Rabu, 23 Oktober 2024, Komite Hidup Layak (KHL) mengadakan konferensi pers dan diskusi publik “Upah Murah, Biaya Hidup Mahal: Jeratan Rentenir Modern kepada Keluarga Buruh di Enam Sektor Industri”. Meningkatnya jumlah buruh yang terjerat utang dengan upah minim serta kondisi pasar tenaga kerja yang semakin liberal–di mana perusahaan bebas menentukan upah dan sistem kerja tanpa campur tangan pemerintah yang memadai–melatarbelakangi tim KHL untuk melakukan survei mengenai utang rumah tangga buruh.
Acara yang bertempat di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta, Jl. Pangeran Diponegoro No. 74, Menteng, Jakarta Pusat tersebut membedah hasil survei yang dilakukan di delapan wilayah Indonesia.
Dari dokumen hasil riset Komite Hidup Layak (KHL) yang dibagikan kepada Trimurti.id, delapan wilayah tersebut mencakup Kota dan Kabupaten Tangerang, Kota Serang (Banten), Kota dan Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), Kabupaten Sambas (Kalimantan Barat), Kabupaten Morowali (Sulawesi Tengah), Kota Denpasar (Bali), Kabupaten Brebes dan Kabupaten Jepara (Jawa Tengah), Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur).
Ada enam sektor industri yang berpartisipasi dalam survei ini yaitu industri manufaktur, industri ekonomi gig/buruh-ojol, industri penerbangan, industri perkebunan, industri pertambangan, dan industri perikanan.
Survei tersebut menunjukan bahwa dari keenam sektor industri yang berpartisipasi, sebanyak 200 buruh atau 76% dari total 257 buruh yang menjadi narasumber, terjerat hutang. Sementara itu, sebanyak 238 atau sekitar 93% dari total narasumber tersebut mengaku upah yang mereka terima selama satu bulan tidak mencukupi kebutuhan hidup.
Rata-rata upah buruh sebesar Rp3.400.000 per bulan pada tahun 2024. Dari total pendapatan tersebut sebanyak 51,2% atau Rp1.658.333,50 harus dikeluarkan buruh untuk membayar cicilan utang setiap bulan.
Senada dengan hasil survei tersebut, Angga salah satu perwakilan dari Federasi Serikat Pekerja Bandara Indonesia (FSPBI) juga mengungkapkan bahwa banyak awak kabin seperti pramugara dan pramugari juga terjerat hutang untuk membeli kebutuhan penunjang kerja-kerja mereka.
“Maskapai penerbangan melarang pramugari dan pramugara untuk mengendarai angkutan umum atau ojek online. Imbasnya banyak dari mereka yang terjerat utang untuk mencicil kendaraan pribadi,” jelas Angga.
Sementara itu, kondisi buruh di sektor perikanan juga tak jauh berbeda. Muhamad Arif dari Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia juga mengungkapkan banyak calon anak buah kapal (ABK) mesti berutang untuk mendapatkan pekerjaan.
“Dari berbagai pengeluaran yang dikenakan perusahaan, seperti ongkos travel, konsumsi selama di atas kapal, serta kiriman uang ke keluarga, ada uang sebesar Rp5 juta yang mesti dibayarkan ABK di akhir (masa kerjanya kepada penyalur tenaga kerja),” terang Arif.
Untuk dapat bertahan hidup, berbagai strategi dilakukan oleh buruh. Dari pilihan strategi untuk membayar utang yang ditanyakan kepada narasumber, ada tiga cara terbanyak dipilih, yaitu: menambah jam kerja, mengurangi konsumsi, dan berutang kembali. Sisanya diikuti oleh pelepasan aset dan kategori lainnya.
Dari ketiga strategi bertahan hidup tersebut, survei yang dilakukan oleh Komite Hidup Layak mengungkap bahwa ketergantungan ekonomi utang yang tinggi telah mempengaruhi partisipasi buruh dalam organisasi/komunitas berlawan dan/atau protes kolektif.
Antara Membayar Utang dan Mempertahankan Hak
Dalam konferensi pers dan diskusinya, Kokom Komalawati selaku perwakilan Komite Hidup Layak juga menegaskan, akibat terjerat hutang, banyak anggota serikat buruh mesti menambah jam kerja sehingga keterlibatannya dalam agenda-agenda serikat juga berkurang.
“Bagaimana mau aktif di serikat kalau jam kerjanya saja sudah panjang?”, ungkap Kokom.
Kokom menambahkan bahwa persoalan utang pun menjadi salah satu sebab menurunnya militansi buruh dalam menuntut hak dan menurunnya jumlah anggota serikat buruh. Misalnya, ketika buruh terlilit utang maka mereka akan mengambil program pensiun dini yang ditawarkan perusahaan, sehingga anggota serikat buruh berkurang. Contoh lain adalah ketika buruh mendapat ancaman pemecatan dengan kompensasi yang tidak adil, mereka pun tidak bertahan karena harus membayar utang setiap bulan.
Sunar dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) menambahkan salah satu faktor yang menjadi penyebab buruh akhirnya terjerat utang adalah karena kebijakan negara yang tidak berpihak kepada buruh.
“Selain upah yang jauh dari kata layak, berbagai subsidi beberapa tahun ke belakang ini juga diputus oleh pemerintah, di sisi lain pajak listrik dan lain-lain juga ikut naik. Ini yang menyebabkan pengeluaran buruh bertambah, sementara upah tidak cukup. Akibatnya banyak buruh akhirnya berhutang,” jelas Sunar.
Senada dengan Sunar, Kokom juga menegaskan bahwa faktor lain dari maraknya buruh yang berutang ini adalah karena negara juga memfasilitasi kondisi yang memaksa buruh untuk berhutang, salah satunya adalah melalui regulasi.
“2025 itu ada Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA), regulasi ini memaksa buruh untuk berutang,” ungkap Kokom.
Melalui hasil survei yang disebarkan, Komite Hidup Layak mengungkapkan pentingnya melihat masalah utang sebagai persoalan struktural. Untuk itu, menurut mereka, serikat buruh, anggota serikat atau komunitas perlu mencari cara agar anggota serikat tidak terjerat hutang. Komite Hidup Layak juga mendesak negara untuk menyediakan layanan publik dengan memperbesar porsi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan.
Reporter: Abdul Harahap
Editor: Nana Miranda