Trimurti.id, Bandung-Jika anda pernah mendengar kisah kawan, tetangga atau sanak-saudara memperoleh pendapatan besar ketika resmi menjadi driver ojek online yang ditandai dengan kepemilikan akun ojek online seperti Gojek atau Grab. Itu benar adanya, bukan sekedar testimoni iklan belaka. Kala cerita ini disampaikan, banyak driver menganggap bahwa mereka saat itu sedang menjalani periode bulan madunya dengan aplikator.
Di periode inilah banyak berseliweran cerita-cerita tentang pendapatan driver yang cukup besar. Angkanya bisa menyentuh Rp1.000.000 juta dalam sehari. Nominal yang sangat mustahil diperoleh driver di periode sekarang.
Bukan pula aplikator bermurah hati memberikan pendapatan fantastis secara cuma-cuma kepada para driver. Pendapatan itu diperoleh driver dengan cara menyiasati algoritma aplikasi. Memodifikasinya sehingga memungkinkan driver mendapat order dan bonus hanya dengan duduk diam saja, sementara maps-nya bergerak mengantar penumpang yang juga fiktif.
Cukup masuk akal dan sangat dipahami apabila para ojol bersikap demikian. Mengingat pada Tahun 2015–di mana Gojek pertama kali hadir di Bandung Raya–tarif murah diberlakukan serentak oleh aplikator milik “anak bangsa” tersebut. Dikutip dari Tirto.id, aplikator ini bahkan pernah menerapkan promo kepada customer dengan harga yang menyentuh angka Rp10.000 untuk tujuan ke mana saja.
Bonus yang besar memanglah ada, dan bisa diperoleh para driver ojol. Namun, sejumlah bonus tersebut baru bisa didapat apabila driver menyelesaikan sejumlah order. Seperti yang dilaporkan kompas.com untuk mendapatkan bonus sebesar Rp100.000 seorang ojol harus menyelesaikan minimal 10 order. Bayangkan apabila seluruh order tersebut memiliki jarak tempuh yang sangat jauh, jangankan dapat bonus para driver sudah boncos terlebih dahulu.
Itulah mengapa muncul berbagai praktik manipulasi algoritma dengan memodifikasi aplikasi untuk mengakali sistem kerja eksploitatif dan tidak adil yang dirancang aplikator di dalam aplikasi.
Seperti disebutkan sebelumnya, dengan memodifikasi aplikasi, semua order yang dijalankan tak mengeluarkan biaya dan tenaga sebesar menjalankan order biasanya. Jadi pendapatan driver bukan diperoleh dari selisih tarif per order. Melainkan dari bonus-bonus yang mereka peroleh setiap kali menyelesaikan minimal order tertentu dalam sehari.
Namun, praktik-praktik ini tidaklah berlangsung lama. Perusahaan segera merespon dengan memerintahkan SATGAS untuk melakukan sweeping kepada driver yang terdeteksi memanipulasi aplikasi. Seperti dijelaskan dalam bagian tulisan sebelumnya, praktik razia ini dimanfaatkan oleh SATGAS untuk memeras driver.
Bagaimanapun kontrol yang dilakukan oleh Gojek terhadap driver melalui SATGAS tidaklah efektif, dan justru memberikan celah bagi unit yang dibentuknya untuk bertindak culas. Tentu membuat aplikator tercoreng nama baiknya. Untuk itu, guna membasmi praktik ini aplikator memperbarui sistem mereka agar mampu mendeteksi manipulasi-manipulasi aplikasi yang dilakukan oleh drivernya.
Pasca pembaruan sistem ini, dan periode bakar duit aplikator yang juga usai, praktik memodifikasi aplikasi susut dengan sendirinya.
Meski demikian, driver tak kehabisan akal untuk terus menyiasati beban dan target kerja yang menekan mereka. Setelah tak memungkinkan untuk memodifikasi aplikasi, praktik yang selanjutnya muncul adalah jual-beli akun antar driver.
