Trimurti.id, Bandung – Kurang dari satu minggu ke depan, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bandung akan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustendi Muller. Dua bersaudara Muller itu didakwa telah memalsukan keterangan dalam berbagai dokumen yang mereka gunakan untuk merebut lahan Dago Elos. Pembacaan putusan akhir dijadwalkan akan berlangsung pada 14 Oktober 2024.
Sembari menanti pembacaan putusan, warga Dago Elos pada Rabu, 9 Oktober 2024 kemarin menghelat diskusi publik di lapangan voli di tengah pemukiman Dago Elos.
Diskusi sore itu bertajuk “Membongkar Praktik Mafia Tanah di Dago Elos”menghadirkan pembicara Adhea Rizky (warga Dago Elos), Heri Pramono (Tim Advokasi Dago Elos), Fatia Maulidiyanti (Kontras), dan Herry ‘Ucok’ Sutresna.
Seperti diberitakan sebelumnya, sekitar 300 keluarga terancam tergusur sesudah tiga bersaudara Muller plus PT Dago Inti Graha memenangkan gugatan atas lahan di Dago Elos..
Di kemudian hari, warga Dago Elos melawan balik dengan melaporkan Muller bersaudara ke polisi. Muller bersaudara dituduh memasukkan keterangan-keterangan palsu dalam berbagai dokumen yang digunakan di pengadilan. Salah satunya, dalam surat Penetapan Ahli Waris trio Muller menggambarkan kakek buyut mereka, George Hendrikus Wilhelmus (GHW) Muller, sebagai “…kerabat ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia.” Keterangan bombastis ini hampir dapat dipastikan cuma kibul kosong belaka, yang agaknya dimaksudkan untuk menggertak warga Dago Elos. Ada bukti tertulis bahwa GHW Muller cuma orang yang diutus majikannya untuk menjadi petugas administratur perkebunan Sindangwangi di Cicalengka.
Selanjutnya, polisi mencokok dua dari tiga bersaudara Muller, dengan sangkaan berikut: memalsukan Kartu Tanda Penduduk (KTP) guna menyisipkan nama belakang Muller dalam kartu identitas mereka, lalu memalsukan akta kelahiran ayah mereka, dan terakhir -yang paling kejam- memalsukan Eigendom Verponding (surat tanah masa Hindia Belanda) untuk mendaku kepemilikan lahan di Dago Elos.
Mengaku punya hubungan keluarga dengan anggota Kerajaan Belanda saja sebetulnya sudah jenaka. Komedi menjadi semakin lawak sesudah terdakwa sepanjang persidangan sibuk menjelas-jelaskan bahwa benar adanya mereka adalah keturunan kakek George Hendrik Muller dan ayah Edi Edward Muller. Dakwaan jaksa adalah tentang pemalsuan dokumen, dan tidak mempermasalahkan soal siapa adalah keturunan dari siapa.
“Waktu sidang mereka sampai nunjukin foto keluarga pake jas gitu,” ungkap Dhea -sapaan akrab Adhea Rizky- sore itu saat membeberkan upaya duo Muller ini untuk meyakinkan Majelis Hakim.
Kakek dari tiga bersaudara Muller, yaitu George Hendrik Muller, konon mendapatkan tiga buah Eigendom Verponding sesudah membeli lahan Dago Elos dari NV Simongan, perusahaan ubin dan bahan bangunan yang berkedudukan di Semarang. Jual beli lahan tersebut digambarkan berlangsung pada 1899.
Dalam persidangan, warga meragukan cerita tersebut. Transaksi jual-beli tersebut aneh bin ganjil. Pada tahun yang disebutkan itu, NV Simongan belum berdiri dan George Hendrik Muller (1906-1964) sendiri bahkan belum dilahirkan.
Mengenai Eigendom Verponding, Heri Pramono, dari Tim Advokasi Dago Elos, memberikan catatan penting. Surat tanah masa kolonial mestinya sudah dianggap kadaluwarsa, tidak berlaku lagi di zaman kiwari ini. Jikapun benar lahan Dago Elos dahulu dimiliki leluhur keluarga Muller, lahan dengan alas hak dari masa kolonial itu seharusnya dialihkan menjadi “tanah negara bebas” yang diperuntukkan untuk kemaslahatan warga Dago Elos.
