Categories
Kabar Perlawanan

Aksi Kemah Mahasiswa UGM Tolak IPI Alami Represifitas

Aksi Kemah Mahasiswa UGM Tolak IPI Direpresi

 

Trimurti.id–Pada tanggal 27 hingga 31 Mei 2024, Aliansi Mahasiswa UGM melakukan protes terhadap kebijakan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) dengan berkemah di halaman depan gedung rektorat Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM). Aksi kemah di kampus kerakyatan tersebut disambut intimidasi dan represi oleh pihak kampus.

 

IPI sendiri merupakan iuran yang dibebankan kepada mahasiswa sebagai kontribusi untuk pengembangan perguruan tinggi. IPI diatur dalam Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, di mana peraturan menteri tersebut juga menyebabkan kenaikan Uang Kuliah Tunggal di kampus-kampus lainnya. 

 

Mengutip dari thread akun resmi Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Balairung (@bppmbalairung) di X, IPI merupakan iuran yang harus dibayar oleh mahasiswa yang mendaftar melalui jalur seleksi mandiri, besarannya adalah dua kali lipat dari jumlah UKT. 

 

“Jadi, kalau UKT-mu 2 juta rupiah, maka harus bayar ekstra jadi 4 juta rupiah ketika awal masuk. Begitu juga bila UKT-mu 30 juta rupiah, maka harus bayar ekstra jadi 50 juta rupiah,” tulis BPPM Balairung dalam thread-nya. 

 

Kronologi Represi

 

Dalam siaran pers Aliansi Mahasiswa UGM, Kamis (30/05), pihak keamanan rektorat mengusir dan memberhentikan aksi kemah Aliansi Mahasiswa UGM di halaman gedung rektorat Balairung, padahal mereka telah mengantongi izin. Kampus beralasan bahwa pihaknya akan melaksanakan upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di lokasi aksi kemah tersebut.

 

“Mulai pada Kamis, 30 Mei 2024, kami mendapat peringatan untuk membubarkan diri lantaran halaman Balairung UGM akan dijadikan tempat upacara peringatan Hari Lahir Pancasila,” tulis Aliansi Mahasiswa UGM dalam siaran pers di akun instagram @aliansimahasiswaugm.

 

Mahasiswa tidak mau membubarkan diri sebelum bertemu dengan rektor UGM, Ova Emilia, untuk menyepakati semua tuntutan Aliansi Mahasiswa UGM. 

 

Keesokan harinya, pada Jumat (31/05), pukul 07.40 WIB, massa aksi diminta untuk segera melipat tenda dan pergi dari halaman Rektorat UGM, namun massa menolak dan memilih bertahan untuk memperjuangkan hak mahasiswa. 

 

“Kami hanya ingin iuran di luar UKT, baik itu IPI, SSPU, dan nama lainnya dihapuskan dari kampus tercinta ini,” tulis Aliansi Mahasiswa UGM dalam siaran pers.

 

Masih di hari Jumat, sekitar pukul 11.30 WIB, setelah berdebat panjang dengan perwakilan rektorat, massa menerima kabar bahwa Ova berkenan menemui mahasiswa UGM di halaman rektorat. Namun, hal tersebut tidak menjawab keresahan para mahasiswa yang menunggu selama lima hari, di mana Ova hanya bisa melayani tanya jawab kurang dari 30 menit karena ia hadir tepat menjelang salat Jumat.

 

Siaran pers Aliansi Mahasiswa UGM menyebutkan, bahkan Ova tidak menyinggung pernyataan-pernyataan substantif yang disampaikan oleh beberapa perwakilan mahasiswa. Alih-alih menjawab, ia justru menggiring pertanyaan para mahasiswa dengan melontarkan kalimat, “Kalau kita gak bisa ketemu di meja belakang, kita gak bisa diskusi,” 

 

“Kedatangan Ova Emilia tidak menjawab seluruh keresahan dan tuntutan kami,” tegas Aliansi Mahasiswa UGM dalam siaran pers. 

 

Di akhir tanya jawab, salah seorang pimpinan fakultas mengatakan pada moderator untuk segera melipat tenda dan angkat kaki dari halaman rektorat, tempat aksi damai non-kekerasan yang melibatkan publik bernama mahasiswa UGM tersebut, yang justru dituduh telah mengganggu ruang publik.

 

Sekitar pukul 15.00 WIB, petugas keamanan UGM mulai mengerumuni dan mencabut pancang serta melipat tenda. Mahasiswa yang masih ada di lokasi aksi tetap menolak untuk membubarkan diri dari ruang publik tersebut. Suasana semakin panas ketika beberapa mahasiswa UGM yang duduk di area tiang bendera diangkat secara paksa, bahkan siaran pers Aliansi Mahasiswa UGM menyebutkan, beberapa mahasiswa yang sedang melaksanakan salat Asar di area tiang bendera pun ikut diangkat dan dipindahkan, meskipun belum selesai beribadah.

 

“Kami masih tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi Bu Ova (Rektor UGM). Entah itu nanti ada represi dari aparat (kampus), kami tetap bertahan di sini,” kata Humas Aliansi Mahasiswa UGM, Maulana, sebagaimana diberitakan oleh Kumparan. 

 

Sekitar pukul 20.00 WIB, mahasiswa yang masih bertahan di halaman rektorat mengadakan konsolidasi dan memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meninggalkan halaman rektorat maksimal Sabtu (01/06), pukul 04.00 WIB.

 

Meski begitu, nampaknya intimidasi oleh pihak rektorat masih belum berakhir. Aliansi Mahasiswa UGM menerima informasi bahwa pada Sabtu (01/06) pagi, terdapat salah satu mahasiswa yang diintimidasi pihak kampus. Orang tua mahasiswa tersebut dihubungi oleh fakultas dan diminta untuk membubarkan diri. Padahal, mereka pun sedang mengemasi barang dan tenda.

 

Dalam siaran pers yang diunggah di akun instagram @aliansimahasiswaugm, Aliansi Mahasiswa UGM menuntut:

 

  1. Ova Emilia selaku rektor Universitas Gadjah Mada untuk mencabut seluruh kebijakan mengenai uang pangkal atau iuran lain di luar UKT yang berlaku di seluruh golongan UKT di UGM.
  2. Ova Emilia selaku rektor Universitas Gadjah Mada melakukan konferensi pers yang menyatakan bahwa:
  3. Universitas Gadjah Mada sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum menuntut Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk segera mencabut Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024.
  4. Universitas Gadjah Mada sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum menuntut Negara untuk menambah subsidi anggaran pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri.

 

Penulis: Deni Rustana

Editor: Nana Miranda