Categories
Telusur

Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Awak Kabin

Trimurti.id – Jika saja Christian Natalius Imeldivan tidak dipecat, tahun ini genap satu dekade ia melayani maskapai penerbangan Citilink. Sedari 2 Juni 2014, Christian, sudah bekerja sebagai pramugara. Tiga tahun berselang, dia diangkat menjadi karyawan tetap pada tanggal 12 Oktober 2017.

Tahun lalu dirinya dipecat oleh perusahaan. Christian dituduh memanfaatkan fasilitas dan sumber daya Citilink untuk aktivitas politik. Namun dia mengaku tidak sedikit pun fasilitas perusahaan ia pakai untuk kegiatan tersebut.

Di tempatnya bekerja, Christian merupakan seorang pramugara. Tugasnya melayani penumpang pesawat. Tidak ada fasilitas perusahaan yang bisa dipakai buruh jasa pelayanan seperti Christian untuk tujuan berpolitik.

Dirinya hanya ikut berserikat dan mencalonkan diri di salah satu partai politik. Selebihnya, kebanyakan waktu Christian dihabiskan sebagai buruh di Citilink.

Apa yang dituntut penumpang pesawat tak pernah luput Christian lakukan. Mendandani diri sebaik mungkin, bersikap ramah-tamah setiap saat, pandai membuat suasana hangat di berbagai kondisi, hingga memperhatikan pola makan agar ukuran tubuhnya tetap proposional.

Christian harus pintar bersolek agar mata-mata kelas menengah tidak tercemar polusi visual. Satu paket dengan keharusan memiliki kecerdasaan emosional, dirinya dituntut untuk mampu mengendurkan emosi diri dihadapan berbagai sifat penumpang. Tak terkecuali mereka yang terbilang kurang ajar.

Dia mesti mengamalkan keterampilan pekerja afektif (peduli, mendengarkan, menghibur, meyakinkan, memberi senyum) seturut kategori yang oleh Michael Hardt & Antonio Negri kampanyekan. Rasa puas dan kebahagiaan dari konsumen yang akan disandingkan dengan nilai kerja Christian. Hubungan emosional jadi produknya.

Bukan hanya standar operasional prosedur selama jam kerja, Christian juga harus merawat tubuhnya di luar waktu kerja. Tubuh dan mental yang diinginkan pemberi kerja mesti Christian pikul sepanjang hari.

Tidak boleh sembarang memakai alat dan bahan kosmetik, satu biji saja jerawat timbul, pekerja awak kabin harus segera menyembuhkannya. Apalagi penyakit kulit atau segala yang akan menodai beauty standard. Semua pekerja maskapai penerbangan pasti mafhum.

Di Citilink, selama buruh belum diangkat menjadi pegawai tetap mereka tidak boleh menikah. Bahkan selama memakai seragam Citilink, Christian tidak diperbolehkan asal berdiam di sembarang tempat. Setiap awak kabin harus terlihat oleh publik di tempat-tempat yang tidak terlihat kumuh. Hal itu dirasa berkaitan dengan citra perusahaan.

“Gak boleh kita ke tukang batagor, warteg, tapi kalau misalnya kayak ke Hoka-Hoke Bento, McD, KFC masih diperbolehkan” kata Christian.

Sebelumnya para awak kabin juga tidak diperbolehkan menggunakan transportasi umum atau motor pribadi. Mereka dianjurkan untuk naik taksi atau jasa angkutan yang terkesan mewah. Setelah menuai protes dari Asosiasi Cabin Crew Citilink, kebijakan ini berubah.

“Ya kalo dapat upah 20 juta, misalnya transport sebulan 10 juta, ya gak ada bedanya” ujar Christian.

Baginya publik harus tahu, gajinya yang mencapai dua digit itu tergantung pada jam penerbangan awak kabin. Jika awak kabin hanya mendapat 20 jam penerbangan, tunjangannya hanya 2 juta ditambah gaji pokok sebesar 4 juta.

Upah jam penerbangan setiap buruh awak kabin berbeda-beda tergantung pada rentang lama pengabdiannya. Besaran upah jam penerbangan selama Christian di Citilink berkisar Rp 50.000/jam untuk junior dan Rp 100.000/jam untuk senior.

Semakin sedikit jumlah jam penerbangannya, semakin sedikit pula tunjangannya. Sementara ongkos belanja untuk mereproduksi tubuh tidak pernah berhenti. Banyak awak kabin, khususnya pramugari yang harga skincare perbulannya bisa mencapai besaran upah pokok. Karena itu mereka mengandalkan uang tunjangan dari jam penerbangan untuk biaya hidup.

Jam penerbangan itu juga bergantung pada jenis pesawat. A330 Airbus yang dipakai umroh dan naik haji memiliki jam rata-rata 60-70, A320 untuk penerbangan domestik memiliki jam rata-rata 70-80, dan ATR untuk penerbangan kota-kota kecil memiliki jam rata-rata 39.

“Dengan kebutuhan tadi, teman-teman di pesawat kecil itu hampir minus” ujar Christian.

