Categories
Orasi

Keringat Terus Diperah, Pemain Persikabo Bekerja Tanpa Kepastian Upah

Akhir-akhir ini, media sosial dipenuhi narasi congkak tentang sepakbola Indonesia yang diklaim sedang berada di jalur kejayaannya. Para penggemar dan netizen dengan antusias sering menyatakan bahwa sepakbola tanah air “sedang bagus-bagusnya”. Namun, jika dilihat lebih dalam, realitas di lapangan justru menunjukkan gambaran yang berbeda. Yang sebenarnya sedang dalam performa cemerlang hanyalah tim nasional, bukan keseluruhan ekosistem sepakbola Indonesia.

Kesenjangan antara persepsi publik dan realitas ini semakin terlihat jelas pada permasalahan yang masih mengakar kuat di liga domestik. Salah satu isu yang paling mencolok dan terus berulang adalah penunggakan upah pemain. 

Ironisnya, meskipun narasi kesuksesan tim nasional terus bergaung, cerita menyedihkan tentang nasib para pemain di klub-klub liga lokal seolah menjadi narasi usang yang tak kunjung selesai bahkan cenderung terus berulang. Kasus demi kasus bermunculan dari musim ke musim, menciptakan siklus permasalahan yang tak berujung. Bahkan baru-baru ini, Liga 2 lagi-lagi dihebohkan dengan kasus yang kembali melibatkan Persikabo 1973 dan semakin mempertebal daftar panjang persoalan yang telah lebih dulu ada.

Tim berjuluk Laskar Padjajaran ini kembali terjerembab dalam kubangan masalah finansial di musim 2024/25. Déjà vu yang menyakitkan ini mengingatkan pada kasus serupa pada tahun 2021, ketika klub terlibat sengketa terkait pembayaran upah mantan pemainnya, Alex dos Santos.

Kini, melalui unggahan di media sosial Instagram, kelompok suporter Ultras Persikabo Curva Sud (UPCS) membuka tabir kelam bahwa manajemen klub Persikabo kembali menunggak upah pemain dan staf pelatih selama dua bulan terakhir. Ironi ini semakin menyeruak pelik ketika tim kesulitan untuk sekadar pulang ke markas mereka di Bogor usai melakoni laga tandang melawan Sriwijaya FC di Palembang.

Krisis finansial ini bukan sekadar persoalan di balik layar, melainkan telah merembes ke permukaan dan memengaruhi performa tim di atas lapangan. Dampaknya terlihat begitu nyata dalam beberapa pertandingan terakhir, di mana tim asuhan Djajang Nurjaman ini tampak kehilangan motivasi dan semangat bertanding. Puncaknya terjadi saat Persikabo menelan kekalahan telak yang mengejutkan dengan skor 1-5 dalam lawatannya ke Stadion Gelora Jakabaring, Palembang. Kekalahan tersebut bukan hanya soal angka di papan skor, tetapi juga cerminan dari bagaimana peliknya krisis internal yang sedang melanda klub.

“Ini seperti penyakit lama yang kambuh kembali. Tidak ada perayaan pertandingan yang setara dengan keringat dan hak yang belum dibayarkan,” tegas UPCS dalam pernyataannya di Instagram, menyuarakan frustasi dan kekecewaan yang begitu mendalam terhadap etika dan profesionalisme manajemen klub yang dinilai “tidak becus” dalam pengelolaan finansial.

Menyikapi krisis yang melanda Persikabo 1973, UPCS berinisiatif melakukan aksi penggalangan dana–sebuah langkah yang seharusnya tak perlu terjadi dalam kancah sepakbola yang mengklaim diri sebagai profesional.

Dalam upaya mengatasi krisis yang melanda, UPCS mencanangkan empat tujuan utama dalam aksi penggalangan dana mereka. Pertama, mereka bertekad untuk meringankan beban moril pemain dan staf pelatih yang hak-haknya belum terpenuhi. Kedua, suporter berusaha memfasilitasi kepulangan tim dari Palembang. Ketiga, mereka berkomitmen untuk memfasilitasi penyelenggaraan pertandingan kandang pada 12 Oktober 2024. Dan yang tidak kalah penting, tujuan keempat adalah mencegah Persikabo 1973 dari ancaman diskualifikasi Liga 2. Inisiatif ini menunjukkan bagaimana suporter telah mengambil peran yang jauh melampaui kapasitas mereka sebagai sekedar pendukung tim di tengah ketidakbecusan manajemen klub.

Komitmen dan solidaritas UPCS tidak berhenti pada tataran wacana semata. Di tengah laga Persikabo melawan Bekasi FC di Stadion Pakansari, Bogor pada Minggu, 12 Oktober 2024, terselip momen yang menunjukkan kuatnya solidaritas suporter. UPCS membuktikan kepedulian mereka dengan menyerahkan donasi hasil penggalangan dana kepada pelatih kepala Djajang Nurdjaman yang mewakili para pemain dan staf tim Laskar Padjajaran. Aksi solidaritas ini muncul sebagai bentuk keprihatinan atas nasib Persikabo yang terabaikan akibat manajemen klub mangkir dari kewajiban membayar upah selama dua bulan. Langkah UPCS ini bukan sekadar bantuan finansial semata, tetapi juga menjadi kritik telak terhadap manajemen klub yang mengklaim profesional namun gagal memenuhi tugas paling dasar dalam mengelola sebuah tim sepak bola.