Heri Pramono menambahkan, berdasarkan kesaksian dari petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN), Eigendom Verponding yang dibicarakan ternyata tercatat, bukan atas nama George Hendrik Muller, melainkan atas nama NV Simongan.
Keterangan saksi-saksi di pengadilan juga semakin memperjelas kejadian pengoperan Eigendom Verponding dari keluarga Muller ke ke PT Dago Inti Graha, perusahaan yang didirikan pengusaha tekstil Jo Budi Hartanto dan anaknya, pengusaha properti Erwin Senjaya Hartanto.
Pengoperan tersebut tidaklah cuma-cuma. Menyertai pengoperan itu, ada aliran dana sebesar Rp 300 Juta dari Jo Budi Hartanto ke trio Muller. Tujuannya, agar keluarga Muller tidak menjual lahan Dago Elos ke pihak manapun. Sebutlah, itu adalah uang muka yang dibayarkan Jo Budi Hartanto untuk memastikan pencaplokan lahan Dago Elos.
“Seluruh fakta persidangan mengarah pada Indikasi perampasan lahan,” ujar Heri.
Pembicara berikutnya, Herry Sutresna lebih tertarik untuk menempatkan kasus Dago Elos sebagai perebutan ruang strategis di wilayah perkotaan. Dago Elos direbut untuk diubahkan menjadi mesin pencetak uang. Nyatanya, Jo Budi Hartanto rela mengeluarkan “ongkos” demi mendapatkannya. Pengusaha tekstil ini (PT Tridayamas Pusaka) tak ingin uangnya sekedar mengendap. Uang harus diputar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi.
Saat ini saja, sebentang lahan di Dago Elos sudah berubah wujud menjadi apartemen-condotel The MAJ (berdiri pada 2015). Pada saat yang sama, Dago Elos disebut-sebut sebagai bagian dari suatu rencana yang belum resmi diumumkan, yakni pembangunan lintasan kereta gantung (cabled-car) di Bandung Utara. Dago Elos benar-benar diperebutkan untuk berbagai kepentingan bisnis.
“Seperti (program Kota Tanpa Kumuh) di Tamansari, orang-orangnya dulu diusir jauh dari kota. Udah itu baru bikin bangunan,”ujar Herry Sutresna.
Menimpali pembicara sebelumnya, Fatia Maulidiyanti melihat kasus perampasan ruang hidup bukanlah sekedar ‘permainan tunggal’ mafia tanah. Dalam banyak kasus,sambungnya, perampasan lahan di wilayah-wilayah Indonesia lainnya melibatkan berbagai pihak -dari mulai korporasi, mafia tanah, preman paramiliter- untuk memuluskan pembangunan proyek strategis nasional (PSN).
“Segala macam cara akan digunakan untuk mencaplok lahan,”ringkas Fatia.
***
Diskusi usai menjelang petang. Malam datang, lampu-lampu mulai dinyalakan, dan pengeras suara dihidupkan. Lalu, Dago Elos malam itu dipanaskan sejenak oleh penampilan grup musik punk Dongker. Segeralah muda-mudi bergoyang riang di lapangan yang sudah berubah menjadi arena moshpit.
Mengakhiri perhelatan petang hingga malam itu, warga Dago Elos kembali memenuhi lapangan. Yel demi yel diteriakkan untuk saling menjaga semangat, sambil saling berjanji akan datang pada sidang pengadilan berikutnya (Senin, 14 Oktober 2024) untuk mendengarkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung.
Pada sidang sebelumnya, Heri Hermawan Muller dan Dodi Rustendi Muller dituntut hukuman penjara lima tahun dan enam bulan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Segenap warga Dago Elos pastilah ingin kebenaran diungkap seterang-terangnya, agar keadilan dapat ditegakkan seadil-adilnya. Komplotan mafia tanah -dari gembong dan pemodalnya, dari pemalsu dokumen sampai kaki-tangannya yang paling kecil- seluruhnya harus diringkus dan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Reporter: Baskara Hendarto
Editor: Sentot