Categories
Kabar Perlawanan

Penjambret Lahan Dago Elos Ternyata Penindas Buruh Pula

Masih ingat Erwin Senjaya Hartanto? Dia adalah salah satu komisaris dan pemegang saham PT Dago Inti Graha. Pembaca dapat membuka tautan ini untuk membaca kembali siasat bulus perusahaan ini, yang bersama Trio Muller hendak menggusur warga Dago Elos. Saat laporan ini ditulis, dua dari Tiga Muller Bersaudara -yakni: Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustendi Muller- sudah ditetapkan oleh polisi sebagai tersangka pemalsuan keterangan dalam dokumen Penetapan Ahli Waris. 

Erwin Hartanto jelas sudah membikin ulah yang menyusahkan segenap warga Dago Elos. Ternyata pula, pengusaha properti ini juga tak punya rasa hormat terhadap hak-hak buruh. 

Ceritanya begini. Toni dan Ismail (nama keduanya disamarkan) sudah sekian tahun bekerja di Green Sukamanah Residence, perumahan berfasilitas kolam renang (water boom) di tepi Jalan Raya Majalaya-Rancaekek,  yang dibangun dan dikelola oleh PT Pusaka Mas Persada milik keluarga Hartanto. 

Toni petugas kolam renang. Sementara, Ismail adalah tenaga satuan pengamanan (satpam) di perumahan itu. Jenis pekerjaannya berbeda, tapi mereka berdua sama-sama miskin karena upah yang keterlaluan rendah. 

Saat diterima bekerja, upah Toni mencapai Rp1,5 Juta per bulan. Dua bulan sesudahnya, tanpa penjelasan upahnya sekonyong-konyong melorot menjadi Rp1,3 Juta per bulan. Barulah sejak tiga tahun terakhir upahnya naik menjadi Rp1,65 Juta per bulan. Memang membaik, tapi tetap tidak cukup. Ismail dan satpam lainnya menerima upah dan uang makan yang jumlah totalnya hanya Rp1,18 Juta per bulan. Selain itu, ada tambahan penghasilan Rp200 Ribu per bulan, yang tidak dapat disebut sebagai upah dari majikan, karena bersumber dari urunan penghuni perumahan. 

Karena upah murah yang tidak membawa kesejahteraan, Toni dan Ismail terpaksa putar otak mencari pendapatan tambahan. Entah sebagai pengemudi ojek yang melayani penghuni perumahan, menarik biaya parkir dari pengunjung kolam renang, atau pekerjaan serabutan lainnya pada hari libur kerja. Kalau penghasilan masih saja kurang, terpaksalah mereka mencari pinjaman online atau memohon belas kasihan “bank emok,” sebutan orang Majalaya untuk rentenir yang berkeliling keluar masuk kampung. 

Keluh-kesah lainnya selain upah adalah tentang jam kerja yang panjang dan melelahkan. Penjaga kolam renang bekerja delapan jam sehari dan enam hari seminggu. Tapi mereka harus bersiap untuk tetap masuk kerja seandainya pada hari libur kolam renang ramai pengunjung. Waktu kerja satpam punya pengaturan tersendiri: dua hari shift pagi, dua hari shift sore, dan dua hari libur. Mereka bekerja sedikitnya 12 Jam dalam sehari. 

Toni menambahkan, buruh-buruh Green Sukamanah Residence pernah disertakan dalam BPJS Ketenagakerjaan, tapi hanya berlangsung sebentar dan dihentikan tiba-tiba. Ketika soal ini ditanyakan, pihak perusahaan mengarang cerita bahwa “menurut aturan pemerintah” untuk dicatatkan di BPJS Ketenagakerjaan jumlah buruhnya paling sedikit harus 50 orang. Tidak diketahui, “aturan pemerintah” manakah yang dimaksud. 

