Trimurti.id – Universitas Indonesia, khususnya Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia bekerja sama dengan Aliansi Persatuan Perjuangan Rakyat Indonesia (P2RI) menyelenggarakan workshop mengenai pengeluaran rumah tangga buruh dan implikasinya pada konsumsi pangan dan gizi buruh perempuan.
Workshop ini merupakan tindak lanjut dari survey yang dilakukan Komite Hidup Layak pada tahun 2024 terkait pengeluaran rumah tangga buruh di enam sektor industri, yang salah satunya meliputi manufaktur. Sekitar dua puluh orang buruh perempuan dari berbagai serikat buruh mengikuti workshop tersebut.
Kokom Komalawati, sebagai salah satu perwakilan Aliansi P2RI yang menjadi pembicara dalam workshop tersebut, mengungkapkan bahwa sekitar 76% (200 dari total 257 narasumber) buruh yang menjadi responden survey memiliki hutang, yang utamanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini disebabkan kebutuhan sesungguhnya keluarga buruh adalah dua kali lipat upah minimum.
Akibatnya, menurut Kokom, beberapa strategi bertahan hidup yang dilakukan oleh rumah tangga buruh adalah dengan mengurangi konsumsi dan berhutang. Secara khusus hutang, tegas Kokom, tidak hanya menjadi contoh finansialisasi kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi alat kontrol sosial. Demi membayar hutang, buruh terpaksa mengambil lembur atau bekerja lebih lama, sehingga tidak memiliki waktu dan tenaga untuk berserikat.
Hariati Sinaga, pengajar di Program Studi Kajian Gender, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa strategi bertahan rumah tangga buruh dengan mengurangi konsumsi dapat memberikan implikasi pada gizi buruh perempuan.
Konstruksi sosial mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender dalam rumah tangga buruh, di mana buruh perempuan tidak hanya bekerja dalam ranah produksi, tetapi juga ranah reproduksi. Beban ganda yang diemban oleh buruh perempuan menunjukkan energi yang dibutuhkan lebih banyak, yang seharusnya diimbangi dengan kebutuhan gizi yang cukup.
Tetapi, karena pengeluaran rumah tangga buruh lebih besar dari kebutuhan hidup sehari-hari, rumah tangga buruh justru harus mengurangi konsumsi. “Bekerja lebih keras, makan lebih sedikit” yang diungkapkan Hariati merupakan implikasi pengeluaran rumah tangga buruh terhadap buruh perempuan. Menurut Hariati hal ini berakibat pada kurang gizi yang dialami buruh perempuan, yang dapat meningkatkan kerentanan mereka terhadap berbagai penyakit.
Ai, salah satu buruh perempuan yang hadir dalam workshop, membenarkan kerentanan terhadap anemia pada buruh perempuan. Berkaca pada pengalaman dirinya sendiri yang pernah mengalami anemia, Ai mendorong para buruh perempuan untuk memperhatikan asupan gizi, meski tidak menampik bahwa harga makanan yang sehat biasanya lebih mahal.
Sementara Susi, buruh perempuan lain yang berpartisipasi dalam workshop, mengungkapkan bahwa kondisi penyediaan makanan di tempat kerja sudah relatif baik dan terjamin. Namun, yang menjadi masalah, menurut Susi, adalah kondisi di dalam rumah tangga. Sebagai salah satu pencari nafkah dalam rumah tangga, Susi menjelaskan bahwa ia perlu mengalokasikan sejumlah uang tertentu untuk konsumsi pangan keluarga. “Untuk mengatur tiga juta saja, kita harus memutar otak,” tandas Susi.
Ketika ada kebutuhan keluarga yang lain, misalnya untuk membantu adik, seperti yang dialami Susi, maka uang yang dialokasikan untuk kebutuhan makanan rumah tangga tersebut harus dikurangi. Lain cerita dengan di pabrik tempat Imas bekerja. Menurut Imas, meski perusahaan menyediakan makanan untuk para buruh, tetapi kebersihannya tidak terjamin.
Diskusi yang muncul terkait hubungan antara pengeluaran rumah tangga buruh dan gizi buruh perempuan menunjukkan berbagai problem keseharian yang dihadapi buruh perempuan yang sering kali tidak menjadi pembahasan dalam serikat buruh. Kokom Komalawati mendorong para buruh perempuan yang hadir dalam workshop untuk melanjutkan diskusi tersebut ke dalam serikatnya masing-masing, secara khusus di antara anggota buruh perempuan.
Penulis: Tim Penulis Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Editor: Rokky Rivandi