Categories
Telusur

Asal Usul Hak Cuti Keluarga

Trimurti.id, Bandung−Ibu-ibu yang menjadi buruh hari ini akan mengingat kejadian satu abad yang lalu. Pasalnya pada 1919, aktivis di seluruh dunia mendesak pemerintah agar mengadopsi kebijakan untuk melindungi ibu-ibu yang bekerja. Mereka meraih kemenangan besar. Pada 29 November 1919, Organisasi Buruh Internasional yang baru lahir mengadopsi Konvensi Perlindungan Maternitas 1919, menyerukan 12 minggu cuti hamil dengan tetap mendapat upah, perawatan medis gratis selama dan setelah kehamilan, jaminan pekerjaan saat kembali bekerja dan istirahat berkala untuk merawat anak-anak yang masih bayi. Beberapa dekade sejak itu, setiap negara maju di dunia telah menetapkan atau melampaui standar internasional ini – kecuali Amerika Serikat.

Bagaimana mungkin pemerintah, pengusaha, dan para pemimpin serikat buruh itu dapat mengajukan aturan yang berpandangan ke depan di abad yang lalu? Tentu bukan karena pilihan mereka, melainkan hasil dari perjuangan kaum feminis dan anggota perempuan di serikat buruh yang menuntut standar kerja yang adil bagi buruh perempuan. Aturan tersebut termasuk pembayaran upah bagi cuti hamil – sebagai masalah keadilan sosial dan keamanan internasional setelah Perang Dunia Pertama.

Perempuan memainkan peran penting saat Perang Dunia Pertama yang menekan seluruh kekuatan militer dan ekonomi. Penjahit yang diupah murah hingga Ibu rumah tangga meninggalkan jarum dan celemek mereka kemudian berangkat mengoperasikan tank dan mengisi meriam. Pekerjaan perang sangat melelahkan, tetapi hasilnya lumayan, dan buruh perempuan bangga melakukan bagian mereka.

Sebagian besar buruh perempuan masih muda, lajang dan tidak memiliki anak, tetapi beberapa di antara mereka telah menikah dengan usia kandungan produktif. Tingginya permintaan buruh perempuan bagi negara-negara yang bertikai merupakan upaya rumit untuk menyeimbangkan pekerjaan produksi dan reproduksi. Di Inggris, beberapa pabrik memindahkan perempuan hamil ke pekerjaan yang lebih ringan agar mereka tetap bekerja sampai melahirkan. Di Perancis, legislatif memerintahkan pabrik menyediakan tempat melahirkan dan istirahat untuk ibu menyusui. Dalam jumlah yang banyak perempuan berbondong-bondong menjadi anggota serikat buruh.

Ketika berita tentang gencatan senjata menyebar pada 11 November 1918, para buruh perempuan dari negara-negara Sekutu berduyun-duyun turun ke jalan merayakan kemenangan karena bantuan mereka. Namun, beberapa bulan berikutnya, sebagian besar buruh perempuan akan diberhentikan dari pekerjaan mereka lalu diganti oleh para veteran perang.

Pada musim dingin 1918-19, hak-hak buruh perempuan tidak lagi penting bagi siapa pun, termasuk bagi pemerintah dan serikat buruh yang sibuk mengamankan “isu delapan jam sehari” bagi buruh laki-laki. Pada Januari 1919, para pemimpin Sekutu melakukan perundingan terbuka sebagai rasa terima kasih pada veteran perang, tetapi para elit serikat yang menjadi penasehat mereka malah mengurus hal yang sepenuhnya maskulin.

Ketika Komisi Perburuhan diumumkan, para aktivis buruh perempuan menunggu untuk meluapkan protes. Di antara yang tidak puas adalah Mary Macarthur, perempuan yang penuh semangat. Mary  merupakan anak dari pedagang pakaian Skotlandia yang kaya. Mary pernah dikirim oleh ayahnya untuk memata-matai asisten tokonya, namun Mary malah mendorong mereka untuk berserikat dan bergabung dengan serikat buruh. Sejak itu Mary mulai menjadi organisator yang ulung. Selama Perang Dunia I, Perdana Menteri Inggris David Lloyd George telah memanggilnya sebagai  penasihat perburuhan pemerintah. Pada Januari 1919, setelah mengetahui bahwa Lloyd George menolak menunjuk seorang perempuan ke Komisi Buruh di Paris, ia mengirimkan telegram dengan nada marah: “Kelalaian untuk berkonsultasi dengan perwakilan perempuan mengenai subjek kebijakan perburuhan internasional membuat para buruh perempuan yang terorganisir menginstruksikan saya untuk meminta penjelasan dengan hormat”.

