangka.

Kekerasan budaya itu terjadi ketika satu dekade lebih ratusan buruh perfilman Hollywood diperlakukan bagai rongsokan. Bukan kena pangkas upah, gaji molor, pemecatan massal, atau praktik horor dunia kerja lainnya. Tapi semua yang disebutkan tadi dialami mereka dengan level yang lain.

Marak dikenal dengan “Hollywood Blacklist”. Sebuah praktik sensor manusia dengan kurasi berlandaskan biner kontras antara yang baik hati dan jahat tak tertolong. Meski pada kurun 1960-an Hollywood Blacklist berakhir, tetapi tidak ada yang menjamin sentimen dan demonisasinya ikut berhenti dan sirna.

Karenanya kita dapat melihat Hollywood, industri perfilman yang pengaruhnya telah menjadi semacam budaya populer global itu, memiliki sepak terjang yang penuh pertikaian sebelum kita menjumpainya dengan adegan kejar-kejaran mobil, baku tembak antar vigilante dan agen, atau kehancuran masa depan di film-film sci-fi.

Industri ini dibangun dengan berbagai konflik dan kepentingan, tak pernah sesederhana niatnya dalam menghibur. Bukti bahwa negara Amerika Serikat dari dulu memang serius menancapkan semangatnya (dengan menyingkirkan yang lain) di ranah kultural dalam membangun sensibilitas yang kita kenal di sini sebagai humanisme universal.

Sudah jadi rahasia umum pula mendunianya media massa dan produk budaya Amerika terjadi berkat kontrol ekonomi, militer, informasi, dan lobi-lobi terselubung. Sukses membuat dunia melihatnya sebagai skema budaya yang netral, ajeg, dan natural. Sebelum pasar global mengonsumsinya, Hollywood dan produk budaya lainnya sendiri mesti dibentuk sesuai atau harus menopang agenda-agenda, dalam hal ini Amerika Serikat. Konon kalau tidak begitu, dominasi negara utara tidak akan bertahan barang setahun.

Diharuskan adanya selera kultur yang tak pernah jauh-jauh dari prompt liberalisme. Membentuk ideologi yang diam-diam berhasil membuat rambu-rambu budaya di atas panji kebebasannya. Melalui House Un-American Activities Committee (selanjutnya HUAC) dan Central Intelligence Agency (selanjutnya CIA); terdapat sensor dan propaganda terselubung dibalik kodrat kebudayaan yang mesti terbebas dari segala hal-ihwal lantas kedap politik.

Jika peta peristiwa kekerasan budaya di Hollywood ini dilihat lebih lebar, kita dapat melihatnya sebagai hal-hal di balik perang dingin Amerika – Uni Soviet. Mengorek-ngorek gerak-gerik CIA yang membekingi majalah besar dunia dan organisasi kultural kenamaan Congress of Cultural Freedom (CCF). Melalui CCF ini pula Yayasan Obor yang di Indonesia dikepalai Mochtar Lubis terbentuk [1]. Melalui pimpinan Yayasan Obor Internasional, Ivan Kats, budayawan seperti HB Jassin dan Goenawan Mohamad rajin surat-menyurat dengannya guna terbangun selera berkesenian, rambu-rambu humanisme universal, dan kebudayaan liberal di Indonesia.

Ranah kultural dilihat sebagai medium propaganda di balik meja sejak Office of Policy Coordination (OPC) digabungkan dengan CIA [2]. Kita ingat kisah majalah “Mundo Nuevo” yang kontennya biasa diisi oleh nama-nama babon di belantara sastra Amerika Latin, ternyata media bentukan CIA yang bertujuan merebut simpati orang-orang sosialis untuk ‘di-liberal-kan’ menjadi kiri-moderat [3].

Kita juga dapat merentang fragmen sejarahnya hingga Truman Doktrin yang gaungnya sampai ke Sarangan, Jawa Timur, dalam bentuk Red Drive Proposals [4]. Hasilnya peristiwa Madiun 1948 yang jadi cikal-bakal penumpasan gerakan kiri di Indonesia. HUAC sebagai organisasi yang melahirkan peristiwa Hollywood Ten dan Hollywood Blacklist, juga merupakan komite bentukan langsung DPR AS di bawah pimpinan Harry S. Truman (1945-1953) yang sebelumnya menjadi senator AS periode 1935-1945. 