Jual-beli ini terjadi lantaran strata antar akun gojek yang berbeda-beda. Bagi mereka yang baru membuat akun, order biasanya akan sering datang. Kondisi ini biasanya akan terus berlangsung hingga akun driver tersebut naik strata selanjutnya. Di tingkatan ini, barulah akun driver akan sulit mendapatkan order atau anyep.
Mengutip katadata.co.id terdapat empat tingkatan atau level akun dalam aplikasi Gojek yaitu basic, silver, gold dan platinum. Dalam berita yang dipublikasikan pada 17 Februari 2020 tersebut, terdapat perbedaan reward atau bonus pada masing-masing level seperti berikut:
Seorang driver berusia 42 tahun yang menjadi narasumber dalam berita tersebut, mengatakan bahwa ketika baru menginjak level basic, order datang begitu cepat. Ia menambahkan dalam sehari ia bahkan mendapatkan lebih dari 20 order.
“Sekarang saya sudah akun gold. Berangkat jam enam pagi sampai sekarang jam satu siang, baru dapat 11 order,” terangnya kepada Katadata.co.id
Namun, banyak sedikitnya order tidak hanya ditentukan oleh level akun saja. Performa dan rating juga ikut mempengaruhi. Untuk itu, dalam iklan-iklan penjualan akun driver kedua poin tersebut juga disertakan sebagai benefit yang akan diperoleh pembeli saat membeli sebuah akun.
Selain jual-beli akun, siasat lainnya adalah dengan menyewa akun lain. Alasannya sama, performa, rating, dan level akun yang dianggap sudah gacor. Biasanya mereka yang menyewa akun ini disebut sebagai joki akun. Setelah seharian menarik orderan joki akan membayarkan sejumlah uang kepada pemilik akun.
Untuk yang ini, tak diketahui pasti apakah uang yang disetorkan oleh joki akan sama setiap harinya apabila mereka kekurangan order. Sebab skema pembagian hasilnya bisa macam-macam.
Lagi-lagi, praktik ini juga terendus oleh aplikator. Dikutip dari tribunnews.com, tahun 2020 Gojek resmi meluncurkan fitur face recognition atau verifikasi muka (vermuk). Perusahaan berdalih kebijakan ini lahir sebagai upaya melindungi mitra dari berbagai upaya pengambilalihan akun secara ilegal oleh pihak tak bertanggung jawab.
Untuk menyegarkan ingatan para pembaca. Pada tulisan sebelumnya telah dijelaskan bahwa bisnis utama aplikator adalah penjualan data driver, customer dan seller. Data tersebut adalah data kebiasaan pengguna secara real time yang diperbaharui secara berkala seiring pengguna mendaftar akun dan menggunakan aplikasi.
Dalam esainya yang berjudul Di Balik Kenikmatan Kita Menikmati Transportasi Online, Syarif Arifin menyebutkan bahwa akun dan pengemudi adalah dua informasi yang memiliki nilai jual. Total informasi yang digondol aplikator dari pengemudi dan akun adalah real time dari lokasi keberangkatan pengemudi hingga tujuan dan demografi penumpang.
Menurut Syarif, penting bagi aplikator untuk memastikan bahwa setiap pengguna—dalam hal ini driver—menghasilkan data yang berbeda. Data dan potongan yang diperoleh tentunya akan sedikit apabila 1 akun digunakan oleh 10 orang. Tentu sangat berbeda jika 10 akun digunakan oleh 10 orang, maka data dan potongan yang diperoleh akan utuh dihasilkan oleh setiap akun.
Itulah mengapa verifikasi muka hadir. Sebab praktik jual-beli akun dan penyewaan akun, sangat mengganggu aplikator dalam memperoleh data sebagai komoditi utama yang diperjualbelikan.