Kalo pun jam penerbangannya tinggi, resiko terkena –para pekerja maskapai suka menyebutnya fatigue– juga sama tinggi. Banyak awak kabin terpaksa mengambil 70 jam lebih penerbangan setiap bulan demi mendapat upah lebih.

“Ini udah diatas capek lah gitu. Sudah linglung. Sudah salah ngomong melulu. Sudah lupa tadi kita habis ngapain” penjelasan Christian mengenai fatigue yang dimaksud.

Kini Christian sudah mulai mengidap penyakit pekerja penerbangan, yakni gangguan pendengaran. Telinga kirinya mulai tidak berfungsi normal. Setahun sekali Christian diingatkan oleh Balai Kesehatan bahwa telinga kirinya sudah rusak jika harus tetap terbang.

Penyebabnya tekanan udara yang berubah cepat setiap kali pesawat lepas landas dan mendarat. Setiap orang yang pernah mencicipi bangku pesawat tahu bahwa telinganya akan sedikit tergganggu pada saat-saat tersebut. Tinggal bayangkan para awak kabin mengalami hal itu setiap harinya.

Bagaimana Dengan Pramugari?

Baik pramugara maupun pramugari harus mematuhi service guide book yang diterbitkan perusahaan. Menjalankan semua ketentuan berpakaian dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Hanya saja bagi pramugari ketentuannya lebih banyak. Mereka harus mengikuti petunjuk merias wajah dari mulai eyeliner, mascara, hairspray, membentuk alis, hingga warna lipstick. Perusahaan pun merekomendasikan brand-brand kosmetik yang membuat tampilan pramugari sesuai dengan seleranya.

“Kebutuhan penunjang kerja seperti make up, skincare, dan parfum tidak ditunjang perusahaan” ujar Anita Kusuma.

Anita kini bermukim di Bogor. Ketika keberangkatan pesawat jam 10 WIB maka Anita harus sudah berangkat paling lambat jam 6.30 WIB karena perjalanan menuju Jakarta diperkirakan menghabiskan waktu 2 jam. Minimal awak kabin harus absen 2 jam sebelum keberangkatan.

Dengan begitu Anita mesti menyiapkan koper dan berdandan sedari jam 4.30 WIB. Secara waktu, pramugari membutuhkan waktu persiapan lebih lama dari pramugara. Ini juga berdampak pada jam istirahat yang diberikan oleh perusahaan.

Biasanya Anita diberi istirahat selama 10 jam setelah penerbangan. Waktu istitahat yang terpakai untuk tidur 4-6 jam, sisanya digunakan bercengkrama dengan keluarga dan berdandan untuk pergi lagi ke bandara.

Jam istirahat memang sudah diatur dalam Civil Aviation Safety Regulation (CASR) tapi belum memperhatikan keadaan pramugari. Dengan total 10 jam istirahat itu sebenarnya bagi pramugari itu belum cukup.

“Pada akhirnya menyebabkan teman-teman awak kabin di pesawat itu mengalami jam kerja berlebih” ujar Anita

Jackie, ketua Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI), mengungkapkan dampak delay pesawat kepada awak kabin khususnya pramugari. Pramugari menghabiskan waktu di ruang tunggu 2-3 jam dan harus memulas kembali make-up-nya kalo saja terjadi delay.

Problem lainnya, jam penerbangan yang dihitung sebagai tunjangan itu dimulai sejak awak kabin masuk dan pintu pesawat ditutup. Ketika delay, berarti 2-3 jam waktu awak kabin terbuang sia-sia.

Belum lagi pelecehan seksual yang marak terjadi pada pramugari. Pelayanan kepedulian yang ditawarkan pramugari terhadap penumpang pesawat sering diartikan lebih dari sebatas kerja.

“Pelecehan seksual ya itu juga mungkin isu nomor satu di dunia penerbangan” ujar Christian.

Tindakan pelecehan seksual itu kebanyakan berbentuk verbal. Bisa keluar dari mulut penumpang bahkan rekan kerja sendiri.

Christian bersama Asosiasi Cabin Crew Citilink pernah mengeluhkan proses ketika pelecehan seksual ini ditindak lanjuti.

Paling banter korban dan pelaku digiring ke polsek kawasan bandara. Kemudian pihak keamanan melempar penyelesaian kasusnya ke otoritas bandara.

Sedangkan setelah sampai pesannya ke pihak bandara, kasus itu bakal dilempar lagi ke pihak airlines.

Setelah umpan-mengumpan tanggung jawab, kasus jadi terbengkalai. Korban kembali bekerja. Kasus menguap dan dianggap sepele. Seolah semuanya harus dinormalisasi sebagai resiko bekerja sebagai pramugari.

Kondisi kerja seperti ini tentunya makanan harian para awak kabin. Memperlakukan awak kabin bukan bagian dari buruh karena besaran upahnya hanyalah pandangan miopik.

 

Penulis: Rokky Rivandy

Editor: Hirson Kharisma