Trimurti.id, Bandung – Senin siang, 14 Oktober 2024, Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bandung bergantian membacakan putusan atas terdakwa Heri Hermawan dan Dodi Rustendi alias Dua Bersaudara Muller.
Ketiga hakim dengan gerak bibir lumayan cepat berkomat-kamit membacakan baris demi baris dan lembar demi lembar putusan. Berbagai bukti dipertimbangkan, sisanya disisihkan. Fakta penting yang muncul di persidangan kembali diungkap dan pertimbangan disampaikan.
Di seberang meja hakim, warga Dago Elos terus menyimak pembacaan putusan. Mereka memenuhi ruang sidang, duduk di kursi pengunjung atau bersila di lantai. Sisanya menggerombol di luar gedung pengadilan. Semua dengan harap cemas menanti putusan akhir dari Majelis Hakim.
Untuk beberapa saat ruang sidang mendadak senyap. “Demikian majelis hakim menyatakan….” Hakim mengambil nafas sejenak. “Terdakwa atas nama Heri Hermawan Bin Edi Edward Muller dan Dodi Rustendi Muller Bin Edi Edward Muller telah melanggar Pasal 266 (2) jo dan Pasal 55 (1) KUHP, dan divonis hukuman 3 tahun 6 bulan penjara,”
Lalu, ruang sidang seketika bergemuruh.
“Allahu Akbar,”
“Alhamdulillah,” terdengar suara lirih.
“Hakan sia tah…!” (makan tuh [vonis hakim]), sambar yang lain.
**
Majelis Hakim PN Bandung menjatuhkan hukuman masing-masing tiga tahun dan enam bulan untuk kedua terdakwa. Hukuman ini lebih ringan dari dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang memohonkan hukuman penjara lima tahun dan enam bulan.
Apapun putusan yang dijatuhkan hakim, persidangan setidak-tidaknya berhasil mengungkap beberapa fakta penting. Kedua Muller terbukti berbuat nekat memalsukan surat dengan tujuan akhir untuk merebut lahan dari sekitar 300 keluarga penghuni Dago Elos. Mereka mencantumkan nama belakang Muller di KTP palsu yang dicetak dengan ink-jet printer di atas kertas yang tidak resmi.
Nomor akta kelahiran ayah mereka, Edward Muller, ternyata tercatat atas nama orang lain. Dan, surat palsu tersebut sengaja pula dicetak di atas kertas serat bambu. Mungkin supaya tampak kekuning-kuningan dan terkesan meyakinkan sebagai akta kelahiran terbitan masa Hindia Belanda. Sungguh kreativitas yang tak tertandingi.
Selain menjatuhkan hukuman, putusan hakim memerintahkan penyitaan sejumlah bukti untuk penyelidikan lebih lanjut, guna mengungkap kejahatan-kejahatan lain yang bersangkut-paut dengan sengketa lahan Dago Elos.
Artinya, kasus Dago Elos belum seluruhnya berakhir. Masih ada fakta tersembunyi yang perlu diungkap jelas. Bolehlah bercuriga, para kaki-tangan mafia tanah masih bebas berkeliaran. Mereka semua perlu diseret ke pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya.
Pada kasus Dago Elos, sejumlah pertanyaan belum terjawab lugas. Ada petunjuk kuat, Eigendom Verponding milik keluarga Muller juga palsu. Kalau memang demikian, bagaimana keluarga Muller mendapatkan surat tanah palsu itu?
Pemalsuannya mungkin dilakukan dengan teknologi cukup rendah (lem, gunting, pemotong kertas, dsb). Mungkin juga agak serius sedikit, dengan menggunakan komputer, mesin photo copy dan printer lasser tercanggih. Apapun teknologinya, pelaku langsung pemalsuan hanyalah penjahat kelas teri. Penjahat murahan lainnya adalah orang-orang yang terlibat menyusun daftar nama warga Dago Elos (termasuk memastikan ketepatan nama dan alamat), lalu menyetorkannya ke pihak keluarga Muller, untuk digugat di muka pengadilan, untuk kemudian dihinakan selama bertahun-tahun sebagai pelanggar hukum, agar terusir dari Dago Elos.