Hal yang sama juga terjadi pada praktik fake gps atau tuyul. Sebab apabila data lokasi dan pergerakan pengguna tidak sesuai, akan tidak akurat juga data yang diperjualbelikan oleh aplikator.
Sebelum meluncurkan fitur verifikasi muka pada tahun 2020. Setahun sebelumnya yakni tahun 2019, Gojek secara resmi melarang penggunaan aplikasi fake gps atau tuyul. Dalam laman resminya, perusahaan bahkan mengancam akan memutus mitra driver apabila kedapatan menggunakan aplikasi ini.
Perlu diingat kembali, bukan tanpa sebab driver melakukan ini. Sekali lagi, kondisi dan beban kerja yang mereka hadapi selama ini tak sesuai dengan pendapatan yang mereka peroleh. Karena tidak ada kepastian kapan akan memperoleh order, tak jarang driver menempuh sejumlah jarak dari rumahnya untuk mangkal di pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, pasar, terminal, kantor atau restoran. Untuk sampai ke wilayah tersebut saja, driver sudah mengeluarkan biaya untuk bensin tanpa memiliki kepastian mendapatkan order.
Dengan menempatkan koordinat mereka di lokasi-lokasi tersebut, kemungkinan driver untuk memperoleh order menjadi lebih besar. Mereka pun jadi bisa meminimalisir pengeluaran yang sia-sia untuk mengejar order.
Tapi sebagaimana kita tahu itu bukan urusan aplikator. Gojek, Grab, Uber, Maxim dan InDriver hanya peduli bagaimana caranya agar proses pengambilan data tetap berjalan lancar sehingga perusahaan dapat melipatgandakan keuntungan dan perusahaan-perusahaan lain tertarik guna menanamkan uang di sana.
Sebagaimana kata Nadiem, yang dikutip dalam tulisan sebelumnya. Bisnis ride hailing atau bisnis jasa antar jemput penumpang, barang, dan makanan memang didesain bukan untuk mencapai keuntungan. Tetapi hanya ditujukan agar perusahaan memperoleh titik impas, di mana pengeluaran dan pendapatan seimbang. Tujuan utamanya hanyalah memperoleh data pengguna yang didapat dari akun yang berisi biodata pengguna dan GPS yang memberikan informasi geografis pengguna. Selama data-data tersebut sesuai maka tak jadi soal, tak peduli apakah driver kelelahan untuk menghasilkannya.
Maka tak heran, praktik penggunaan fake gps atau tuyul segera dibasmi oleh perusahaan. Gojek misalnya mengkampanyekan gerakan hapus tuyul, yang kita ketahui dalam tulisan sebelumnya bahwa SATGAS lah yang berposisi sebagai ujung tombak untuk melakukan pemantauan dan kontrol apabila terdapat driver yang melanggar.
Berbagai praktik manipulasi algoritma dan modifikasi aplikasi telah diberantas perusahaan. Proses pengambilan data lantas berjalan lancar, perusahaan makin untung berlipat. Sementara pendapatan ojol kian hari kian menurun.
Menurut survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang dikutip dari dataindoneia.id, menunjukkan pendapatan pengemudi ojek online (ojol) di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) semakin menyusut pasca-pandemi Covid-19.
Ini terjadi seiring dengan tarif yang rendah, potongan besar, syarat bonus yang semakin sulit, hingga persaingan ketat dengan sesama pengemudi ojol. Masih dari sumber yang sama, rata-rata pendapatan kotor pengemudi ojol di Jabodetabek hanya sebesar Rp168.000 per hari. Nilai tersebut menurun dibandingkan masa pra-pandemi pada 2018-2019 yang mencapai Rp 304.688 per hari.
Kondisi ini melahirkan inisiatif baru di kalangan driver untuk menyiasati masalah yang dihadapi oleh mereka. Seiring tak ada lagi celah bagi ojol untuk melakukan praktik manipulasi algoritma dan memodifikasi aplikasi, mereka akhirnya memilih untuk melakukan order offline.