Bekerja di perusahaan pengembang perumahan ternyata mengandung juga risiko yang tak terduga. Toni bercerita, kecelakaan kerja pernah menimpa pembabat rumput. Naas, karena kebocoran di saluran bahan bakar, mesin pembabat terbakar. Kena sambaran api, si pembabat rumput mengalami luka-luka bakar di tubuhnya. 

Ismail menambahkan kejadian lain saat rekan kerjanya, sesama satpam, yang menegur seorang preman yang menarik biaya parkir di kolam renang. Sang preman memang enyah. Tapi hanya sebentar. Dia kembali datang dengan membawa parang dan membacok satpam yang tadi menegurnya. 

Pada dua kejadian di atas, pihak manajemen memberikan uang tapi hanya untuk pengobatan pertama saja. Biaya pengobatan selebihnya sampai sembuh ditanggung sendiri oleh buruhnya. 

Buruh-buruh perumahan Green Sukamanah Residence juga mengeluhkan tentang status kerja mereka.  Satu-satunya penanda kepastian hubungan kerja hanyalah pakaian seragam kerja. Itupun diupayakan sendiri oleh buruhnya karena tidak disediakan oleh perusahaan. Selebihnya, tak ada. Selama bertahun-tahun tak ada kontrak kerja, tak ada surat pengangkatan, dan tak ada pula slip upah bulanan.

Barulah pada awal tahun ini seluruh buruh dikerahkan untuk menandatangani surat kontrak kerja. Kenapa baru sekarang? Pihak manajemen menjawab, “agar kalian diangkat sebagai karyawan.”

Seperti yang lainnya, Toni dan Ismail menandatangani kontrak kerja tersebut. Sesudahnya, barulah mereka kecewa dan marah. Sesudah bekerja bertahun-tahun, ternyata mereka tidak pernah diakui sebagai buruh perusahaan. Kontrak kerja tidak pula menyebutkan tentang masa kerja. Tidak ada kejelasan berapa lama mereka dikontrak. Hal yang membuat kepala mendidih, dalam kontrak kerja disebutkan bahwa mereka akan diupah sesuai upah minimum Kabupaten Bandung. Itu hanya janji di atas kertas yang tidak pernah ditepati. Bahkan yang minimum pun tak pernah dinikmati buruh-buruh Green Sukamanah Residence. 

**

Selain Green Sukamanah Residence, pengembang perumahan PT Pusaka Mas Persada juga membangun Cluster Magnolia di Jalan Raya Majalaya-Rancaekek, Kozko Living di Jatinangor, dan Setra Regency Townhouse di Ciwaruga, Bandung Barat. Jika buruh-buruh Green Sukamanah Residence tidak pernah diupah secara layak, sesama buruh di perumahan yang bernaung di bawah PT Pusaka Mas Persada nasibnya mungkin sama. 

Pertanyaan sama tampaknya perlu diajukan ke seluruh buruh dari semua perusahaan di berbagai sayap bisnis keluarga Hartanto. Selain memimpin PT Pusaka Mas Persada, pengusaha muda penuh bakat Erwin Hartanto diketahui merupakan komisaris dan pemegang saham dari perusahaan teknologi dan venture builder PT Wira Global Solusi, Tbk. Boleh jadi, para buruh kreatif (konsultan teknologi, pemrogram, perancang websites, videographer, dst) di PT Wira Global Solusi Tbk dan anak-anak usahanya (PT Kirana Tama Teknologi, PT Smooets Teknologi Outsourcing, PT Qorser Teknologi) sama-sama diupah murah, beban kerjanya melimpah, dan jam kerjanya panjang. Singkatnya, kondisi kerjanya buruk. 

Masih menjadi pertanyaan, mengapa PT Pusaka Mas Persada membayar upah buruh sedemikian murah. Apakah perusahaan demikian miskin, lantaran gagal menjual rumah sehingga tidak ada aliran pendapatan? 