HUAC bertugas menghempas segala aktivitas yang berbau komunis dengan penciuman yang sumir, asal endus, asal tangkap. McCarthyisme adalah istilah lain untuk menyebut praktik tuduh-menuduh tanpa bukti berkat paranoia anti-komunis; karena lembaga-lembaga sejenis HUAC pada tahun 1950an disetir oleh Joseph McCarthy [5]. Geraknya mencakup banyak ranah, tapi Hollywood yang tersohor sebagai budaya massa mendapat porsi yang kentara.

Tepatnya di bulan Oktober 1947, HUAC mulai memanggil empat puluh nama mereka yang bekerja di industri perfilman Amerika Serikat untuk menghadap sidang dengar. Sidangnya lebih mirip interogasi yang mencari-cari kepala tanpa moral kemanusiaan versi AS. Siapa pun yang sedang di hadapan komite harus sepakat pada pandangannya dan menjauh dari sesuatu yang tak diinginkannya. Siapa pun yang tak mau segendang-sepenarian, dicurigai. Yang berdiam diri, dituduh.

Boleh dibilang Amerika Serikat terjangkit paranoia, sesuatu yang ditakutinya, dalam hal ini ‘komunisme’, dirasa berada di mana-mana dan dapat menyerang kapan pun. Pada tingkat yang personal, ketakutannya bisa jadi obsesi. Jangankan prediksi, semua keputusan hanya berbekal prasangka: seniman subversif itu pasti komunis, orang yang anti-zionis sudah pasti teroris, dan segudang stereotip kecil tapi imbasnya besar bukan main. Dan memang betul, tindakan semacam HUAC didasari atas tanggung jawab menjaga kedirian Amerika Serikat yang menjunjung tinggi kebebasan manusia. Terkesan paradoksal? Memang, moralitas humanis Amerika ketakutan pada banyak hal yang mereka kategorikan sebagai ‘un-American’.

Jajaran komite HUAC ini contoh paling dangkal, hanya karena tersinggung oleh tingkah sebelas nama yang terpanggil di sidang dengar, mereka menjebloskan semuanya ke penjara. Kesebelasan itu adalah Dalton Trumbo, Alvah Bessie, Herbert Biberman, Lester Cole, John Howard Lawson, Samuel Ornitz, Robert Adrian Scott, Ring Lardner Jr., Edward Dmytryk, Albert Maltz, dan Bertolt Brecht yang langsung kampung ke Jerman. Tersisa sepuluh orang yang kemudian dikenal sejarah perfilman Amerika Serikat sebagai Hollywod Ten.

Meskipun salah satu dari mereka, Edward Dmytryk, pada akhirnya bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat dengan memberi dua puluh nama simpatisan komunis lain di Hollywood [6]. HUAC memang menawarkan negosiasi tukar-kepala; dengan memberikan nama-nama buruh Hollywood yang komunis pada HUAC, siapa pun bisa bebas dari tuduhan.

Hidup mereka yang tertuduh jadi lebih mirip kecoa, siapa pun yang melakukan kejahatan pada mereka bisa tenang karena tak akan ada ganjaran hukum yang menimpanya, Homo Sacer kalo kata Agamben. Dalam pemungutan suara kegiatan yang dilakukan HUAC, 37% masyarakat Amerika Serikat menyetujui 36% menolak dan 27% sisanya tak memberi jejak pendapat [7]. Ketika Gallup Valut Poll diadakan dan menanyakan publik tentang apakah mereka yang menolak mengatakan dirinya komunis harus dihukum? 47% menyetujui, 39% menolaknya, dan 14% sisanya tak bergeming [8].