Order Offline: Sebuah Tawaran Bagi Gerakan Ojol di Bandung Raya
Order offline adalah praktik menjual jasa pengantaran ojol kepada penumpang tanpa menggunakan aplikasi. Sebagaimana ojek pangkalan, mereka biasanya mangkal di wilayah-wilayah yang ramai orderan seperti pusat perbelanjaan, terminal, sekolah dan kantor. Mereka memang masih tetap menggunakan atribut, guna menghindari laporan pelanggaran aturan apabila mereka perlu menggunakan aplikasi lagi untuk mencari order. Di sisi lain, dengan menggunakan atribut, memudahkan calon pelanggan untuk menemukan dan memesan jasa mereka.
Biasanya sebelum mengantarkan penumpang, driver akan menawarkan terlebih dahulu kepada penumpang agar bersedia memakai jasa mereka tanpa menggunakan aplikasi. Apabila penumpang sepakat, urusan selanjutnya adalah ihwal tawar-menawar harga. Namun, lazimnya, banyak driver dan penumpang sepakat tetap menggunakan tarif yang tertera pada aplikasi.
Memang tarif yang digunakan masih bersandar pada ketentuan tarif aplikator, yang jika dihitung sangatlah tidak layak bagi para driver. Namun dengan order offline, driver terhindar dari potongan aplikator sebesar 20% dari total tarif yang diperoleh ojol. Sehingga mereka pun dapat memperoleh bayaran secara penuh atas jasa yang mereka berikan.
Hingga laporan ini ditulis, perusahaan belum menunjukan gelagat untuk membasmi praktik ini. Mungkin saja, perusahaan belum menganggap praktik ini sebagai ancaman bagi kelangsungan bisnis mereka.
Bahwa benar, order offline membuat perusahaan tidak dapat mengambil data pergerakan dan demografi ojol dan penumpang. Namun, praktik ini hanya bisa digunakan pada jasa antar penumpang saja serta hanya bisa diakses oleh penumpang di wilayah-wilayah tertentu saja. Kedua faktor inilah yang membuat praktik ini belum berlangsung secara masif di berbagai kota sehingga belum dapat dikatakan sebagai ancaman.
Faktor lainnya juga adalah perihal keamanan. Ketika mengetik order offline di kolom mesin pencarian google, banyak ditemukan headline berita yang menceritakan kejadian pembegalan terhadap ojol atau penumpang. Sehingga belum banyak para driver mempertimbangkan order offline sebagai opsi menambal kebutuhan hidup. Atas alasan itu pula, dan tak sudi ceruk keuntungan berkurang sedikitpun, aplikator lantas mengeluarkan pernyataan bahwa praktik order offline termasuk dalam kategori pelanggaran berat yang tidak akan ditolerir.
Meski praktik order offline masih memiliki keterbatasan dan resiko keselamatan yang cukup besar baik terhadap driver dan customer, tak bisa dipungkiri bahwa praktik ini memiliki potensi untuk dijadikan sebagai taktik perlawanan bagi ojol.
Pertama, order offline muncul sebagai siasat ojol untuk bertahan dari kondisi dan beban kerja yang menekan mereka. Dengan order yang makin anyep, ditambah potongan aplikator yang cukup besar, menjadikan order offline merupakan salah satu pilihan bagi ojol agar tetap memperoleh pendapatan yang setidaknya masuk akal. Yap, masuk akal. Sebab untuk dikatakan layak, kita tentunya perlu memasukan indikator lainnya yang tentu tidak terpenuhi dalam model bisnis gig economy.
Kedua, meskipun skala praktik ini masih terbatas pada segelintir driver di wilayah tertentu. Namun ia telah mampu memantik kesadaran driver bahwa sebetulnya mereka tidak sepenuhnya tergantung pada aplikator untuk memperoleh pendapatan. Sehingga dapat dikatakan bahwa apabila praktik ini meluas, bisnis utama aplikator akan terganggu. Apa artinya hal tersebut?
