Trimurti.id, Bandung – Pasca satu hari perayaan Natal, Kamis, 26/12/19, Massa Rakyat Stasiun Bersatu yang terdiri dari warga korban gusuran Kebon Jeruk, pedagang, buruh ojol (ojek online), buruh ekspedisi, dan buruh sopir angkutan, melakukan aksi demonstrasi ke BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Bandung. Aksi tersebut digalang untuk merespon PT. KAI yang secara mengejutkan memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB No. 877) dari BPN tahun 2017.
Kemunculan sertifikat HGB No.877 itu terbilang sangat janggal. Selain tentang luas tanah yang mencapai 4 hektare lebih, secara hukum yang diatur dalam PP No 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabatan Pembuatan Akta Tanah, menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan atau status sebenarnya mengenai bidang tanah yang bersangkutan, baik yang menyangkut data fisik mengenai bidang tanah tersebut, maupun mengenai hubungan hukum yang menyangkut bidang tanah itu, atau yuridisnya.
Perlu diketahui, warga Kebon Jeruk Jalan Stasiun Timur dan Stasiun Barat (termasuk para warga yang digusur PT. KAI dan Pemkot Bandung tahun 2016) sudah menempati lahan tersebut sejak tahun 1950. Sedangkan UU Pokok Agraria mengatakan bahwa tanah Negara yang sudah dikuasai lebih dari 18 tahun berhak diterbitkan bukti kepemilikannya kepada yang menguasainya untuk pemukiman dan ekonomi.
Persoalan lain pun muncul, seperti penutupan Jalan Stasiun Timur ke arah Stasiun Barat sejak November oleh PT. KAI telah menghancurkan ekonomi buruh ojol, pedagang, buruh ekspedisi dan rakyat miskin lainnya, termasuk juga telah merugikan seluruh warga kota Bandung maupun luar Bandung yang sehari-hari menggunakan jalan tersebut.
Hal tersebut diamini oleh Diko dan Bogi. Diko bekerja sebagai buruh ekspedisi PT. Herona Express terang-terangan menolak kemunculan sertifikat HGB No.877 yang berpotensi bakal menggusur warga Kebon Jeruk.
“Dengan penutupan jalan saja pemasukan dari pengiriman barang sudah berkurang. Kan bisa saja nanti ada pengurangan upah. Pahitnya banyak yang dipecat,” Ujar Diko saat ditemui reporter Trimurti.id
Tak hanya takut akan ancaman kehilangan pekerjaan, walau hanya diupah Rp2.500.000, majikan Diko malah memperpanjang jam kerjanya. Ia mengaku kewalahan; pasalnya bongkar-muat barang adalah pekerjaan yang dilakukan sejak pagi hingga sore hari. Namun kali ini ia juga harus ikut membongkar muatan juga di malam hari, akibat penutupan akses jalan tersebut.
Bogi yang bekerja sebagai buruh ojol pun mengalami hal serupa, pendapatannya menjadi surut akibat penutupan jalan stasiun barat.
“Biasa (baca:penghasilan) bersihnya Rp200.000 ribu se-hari. Sekarang jadi turun soalnya penumpang harus order agak jauh,” Ujar Bogi.
Meski tak mau menyebutkan secara gamblang berapa angka penurunannya, Bogi tetap mau berjuang melawan penggusuran. Baginya, tanah di Kebon Jeruk merupakan ladang mencari penghasilan seperti warga lainnya.
Reporter: Baskara Hendarto
Editor: Yusuf Hadid