Dalam film Trumbo, kita diperlihatkan hidup di sekitar cibiran dan cercaan kepada keluarganya. Di tahun-tahun tersebut, mempunyai nama belakang Trumbo dan segala aktivitas ayahnya harus mereka rahasiakan sedari kecil. Mitzi, salah satu anak Dalton Trumbo, bisa saja menganggap pengasingan itu sebagai tantangan, walau pun di kemudian hari dirinya bangga pada ayahnya seperti yang ia ucapkan pada The Guardian [9].

Semua korban Hollywood Blacklist mesti mencari nafkah dengan meminjam nama teman atau menggunakan nama palsu. Film “The Front” (1976) yang memang dibuat oleh para korban peristiwa tersebut, memperlihatkan keruwetan masa-masa pengasingan ini dengan Woody Allen yang memerankan Howard Prince sebagai orang yang dipinjam namanya.

Praktik pinjam-meminjam itu pula yang membuat Trumbo lebih banyak dikenal. Dirinya pernah menyabet dua kali piala Oscar tapi dengan nama palsu. Memenangkan penghargaan skenario terbaik Roman Holiday pada tahun 1953 dengan meminjam nama temannya Ian McLellan Hunter dan The Brave One pada tahun 1956 dengan nama samaran Robert Rich.  

Seusai para Hollywood Ten mendekam di balik jeruji besi, peristiwa Hollywood Blacklist mencuat. Dari musisi hingga aktor yang ketahuan terafiliasi dengan aktivitas komunisme langsung dipecat dan namanya masuk dalam daftar hitam yang tak boleh dipekerjakan oleh instansi apa pun. Situasinya memang panas. Paranoia komunis ini sudah sampai taraf: jika anda tidak menentangnya itu berarti anda salah-satunya. Siapa pun yang tidak menyodorkan nama rekan Hollywood-nya yang terlibat dalam aktivitas komunis, maka otomatis namanya yang harus masuk ke dalam daftar hitam.

Peristiwa itu juga yang bikin Elia Kazan selalu diselimuti kontroversi sepanjang karirnya. Kazan termasuk orang yang memilih untuk memberi nama-nama yang diinginkan HUAC. Keputusan tersebut sontak membingungkan kerabat-kerabat dulunya, seperti Arthur Miller yang lantas menganggap Kazan sama seperti Ronald Reagan dan Walt Disney yang dengan senang hati membantu para bigot.

Ketika Elia Kazan dianugerahi piala Oscar untuk Special Lifetime Achievement, banyak kursi yang berdiam bahkan tidak memberinya satu pun tepukan-tangan. Respon yang wajar mengingat dua hari setelah Kazan memberi kesaksiannya pada HUAC, dirinya memasang iklan di New York Times menjelaskan keputusannya dan menyerukan orang lain untuk mengikuti teladannya [10].

Arthur Miller terpaksa hadir di hadapan HUAC pada tahun 1956 ketika dia mencoba mengajukan paspor untuk meninggalkan negara itu bersama istri barunya, Marilyn Monroe. Berbanding terbalik dengan kerabatnya, Miller menolak memberikan satu pun nama. Komite tersebut, yang kredibilitasnya semakin berkurang pada saat itu, mencoba membuat kesepakatan dengan Miller: jika dia mengizinkan ketua HUAC berfoto dengan Monroe, komite akan membatalkan tuntutannya. Monroe begitupun suaminya menolak mentah-mentah.

Pertikaian dua sahabat Miller dan Kazan sudah mencapai sindir-sindiran dalam khasanah artistik. Film Kazan yang sukses berjudul “On The Waterfront” (1957) itu digadang-gadang sebagai pembenaran Elia Kazan atas praktik ‘naming names’, istilah yang marak dipakai untuk mereka yang memberikan daftar nama pada HUAC. Film itu bercerita tentang pembunuhan yang mana karakter utamanya ikut andil sebagai pencuri merpati. Si karakter utama memang hanya dibutuhkan untuk memancing korban menuju ke atap, tempat kandang merpati, setelahnya mafia bernama Johny Friends yang mengeksekusi korban. Sepanjang film kita disuguhkan lompatan kepercayaan dari si karakter utama yang menyesal hingga menjadi martir melawan Johny Friends. Tapi tetap saja, banyak kritikus melihat film itu malah mengaburkan peristiwa naming names pada periode Hollywood Blacklist.