Ada dua kemungkinan. Aplikator bisa saja akan mengeluarkan sanksi hingga putus mitra bagi driver yang kedapatan melakukan order offline. Namun, praktik ini akan sulit dideteksi oleh aplikator mengingat manajerial kontrol utama mereka dilakukan melalui algoritma. Dengan syarat baik ojol maupun penumpang menggunakan aplikasi.
Kemungkinan kedua, order offline bisa saja meluas dan menjadi taktik perlawanan yang memiliki daya tawar cukup signifikan. Pengalaman offbid massal yang dilakukan oleh driver Go Send Same Day (Go Kilat) di Jabodetabek pada tahun 2021 membuktikan bahwa perlawanan yang dilakukan secara masif dapat membuat ojol memiliki daya tawar di hadapan aplikator.
Dalam wawancaranya bersama Trimurti, Pele yang merupakan Pimpinan Serikat Transportasi Daring Independen mengatakan, mogok tersebut dilatari karena kebijakan perusahaan yang tidak adil. Pesanan antar barang yang seharusnya hanya diprioritaskan kepada kurir Go Send Same Day (Go Kilat), justru dibagi juga dengan driver reguler.
“Kita kan gak bisa ambil (jenis) orderan lain. Beda dengan driver biasanya yang bisa ambil penumpang sama makanan,” jelas Pele kepada Trimurti 2 November 2023 via Whatsapp.
Ia melanjutkan, offbid massal yang berlangsung selama 3 hari tersebut cukup membuat aplikator kewalahan. Barang-barang menumpuk di toko online, membuat aplikator mendapat banyak keluhan. Akibat tekanan inilah, perusahaan akhirnya memenuhi tuntutan driver untuk memprioritaskan pesanan antar barang kepada driver Go Send Same Day (Go Kilat).
Tak menutup kemungkinan pencapaian yang sama juga terjadi pada aksi order offline. Dengan catatan ojol telah sampai pada kesadaran bahwa mereka adalah buruh bukan mitra. Sebab hanya dengan membongkar relasi buruh-majikan inilah ojol dapat melihat bahwa keuntungan perusahaan diperoleh dari hasil mempekerjakan mereka dalam skema kerja tanpa kepastian dan perlindungan.
Bagaimanapun, untuk mewujudkannya dibutuhkan organisasi yang berfungsi sebagai wadah bagi para ojol untuk menumbuhkan kesadaran, mengasah solidaritas hingga menerapkan taktik-taktik perlawanan.
Sebagaimana dibahas dalam tulisan sebelumnya, solidaritas-solidaritas yang masif yang muncul di kalangan komunitas-komunitas ojol di Bandung Raya bukan tak pernah ada. Aksi-aksi menuntut kebijakan perusahaan pun sudah sering dilakukan. Hanya saja semua dilakukan atas kesadaran bahwa mereka adalah mitra. Sehingga agenda dan tuntutan yang berkutat di kalangan komunitas seringkali tak beranjak dari persoalan tarif.
Ini jelas bukan tugas yang mudah bagi ojol. Buruh-buruh di sektor manufaktur pun mengalami hal serupa. Sejarah dan pengalaman berorganisasi nyatanya tak serta merta membuat serikat-serikat yang ada mampu membuat penindasan yang dirasakan buruh setiap harinya menjadi solidaritas dan gerakan perlawanan masif.
Keluhan-keluhan buruh mengenai aktivitas serikat yang itu-itu saja dan cenderung gagal menjawab persoalan mereka juga ditemui pada level komunitas hingga wadah organisasi ojol di Bandung Raya. Namun, boleh dibilang, situasi dan kondisi yang dihadapi oleh ojol menyisakan berbagai kemungkinan untuk lahirnya inisiatif dan taktik-taktik perlawanan yang baru. Berbeda dengan buruh manufaktur yang kian hari kian dikepung oleh berbagai regulasi baik di tingkat pabrik maupun nasional yang mengekang mereka.
