Trimurti.id, Bandung – “Aa, ini gimana baju buat aku kerja besok?” tanya Vita pada suaminya saat mengetahui barang-barang milik pribadinya diangkut Satpol PP.
“Aduh, Mah, urusan baju mah gampang bisa beli lagi nanti. Sekarang selamatin aja barang yang masih ada,” timpal Agus, sang suami.
“Teh, aku tuh kerja aja atau nggak, ya? Sekarang lagi tanggal 12 Desember, pasti lagi banyak yang order. Terus aku takut upah aku dipotong nanti,” tanya Yuli yang bekerja di salah satu e-commerce kepada Nadhira salah satu kawan yang bersolidaritas pada warga Tamansari
“Iya, jangan dulu atuh, Teh, kalau lagi kayak gini mah. Izin aja dulu ke si bos,” jawab Nadhira.
***
Percakapan di atas terjadi saat momen-momen penggusuran di RW 11 Tamansari, salah satu kampung kota di Bandung, Kamis, 12 Desember 2019. Aparat gabungan dari Satpol PP, Polisi dan TNI berjejer di dekat Taman Film, ditemani ekskavator yang sudah siap meratakan sisa-sisa bangunan warga Tamansari yang masih bertahan.
Tak dinyana, 12 Desember bukan hanya menjadi ingatan pahit bagi korban gusuran. Angka tersebut juga menjadi angka sakral bagi masyarakat overkonsumsi di tengah “perkembangan” ekonomi pasar digital. Sebutlah 12/12 menjadi sesuatu yang disebut Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas).
Meski peristiwa penggusuran itu sudah terjadi seminggu lalu, kedua peristiwa tersebut masih berbekas di ingatan saya. Saat proses penghancuran ruang hidup beserta kenangan warga RW 11 Tamansari, kericuhan sempat terjadi antara warga bersama elemen-elemen solidaritas dan aparat gabungan. Polisi membabi buta menembakkan gas air mata ke arah masjid Al-Islam Tamansari hingga mengenai kabel listrik dan mengakibatkan satu rumah terbakar. Sekitar 25 orang dari jaringan solidaritas ditangkap karena dituduh sebagai perusuh.
Demi memuluskan proyek rumah deret, Pemkot Bandung menggusur warga yang masih bertahan. Lebih buruk lagi, penggusuran ini dilakukan saat persidangan gugatan izin lingkungan di PTUN Jawa Barat masih berlangsung, dan Pemkot Bandung pun mengklaim lahan tersebut hanya berdasarkan akte jual beli Gemeente Bandung (pemerintahan Kota Bandung jaman kolonial).
Akhirnya, penggusuran ini banyak menimbulkan korban: baik luka fisik maupun psikis.
Bertahan di Masjid dan Upah yang Dipotong
Pasca penggusuran terjadi, Yuli dan Dessy tidak bekerja selama empat hari. Mereka mencoba menghubungi sanak keluarga untuk mengabari bahwa rumahnya sudah diratakan oleh ekskavator.
Lalu, bagaimana nasib barang-barang milik pribadi mereka dan warga lainnya? Sebagian besar telah diboyong habis menuju Rusunawa Rancacili. Namun beberapa barang yang masih bisa terselamatkan berkat bantuan dari jaringan solidaritas yang datang. Dengan sigap warga dan jaringan solidaritas menyelamatkan barang yang masih tersisa dari masing-masing rumah warga.
Setelah itu, warga dan solidaritas mendata jumlah korban dan barang-barang pribadi milik warga yang diboyong oleh Satpol PP ke Rancacili. Alhasil, sementara ini mereka bertahan di masjid Al-Islam dan membuka posko darurat dan keran solidaritas berbentuk donasi.
Desember merupakan bulan yang cukup sulit. Kota Bandung sering sekali diguyur hujan lebat. Cuaca pun sulit ditebak, pagi hingga siang bisa sangat panas. Tetapi menjelang sore hingga malam hari hujan bisa sangat lebat. Yuli, Dessy dan beberapa warga lainnya, mulai terserang penyakit seperti batuk, pilek, maupun demam. Secara psikis, mereka sedang terguncang dan tubuh tak mampu beradaptasi dengan cuaca ekstrem akhir-akhir ini.