Arthur Miller punya jawaban untuk film Kazan itu dalam dramanya A View from the Bridge (1955), tentang seorang pekerja di tepi laut Sisilia melaporkan keponakannya yang imigran illegal kepada otoritas hanya karena persoalan iri hati. Salah satu cerita mengatakan bahwa Miller mengirimkan naskahnya kepada Kazan: “… Saya mengirimi Anda ini karena saya ingin Anda tahu apa pendapat saya tentang seorang stool pigeons (cepu)” [11]. Perseturuan mereka jadi buah bibir yang legit di Hollywood meski pada akhirnya keduanya kembali berteman.

Upaya rekonsiliasi dari berbagai pihak pun terjadi sejak kecaman terhadap HUAC dan negara semakin meningkat. Tahun 1970 Dalton Trumbo mengampuni kekelaman sejarah Hollywood itu: “Tidak ada gunanya mencari siapa penjahat atau pahlawan, sosok malaikat atau setan karena memang tidak ada; yang ada hanyalah korban” tukasnya.[12]

Sulit membicarakan Hollywood Blacklist hanya sebagai praktik sensor semata, karena jelas bukan sekedar suatu ide yang tak boleh diterapkan, melainkan pelucutan segala hak dasar yang dimiliki subjek manusia. Sedangkan hal itu mampu menyebabkan gerombolan manusia melihat manusia lainnya sekadar kutu atau nyamuk sekali tampar.

CIA di Hollywood

“Jika kalian ingin tahu apa yang kami (CIA) lakukan, tonton The Agency kamis malam nanti”-Charles Brandon

CIA tidak hanya membuat Ernest Hemingway bak pengoceh liberal di Paris Review [13], setelah era perang dingin berakhir, rumah perfilman negerinya pula tak luput disusupi. Meski lebih gamblang dan terang-terangan, tidak seperti pengelabuan mereka terhadap media dan para penulis terdahulu, tapi tujuannya persis serupa.

Secara resmi dinyatakan bahwa CIA bekerja bersama industri film sudah lebih dari 15 tahun [14]. Meski CIA mengakui baru memasuki Hollywood di tahun 1990-an karena kesal melihat penggambaran agen terus diejek. Niat jelasnya berusaha mendompleng citranya yang kian buruk di mata publik. Karena bagi mereka “Penggambaran hollywood kepada kami (CIA) itu sangat penting” [15].

Memang kala itu banyak laporan keterlibatan organisasi spionase itu di seluruh dunia. Pada tahun 1966, jurnalis New York Times, Tom Wicker, menerbitkan reportase tentang CIA yang menggunakan CCF sebagai kuda troya kebudayaannya. Laporan-laporan sejenis kemudian menyusul hingga CIA tidak bisa terus jadi desas-desus belaka.

Kemudian banyak produksi film semacam “Hopscotch” (1980) atau “Spies Like Us” (1985) yang tercipta untuk memparodikan CIA itu. Hollywood jadi sering menampilkan CIA di film-film sebagai lawakan atau pembunuh. Hingga pada akhirnya datang film seperti “Mission Impossible” dan “The Agency” yang menggambarkan para agen CIA dengan gagahnya. Selain memperbaiki citra, kurang lebih narasinya mengajak masyarakat untuk pro-propaganda yang dilancarkan CIA.

CIA sangat tertarik pada Hollywood yang menjangkau pasar global untuk menyebarkan pesan pro-demokrasi di negara-negara yang buta hurufnya tinggi. Tak heran nama-nama mantan agen CIA seperti Robert Baer, Valerie Plame, Sandra Grimes, Jeanne Vertefeuille, Milt Bearden, Lindsay Moran, Carol Rollie Flynn, Robert Grenier, Tony Mendez, dan Bazzel Baz, tiba-tiba menempati posisi penting di industri perfilman tersebut [16].