Kemungkinan ini setidaknya bisa muncul dari fakta bahwa berbagai komunitas-komunitas ojol memiliki kecenderungan telah terbiasa melakukan mobilisasi massa dan kampanye di antara mereka. Dengan kemampuan mobilisasi dan hadirnya organisasi perlawanan ojol, taktik order offline bukan mustahil jadi aksi yang berlangsung dalam skup yang luas dan dapat mengganggu jalannya bisnis utama ojol.
Namun, semua itu hanya bisa tercapai dengan catatan apabila driver menjadikan konsumen juga sebagai elemen penting dalam perjuangan mereka untuk lepas dari ketergantungan terhadap platform. Sehingga hubungan yang terbangun bukan saja hubungan driver dan konsumen, tetapi adalah kerja-kerja solidaritas demi melepaskan dominasi platform terhadap penggunanya baik driver, konsumen dan seller. Aksi ini tak hanya dapat menjadi kekuatan yang mengembalikan daya tawar pengguna di hadapan platform. Tetapi juga memberikan kemungkinan lain bahwa driver memiliki peluang untuk lepas dari skema kerja yang eksploitatif dalam gig economy.
DAFTAR PUSTAKA
Tempo.co (2015, 15 Agustus) Pengemudi Go-Jek Bisa Bawa Pulang Uang 1 Juta per Hari https://metro.tempo.co/read/692117/pengemudi-go-jek-bisa-bawa-pulang-uang-1-juta-per-hari
Tirto.id (2018, 18 Agustus) Manuver Tarif Gojek https://tirto.id/manuver-tarif-gojek-bBDt
Kompas.com (2015, 30 Maret) Jadi “Driver” Go-Jek Pun Bisa Dapat Bonus https://megapolitan.kompas.com/read/2015/04/30/15000071/Jadi.Driver.Go-Jek.Pun.Bisa.Dapat.Bonus
Katadata.co.id (2015, 15 Agustus) Beda Level Akun Ojol di Gojek, Grab, Maxim, inDrive https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/64db15c381224/beda-level-akun-ojol-di-gojek-grab-maxim-indrive
Tribunnews.com (2020, 7 Juni) Gojek Berlakukan Verifikasi Wajah, Para Joki Terancam tak Bisa Gunakan Aplikasi
Syarif Arifin. Indoprogress.com (2022, 4 November) Di Balik Kenikmatan Kita Menikmati Transportasi Online
https://indoprogress.com/2022/11/di-balik-kenikmatan-kita-menikmati-transportasi-online/
Gojek.com (2019, 1 Maret) Download Tuyul, Pasang APK Fake GPS, Aplikasi Mod Gacor? Yuk Hapus Sekarang Juga #HapusTuyul
https://www.gojek.com/blog/gojek/hapus-download-aplikasi-apk-tuyul-gacor-mod-fake-gps/
Nikkeiasia.com (2019, 30 Mei) After Uber flop, Go-Jek says it doesn’t need ride-hailing to profit https://asia.nikkei.com/Editor-s-Picks/Interview/After-Uber-flop-Go-Jek-says-it-doesn-t-need-ride-hailing-to-profit
Gojek.com (2018, 22 Maret) Luncurkan Kebijakan Hapus Tuyul #HapusTuyul, GOJEK Ajak Mitra Junjung Nilai Kejujuran
https://www.gojek.com/blog/gojek/hapus-aplikasi-tuyul-fake-gps-apk-mod-gacor/
Dataindonesia.id (2023, 22 Agustus) Survei: Pendapatan Ojek Online Jabodetabek Menyusut usai Pandemi
Katadata.co.id (2023, 1 September) Viral di Medsos Sediakan Ojol Tanpa Aplikasi, Ini Sanksi dari Gojek
Penulis: Ilyas Gautama
Editor: Anita Lesmana