Untuk diingat, penjahat kelas teri bukanlah yang tangannya paling kotor. Penjahat yang sesungguhnya adalah pelaku yang merencanakan, memerintahkan dan jika perlu memodali tindakan pemalsuan surat, dan yang paling menikmati hasil dari seluruh kejahatan ini. Otak dari pemalsuan Eigendom Verponding besar kemungkinan memiliki akses terhadap (salinan) surat-surat tanah masa lalu. Boleh jadi satu surat tanah -yang katakanlah asli- dipalsukan dan digandakan berkali-kali, dengan menggonta-ganti nama pemilik dan pewaris, tahun pemerolehan, lokasi lahan, dan seterusnya. Dapat dibayangkan, seluruh rangkaian kejahatan ini akan terus menambah kasus penggusuran dan melipat-gandakan penderitaan rakyat.
**
Usai pembacaan putusan, di tengah situasi yang tentunya terlihat sedikit kacau, warga menyambut gembira putusan hakim. Mereka saling berpelukan dengan riang dan tangis haru, pada tengah hari di bawah terik matahari yang memanggang.
Lia Piltasari, salah seorang warga, mendadak kesusahan mengatur nafas dan nyaris tak bisa berkata apa-apa. Dia masih tak percaya hakim memutuskan demikian.
“Aku tuh gak nyangka bisa (menang) kayak gini,” sambil menuruni anak tangga dan meninggalkan ruang sidang.
“Berarti hasil belajar kita selama ini gak sia-sia. Allhamdulilah,” lanjutnya.
Rupanya, selama berbulan-bulan warga Dago Elos terus bersitekun mempelajari kasus Dago Elos untuk dapat menyeret Muller bersaudara ke pengadilan.
Dengan tergesa, setengah berlari kecil, dia menuju lapangan parkir. Menjumpai teman-temannya sesama warga Dago Elos, yang sudah delapan tahun berjuang melawan penggusuran.
Sebentar kemudian, massa menyemut di depan mobil komando. Menyambut kemenangan ini, warga bergantian berbicara dengan pengeras suara dari atas mobil komando.
Saat gilirannya tiba, Lia malah menggunakan kesempatan bicara untuk menyapa almarhum ibunya.
“Maah!! Ini (kemenangan) buat mamah,” teriaknya.
Sedikit cerita, ibunda Lia berpulang tiga bulan yang lalu. Kurang-lebih saat warga Dago Elos masih berjibaku mempelajari berbagai dokumen untuk memahami kejadian yang menimpa mereka, untuk mengerti riwayat lahan, dan mengenali aktor-aktor mafia tanah beserta seluruh siasat kotornya.
Melalui investigasi kasus, warga mampu melaporkan Muller bersaudara ke polisi dan merangkai perlawananannya sendiri. Dan upaya tersebut, paling tidak untuk sekarang, telah menampakkan hasilnya, yaitu mengungkap sebagian kejahatan dan mengantarkan Muller bersaudara ke balik jeruji penjara.
Barangkali ada gunanya mencatat ucapan Herry “Ucok” Sutresna, pada diskusi “Membongkar Praktik Mafia Tanah Dago Elos” yang dihelat menjelang beberapa hari menjelang pembacaan putusan sidang. Pada kesempatan itu Ucok berkata, investigasi kasuslah yang memungkinkan warga Dago Elos melangkah lebih maju untuk menyingkap siapa dan bagaimana aktor-aktor mafia tanah “bermain” dalam pusaran konflik lahan Dago Elos.
Dan, Ucok menambahkan, “…metode ini bisa direplikasi dan dipakai di titik-titik (lokasi penggusuran) lainnya.”
**
Perayaan kemenangan itu terus berlanjut. Raungan mesin sepeda motor terdengar saat konvoi warga Dago Elos mulai bergerak keliling kota. Mula-mula menuju Jalan Saparua, lalu menyusuri Braga, lalu menikung ke Utara ke Cihampelas dan Cikapayang.
Sepanjang konvoi, hampir tanpa putus warga Dago Elos meneriakkan yel dan bernyanyi. Sesekali rombongan berhenti sebentar, untuk berorasi. Untuk mengumandangkan peringatan bahwa mafia tanah dapat sewaktu-waktu mencaplok kampung-kampung kota dan menggusur penghuninya.
Konvoi berakhir di Dago Elos. Untuk sejenak warga Dago Elos berkesempatan sedikit menarik nafas. Mereka telah menempuh banyak upaya dan melewati banyak rintangan: membuat laporan ke polisi tapi laporan malah ditampik, melakukan aksi tapi dibalas semburan gas air mata, hingga menggelar Festival Kampung Kota untuk menentang penggusuran, dan banyak lagi.
Meminjam ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusia: warga Dago Elos telah melawan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
Redaksi Trimurti.id