Hasil CIA memasuki Hollywood secara terang-terangan pada tahun 1990 diantaranya “In the Company of Spies” (1999), “The Agency” (2001-2003), “Enemy of State” (1998), “Alias” (2001-2006), “24” (2001-2010), “Bad Company” (2002), “The Sum of All Fears” (2002), “The Bourne Identity” (2003), “The recruit” (2003). Di bawah asuhan Chase Brandon, delegasi CIA untuk Hollywood, film-film tersebut berhasil mengail pemirsa dengan detail kerja-kerja CIA yang waktu itu dipertanyakan banyak orang [17].

Chase Brandon hanya nama agen CIA yang bekerja di Hollywood selama 1996-2007. Jauh sebelumnya ada Robert Maheu yang kita kenal pernah membuat film porno yang artisnya dimiripkan dengan Sukarno[18]. Ada pula legenda CIA, E. Howard Hunt, yang mengirim Carleton Ashop dan Finis Farr dengan rencana membujuk Sonia Blair menjual hak cipta novel suaminya, George Orwell, untuk dibuatkan film animasi “Animal Farm” (1954).

Terkesan tidak ada masalahnya sampai terungkap alasan terpilihnya novel George Orwell itu. Animal Farm dipilih langsung oleh OPC dengan pertimbangan bisa dibuat menjadi film animasi. Hal itu dirasa efektif untuk mengemas pesan-pesan terselubung kepada publik negara berkembang yang angka buta hurufnya tinggi [19]. Di luar penambah-kurangan cerita, memilih Orwell dan novel Animal Farm memang pilihan cerdik, mengingat Orwell juga pernah menjadi cepu untuk lembaga anti-komunis negara Inggris bernama Information Research Department. Sehingga Orwell merupakan seorang humanis yang gagasannya cocok untuk dijadikan konter kebijakan komunis bagi CIA.

Studio besar seperti Paramount juga di periode 1950an sudah terlibat dalam agenda spionase CIA. Kepala sensornya, Luigi G. Luraschi, bekerja selain untuk rumah filmnya, secara diam-diam menjadi penyambung lidah propaganda Amerika melalui seni perfilman.[20]

Belum lagi, militer juga ikut-ikutan mendikte Hollywood. Para pembuat film sendiri sering meminjam peralatan seperti tank, helikopter, dan sebagainya pada Pentagon. Markas besar militer itu bisa memberi pinjaman gratis atau biaya yang kecil dengan syarat sederhana: tidak ada penggambaran militer yang buruk di dalam filmnya. Terkadang terdapat negosiasi semisal perubahan dialog hingga pemotongan adegan sebagai tuntutan dari Pentagon jika ingin diberikan pinjaman peralatan.

Salah satu contohnya adalah film “Forrest Gump” (1994) yang produsernya ingin sekali diberi pinjaman helikopter CH-47 Chinook dan peralatan perang di Vietnam. Namun Pentagon meminta perombakan naskah film terlebih dahulu, terutama revisi karakter utama yang diperankan Tom Hanks, sebagai tawaran kerjasama [21].

Jadi bukan film-film Indonesia, khususnya di era Orde Baru, saja yang menjadikan militer sebagai juru selamat hampir di segala masalah sosial, bahkan masalah ghaib di film-film horor. Hal itu pun terjadi di Hollywood dengan cara yang lebih lembut. Bisa kita lihat di “The Sum of All Fears” (2002) bagaimana peralatan dari Pentagon berperan penting dalam melerai krisis di dalam film. “Transformers” (2007) memperlihatkan teknologi militer dan kinerja Pentagon jadi suguhan cerita.

Selain sarana mendempul koreng demi citra, Hollywood juga dijadikan laboratorium strategi politik AS. CIA mempekerjakan penata rias John Chamber, peraih Academy Award untuk penata rias film “Planet of Apes” (1968) untuk kepentingan agen dan organisasi. Keahlian Chamber merias manusia menjadi seekor kera dimanfaatkan para agen untuk urusan CIA berkamuflase. Inovasi-inovasi tata rias dalam film Planet of Apes, Chamber bagikan tekniknya pada CIA dan pernah diaplikasikan sebagai kamuflase oleh agen di Laos dan Iran [22].