Kenyataannya, pada 26 Juli 2022 PT Pusaka Mas Persada pernah mencatatkan pendapatan sebesar Rp3,252 Milyar, dari penjualan satu buah rumah dan 18 kavling tanah kosong yang seluruhnya terletak di Green Sukamanah Residence. Semata-mata dari penjualan ini, perusahaan seharusnya mampu selama setidaknya tiga tahun membayarkan upah minimum untuk Toni, dan Ismail, dan seluruh buruh yang bekerja di perumahan ini.  

Hal yang “menarik” dari transaksi di atas, pihak penjual adalah PT Pusaka Mas Persada, perusahaan milik Erwin Hartanto. Sementara, pihak pembelinya adalah PT Wira Global Solusi, Tbk, yang sebagian besar sahamnya dikuasai oleh anak-beranak keluarga Hartanto. Di perusahaan ini pula Erwin Hartanto bertindak sebagai komisaris. 

Pembaca yang punya kebiasaan jelek berburuk sangka akan menganggap transaksi ini janggal. Kok bisa, keluarga Hartanto membeli aset mereka sendiri. Tak usahlah berburuk sangka. Anggap saja Erwin Hartanto hanya sedang memindahkan uang dari kantong kiri ke kantong kanan, atau dari kantung kemeja ke kantung celana. Lagi pula, adanya transaksi ini terungkap dari dokumen yang justru berjudul Laporan Pendapat Kewajaran PT Wira Global Solusi, Tbk, yang ditulis oleh Kusnanto dan Rekan, firma yang diminta memberikan penilaian terhadap transaksi bisnis (independent business appraisers). 

Laporan Pendapat Kewajaran singkatnya menyimpulkan bahwa transaksi di atas seluruhnya wajar. Tidak ada konflik kepentingan barang secuilpun, meskipun pihak penjual rumah dan lahan tersangkut-paut dengan pihak pembeli. Laporan tersebut juga menjelaskan, PT Wira Global Solusi, Tbk, yang beralamat di Tangerang sengaja membeli rumah dan lahan di Majalaya untuk dijadikan asrama, tempat tinggal, dan tempat pelatihan dan pengembangan SDM perseroan. Jika memang demikian rencananya, PT Wira Global Solusi, Tbk niscaya membutuhkan SDM tangguh tabah yang mampu mondar-mandir Majalaya-Tangerang. 

Sesudah membaca rencana PT Wira Global Solusi, Tbk, para pembaca -khususnya dari Generasi Z yang melek keuangan- barangkali tertarik untuk memborong saham perseroan ini. Harga per lembarnya hanya Rp62 (pada 6 Juni 2024). Murah. Setiap tahun, sejak Desember 2021, harganya memang merosot terus. 

**

Hingga sekarang warga Dago Elos, Bandung, dengan gigih menolak menyerahkan lahannya, sambil menempuh semua cara untuk melawan penggusuran. Pada 1 Mei 2024, Hari Buruh mereka ikut berpawai memperingati Hari Buruh Sedunia, untuk meneriakkan “Dago Melawan, Melawan Setan Tanah.”

Pada saat yang sama buruh-buruh perumahan Green Sukamanah Residence di Majalaya sedang pula memperjuangkan kenaikan upah. Hal penting yang dapat mereka lakukan dalam waktu dekat adalah mengabari majikan mereka Erwin Hartanto, lulusan jurusan perbankan dan keuangan Universitas Monash di Australia, bahwa upah minimum Kabupaten Bandung untuk 2024 adalah sebesar Rp3.527,967.

Kabar baik lainnya, pada 2 Mei 2024 mereka membentuk serikat buruh. Namanya, Serikat Perjuangan Buruh Bersatu. (SPBB). Serikat ini diniatkan sebagai wadah untuk menyatukan kekuatan guna memperjuangkan hak-hak perburuhan.  Pada 20 Mei 2024 mereka mendatangi kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Bandung untuk mencatatkan diri. 

Reporter: Asep Taryana

Editor: Sentot