“Tadinya saya mau bilang, ‘yang saya hormati kepolisian’, tapi tidak jadi…Pak polisi ngapain berdiri di sana? Kita tidak bawa batu, kita bawa masyarakat! Pak, kita mengayomi, bukan seperti kalian; kriminal!”
Agaknya, potongan orasi seorang guru di Sulawesi Tenggara itulah yang pantas membuka tulisan ini. Demo digalang, buntut dari diseretnya guru honorer Supriyani ke polisi karena dituduh melakukan kekerasan pada salah satu muridnya, April lalu. Penahanan Supriyani pada Oktober 2024 memancing kemarahan kawan-kawan guru lainnya.
Supriyani, seorang guru SD di Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, ditahan kepolisian setempat pada 22 Oktober 2024 lalu. Ia dituduh melakukan kekerasan pada seorang murid (anak polisi). Supriyani bersikeras membantah tuduhan yang dilemparkan pada dirinya.
Kriminalisasi guru Supriyani ini menuai keputusan para guru di Baito untuk tidak menerima murid anak polisi. Konsolidasi guru ini memiliki muatan politis yang penting walau masih berskala lokal.
Supriyani tidak hanya diancam penjara, ia juga diperas oleh 6 polisi, 3 personel Polsek Baito dan 3 personel Polres Konawe Selatan. Bukan main, Supriyani diminta Rp50 juta sebagai “uang damai”. Lebih buruk lagi, bukan hanya polisi yang memeras Supriyani, pihak Kejaksaan setempat juga tak mau kalah, mereka memeras uang sebanyak Rp 15 juta.
Baru-baru ini, mobil yang sering ditumpangi Supriyani ditembak orang tak dikenal. Mobil itu tengah dikendarai Herwan Melangga, Pj Kades Ahuangguluri, dalam perjalanan usai mengantar Supriyani ke rumah dinas Camat Baito (28/10/2024).
Kejadian itu bertepatan di hari Supriyani menghadiri sidang eksepsi di Pengadilan Negeri Andoolo. Tentu tak ada klaim dari sebutir peluru yang bersarang di kaca mobil itu, tapi nalar publik tak bisa dibohongi, teror itu ada dan jelas alamatnya.
Mei 2024 lalu, di Jombang, Jawa Timur, seorang guru ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Jombang. Guru itu bernama Khusnul Khotimah. Sama seperti Supriyani, Khusnul harus berurusan dengan polisi karena dituduh lalai. Berawal dari seorang murid yang bermain gagang sapu saat jam kosong. Aksi main-main itu berbuntut pecahan gagang sapu mengenai mata murid lain. Murid yang cedera matanya itu adalah anak seorang polisi. Khusnul Khotimah tak berada di kelas saat itu. Pelapor menganggap itu sebuah kelalaian seorang guru.
Supriyani dan Khusnul Khotimah adalah dua dari sekian buruh pengajar (guru) di Indonesia yang dikriminalisasi sepanjang tahun 2024. Dua kasus ini juga berbeda dengan kasus guru predator yang mencuat ke permukaan belakangan. Tapi bagaimanapun bukti gagalnya sistem pendidikan di Indonesia tak terbantahkan. Dibarengi dengan bengisnya sistem hukum Indonesia, sistem pendidikan kita tak terlihat membaik ujungnya.
Tentu masyarakat akan selalu berharap pendidikan Indonesia semakin membaik, agar generasi berikutnya tak kehilangan masa depan. Tapi bagaimana mungkin harapan itu bisa dilihat titik terangnya? Sedangkan Supriyani, Khusnul Khotimah, dan jutaan guru honorer di Indonesia diupah sekitar Rp300 ribu – Rp2 juta saja.
Dari honor sekecil itu, buruh pengajar (guru) harus berhadapan dengan pemerasan dan kriminalisasi dari pihak aparat. Dari honor sekecil itu, buruh pengajar (guru) diberi beban tanggung jawab akan masa depan generasi bangsa.
***
Penulis: Dedi Muis
Editor: Rokky Rivandy
Ilustrasi: Wirdan Ardi