Barangkali puncak kejenuhan dari infiltrasi otoritas terhadap perfilman Hollywood adalah kebutuhan sosok pelindung adimanusia (baca: superhero). Ketika otoritas dan instansi pertahanan bukannya melindungi tapi malah menggiring berikut mengancam. Bentuknya pesimisme, permasalahan dunia kini hanya bisa ditanggulangi oleh sosok Superman, Batman, Dr. Strange, atau prajurit mahadasyat seperti Rambo berikut bias-biasnya.

 

 ***

Penulis: Rokky Rivandy

Editor: Dedi Muis

 

Daftar Pustaka:

Rob, David L. 2004. Operation Hollywood: How the pentagon Shapes and Cencors the Movies. New York: Prometheus Books.

Jenkins, Tricia. 2012. The CIA in Hollywood: How the Agency Shapes Film and Television. Amerika Serikat: University of Texas Press.

Navasky, Victor S. 1980. Naming Names. New York: The Viking Press.

Wijaya Herlambang. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965. Tanggerang: Marjin Kiri.

Whitney, Joel. 2016. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia. Sumedang: Jungkir Balik Pustaka.

 

[1] Wijaya Herlambang. Kekerasan Budaya Pasca 1965( Tanggerang: Marjin Kiri, 2013), 95-96

[2] Whitney, Joel. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia (Sumedang:Jungkir Balik Pustaka, 2016),

[3] Whitney, Joel. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia (Sumedang:Jungkir Balik Pustaka, 2016), 325-361

[4] https://ypkp1965.org/blog/2019/07/21/red-drive-proposals-dan-kesaksian-soemarsono/

[5] Whitney, Joel. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia (Sumedang:Jungkir Balik Pustaka, 2016), 57

[6] Navasky, Victor S. Naming Names (New York:The Viking Press, 1980), 234-238.

[7] https://news.gallup.com/vault/232430/gallup-vault-celebrity-witnesses-congress-1947.aspx

[8] https://news.gallup.com/vault/232430/gallup-vault-celebrity-witnesses-congress-1947.aspx

[9] https://www.theguardian.com/film/2016/jan/16/dalton-trumbo-hollywood-blacklist-mitzi-trumbo-bryan-cranston

[10] https://reelclassics.com/Directors/Kazan/kazan-article.htm

[11] Navasky, Victor S. Naming Names (New York:The Viking Press, 1980), 119

[12] Navasky, Victor S. Naming Names (New York:The Viking Press, 1980), 371

[13] Whitney, Joel. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia (Sumedang:Jungkir Balik Pustaka, 2016), 285-306

[14] Rob, David L. Operation Hollywood: How the pentagon Shapes and Cencors the Movies (New York:Prometheus Books, 2004), 1

[15] Jenkins, Tricia. The CIA in Hollywood: How the Agency Shapes Film and Television (Amerika Serikat:University of Texas Press, 2012), 32

[16] https://www.spyculture.com/clandestime-078-chase-brandon/

[17] Jenkins, Tricia. The CIA in Hollywood: How the Agency Shapes Film and Television (Amerika Serikat:University of Texas Press, 2012), 73

[18] https://www.spyculture.com/clandestime-252-robert-maheu-the-cias-fixer-in-hollywood/

[19] Jenkins, Tricia. The CIA in Hollywood: How the Agency Shapes Film and Television (Amerika Serikat:University of Texas Press, 2012), 7

[20] Whitney, Joel. Finks: Bagaimana CIA Mengelabui Para Sastrawan Dunia (Sumedang:Jungkir Balik Pustaka, 2016), 176-177

[21]Rob, David L. Operation Hollywood: How the pentagon Shapes and Cencors the Movies (New York:Prometheus Books, 2004), 77

[22] Jenkins, Tricia. The CIA in Hollywood: How the Agency Shapes Film and Television (Amerika Serikat:University of Texas Press, 2012), h.9