Rumah biasanya menjadi tempat berteduh, menjalin ikatan sosial dengan tetangga maupun keluarga. Bagi kelas buruh pada umumnya, rumah merupakan tempat beristirahat guna memulihkan tenaga untuk keesokan harinya.
Dessy bekerja menjadi penjaga di salah satu toko pakaian etnik di Balubur Town Square (Baltos). Selain menjaga toko dan melayani pembeli, ia juga dibebankan untuk membuat laporan penjualan sebelum toko tutup. Usut punya usut, sejak 2017, majikannya belum pernah menyodori perjanjian kontrak kerja tertulis. Kontrak di antara mereka sekadar perjanjian secara lisan.
Majikan memberi upah Rp1.500.000,00 untuk sebulan kerja. Upahnya dibayar seminggu sekali. Jika dikalkulasi, dalam sehari ia diupah Rp50.000,00. Bila tak masuk kerja, maka upahnya dipotong. Toko tempat Dessy bekerja hanya memberi satu hari libur dalam tujuh hari kerja.
“Aku kemarin gak masuk empat hari. Ya, kira-kira dipotong segitulah (Rp200.000,00),” tegar Dessy.
Eka dan Fathia
Naiknya eskalasi isu penggusuran paksa di Tamansari, membuat banyak orang dari berbagai kalangan datang. Ada yang memberikan donasi uang, barang, sekaligus dukungan moril kepada warga. Ada pula yang menyisihkan waktu dan tenaganya, membantu alur bantuan posko perlawanan yang warga dan jaringan solidaritas dirikan bersama.
Eka dan Fathia—bukan nama sebenarnya—adalah contoh kecilnya. Mereka adalah buruh dari jenis pekerjaan yang berbeda. Eka bekerja sebagai asisten koki di salah satu hotel berbintang empat di Kota Bandung. Sedangkan Fathia bekerja sebagai administrator keuangan di salah satu desainer fashion busana muslim terkemuka di Kota Bandung.
Awal 2018, setelah mendapatkan informasi terkait seluk-beluk konflik lahan Tamansari di media sosial, Eka berkunjung ke Tamansari. Ia geram dengan banyaknya kasus penggusuran di Kota Bandung (Kebon Jeruk, Jalan Karawang, dan Tamansari). Ia heran dengan kebijakan pemerintah yang bisa menggusur rumah rakyatnya sendiri.
Setahun lamanya ia berkenalan dengan warga dan jejaring solidaritas. Kemudian jatuh cinta pada Tamansari. Ia beranggapan bahwa di Tamansari ikatan kekeluargaan antara warga dan solidaritas sudah sangat erat terbentuk. Hampir setiap acara digelar, ia selalu membantu warga dan solidaritas mempersiapkan acara.
“Karena kerjaan saya tukang masak di hotel. Jadi, bantu di dapur umum aja,” ujar eka saat ditemui Trimurti.id, Jumat, 20 Desember 2019.
Fathia datang ke Tamansari dengan alasan yang sedikit berbeda. Perempuan berumur 23 tahun itu sudah sangat jengkel pada serangkaian tindakan represif aparat kepolisian. Mulai dari aksi #ReformasiDikorupsi hingga penggusuran Tamansari.
Fathia membantu kawan-kawan yang berada di divisi medis. Walau tidak memiliki pengetahuan mendalam soal medis, sambil belajar pada kawan-kawannya, ia tetap hadir terlibat.
Baik Eka pun Fathia, punya cara tersendiri dalam membagi waktu. Eka selalu datang ke posko perlawanan setiap pukul 17.00 sore, bergantian dengan solidaritas lainnya di bagian dapur umum.
“Iya, seneng banget bisa solidaritas. Meski cuma bisa masak aja. Yang penting semua bisa makan di sini,” ucap Eka.
Berbeda dengan Eka, Fathia menyisihkan waktu pada akhir pekan. Ia perlu menyiasati agar studi S1 serta pekerjaannya tetap berjalan. Lantaran waktunya habis di tempat kerja dan kampus, ia menyiasatinya dengan berjualan kaos yang hasil keuntungannya didonasikan untuk perjuangan warga Tamansari.
“Aku kesel banget. Kok susah banget ke posko. Biar gak kesel, aku jual kaos aja, deh, buat donasi,” kata Fathia.
Reporter : Baskara Hendarto & Nadhira
Editor: Dachlan Bekti