Krisis yang menimpa Persikabo 1973 bukanlah sebuah anomali, melainkan hanya satu episode dari serial panjang permasalahan finansial yang kerap menghantam klub-klub sepakbola Indonesia. Di tengah upaya peningkatan kualitas sepakbola Indonesia yang gencar digaungkan, isu tunggakan upah tetap menjadi hantu yang tak kunjung pergi, seolah menjadi tamu abadi yang belum berhasil diusir dari rumah yang bernama “sepakbola Indonesia”. Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan yang menganga antara ambisi membangun citra sepakbola Indonesia di kancah dunia dengan realitas pengelolaan liga yang masih jauh dari standar profesional.

Tiap kali isu tunggakan upah mencuat ke permukaan, narasi yang berkembang justru terfokus pada kegagalan manajemen klub. Sementara, permasalahan ini sesungguhnya memiliki akar yang jauh lebih dalam dan kompleks. Jika ditelusuri lebih lanjut, benang kusut ini bercabang hingga ke level federasi. 

PSSI selaku induk organisasi sepakbola nasional dan PT Liga Indonesia Baru (LIB) sebagai operator liga, seharusnya tidak boleh luput dari tanggung jawab atas berulangnya drama usang ini. Kedua lembaga tersebut patut disorot atas abainya mereka dalam menjalankan fungsi vital pengawasan dan penegakan standar profesionalisme di kalangan klub. Melalui mekanisme verifikasi yang dilakukan setiap awal musim, kedua lembaga ini seharusnya memiliki data komprehensif mengenai kesiapan klub, terutama dari segi finansial. Namun faktanya, klub-klub dengan track record buruk dalam hal pembayaran upah tetap selalu lolos verifikasi dan diizinkan mengikuti kompetisi. Standar yang seharusnya menjadi garis keras justru dilunakkan, dengan hanya bermodalkan janji-janji kosong dan lobby.

Kelonggaran yang ditunjukkan oleh PSSI dan PT LIB dalam menegakkan standar profesionalisme telah menciptakan preseden buruk dalam ekosistem sepakbola Indonesia. Ketika konsekuensi atas ketidakprofesionalan tidak ditegakkan dengan tegas, klub-klub seolah mendapat impunitas dan legitimasi untuk terus mengulang kesalahan yang sama. Sikap tidak tegas dari kedua lembaga ini turut berkontribusi dalam melanggengkan siklus permasalahan upah yang terus berulang.

Bagaimana mungkin sebuah liga dapat disebut profesional jika standar dasarnya saja tidak ditegakkan? Kegagalan PSSI dan PT LIB dalam menjalankan fungsi pengawasan dengan benar telah membuat masalah, seperti hal nya tunggakan upah, menjadi wujud hantu yang terus menghantui persepakbolaan nasional.

Lebih jauh lagi, kompleksitas permasalahan ini semakin bertambah dengan adanya fenomena klub-klub yang dikelola oleh politisi. Banyak dari mereka yang kerap membuat sepakbola menjadi kendaraan politik, menciptakan hambatan besar dalam upaya transformasi menuju “profesionalisme sejati” yang didambakan. 

Situasi ini diperparah oleh sikap PSSI dan PT LIB yang masih memberikan toleransi kepada klub-klub bermasalah untuk tetap berkompetisi, seringkali semata-mata berdasarkan nama besar atau sejarah panjang mereka. Pengelolaan klub oleh politisi ini bukan hanya menciptakan konflik kepentingan, tetapi juga sering mengaburkan batas antara kepentingan olahraga dan ambisi politik pribadi. Akibatnya, fokus pengelolaan klub seringkali teralihkan dari upaya membangun organisasi yang sehat dan profesional, menjadi alat untuk meraih dukungan politik atau memperkuat basis kekuasaan.

Ketidaktegasan dalam penegakan standar ini telah menciptakan lingkaran setan yang tak berujung. Tahun berganti tahun, musim silih berganti, namun cerita pilu tentang pemain yang harus berjuang menagih hak mereka tetap menjadi headlines yang menyayat hati. Alih-alih menunjukkan kemajuan, situasi ini justru menggambarkan stagnasi, bahkan kemunduran dalam upaya membangun sepakbola profesional di Indonesia.

Profesionalisme sejati harus dimulai dengan penghargaan terhadap hak-hak dasar pemain sebagai pekerja di industri olahraga. Sepakbola yang profesional adalah yang menghargai kontribusi setiap pekerjanya, menciptakan lingkungan yang mendukung kreativitas dan dedikasi para pemain. 

Profesionalisme sejati bukan sekadar label atau slogan kosong–ia harus tercermin dalam setiap aspek pengelolaan klub dan kompetisi. 

Bagaimana mungkin sepakbola Indonesia bisa disebut telah melangkah lebih maju ketika masalah paling mendasar seperti pembayaran upah masih terus terulang bak sebuah tradisi?

Bukan hanya sekadar janji-janji, Sepakbola Indonesia membutuhkan ketegasan dalam implementasi standar profesionalisme yang dimulai dari hal yang paling fundamental, yakni menghormati hak-hak dasar para pemain sepak bola sebagai pekerja.

Sekali lagi, Timnas Indonesia sudah naik level, namun tidak dengan sepakbolanya.

 

Penulis: Cici Hartono

Editor: Nana Miranda