Perempuan di Perancis dan Amerika Serikat Juga Mulai Protes dan Semakin Terorganisir

Sementara perundingan berlangsung, para feminis Prancis segera mengadakan Konferensi Perempuan Antar-Sekutu di Paris untuk memperjuangkan hak-hak perempuan di meja perundingan. Pada 10 Februari 1919, di hari pertemuan pertama, para feminis Antar-Sekutu bertemu dengan Presiden Woodrow Wilson dan meminta perwakilan dalam semua masalah diplomatik yang berhubungan dengan perempuan, termasuk berkenaan dengan hak pilih, perdamaian, pemerintahan internasional, sampai undang-undang perburuhan.

Untuk menyelesaikan masalah terakhir tersebut, kaum perempuan Antar-Sekutu mengalihkan perhatian ke pemimpin persatuan Prancis Jeanne Bouvier. Bouvier telah memulai pekerjaannya pada usia 12 tahun setelah Phylloxera menyerang tanaman anggur di Prancis selatan. Sementara Ayah Jeanne Bouvier yang bekerja membuat tong anggur harus kehilangan mata pencahariannya dalam semalam. Semasa kecil, dia dikirim ke pabrik sutra untuk menopang kebutuhan keluarga. Kemudian dia pindah ke Paris, bekerja sebagai pekerja rumah tangga, lalu bekerja sebagai pembuat pakaian berupah rendah sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi organisator buruh. Pada 1919, Bouvier setuju membantu mengepalai sub-komite buruh dari Konferensi Perempuan Antar-Sekutu dan menyusun daftar permasalahan buruh perempuan.

Setelah mendengar kabar tentang pengorganisiran perempuan di Paris, Liga Serikat Buruh Nasional Amerika mengirimkan dua organisator utamanya melalui kapal yang melintasi Atlantik; Mary Anderson dan Rose Schneiderman. Mereka sama-sama imigran dengan latar belakang kelas buruh. Anderson berasal dari Swedia dan merupakan pembuat sepatu boot. Sementara Schneiderman lahir di pemukiman Jewish Pale di bawah Kekaisaran Rusia. Schneiderman memulai kariernya sebagai pembuat topi di Lower East Side, New York. Pada 1909-10. Ia memotong giginya ketika seorang pengurus serikat mengawasi pemogokan yang dilakukan dengan keras oleh ribuan buruh perempuan garmen miskin tepat sebelum peristiwa kebakaran yang terkenal, Triangle Shirtwaist Factory. Mereka membawa “Piagam  Buruh Perempuan” di dalam tas yang menjelaskan hak-hak ekonomi dan politik yang diharapkan oleh buruh perempuan Amerika untuk dimasukan dalam perundingan damai.

Sementara Anderson dan Schneiderman perlahan kedinginan melintasi Atlantik (pemanas kapal mereka telah dilucuti selama perang), Bouvier dan sub-komitenya dari belasan feminis Eropa, aktivis serikat buruh, dan sosial demokrat harus berjuang di Paris menguraikan tuntutan utama buruh perempuan. Jam kerja yang lebih sedikit dan fleksibel, upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, peraturan ketenagakerjaan yang seragam untuk laki-laki dan perempuan, juga pembayaran cuti hamil; semuanya ada dalam agenda mereka. Demikian juga jaminan bagi perempuan dalam merumuskan kebijakan perburuhan nasional dan internasional.

Setelah satu bulan melobi tanpa lelah, kaum perempuan Antar-Sekutu akhirnya diundang untuk mengangkat isu mereka di hadapan Komisi Buruh (juga Komisi Bangsa-Bangsa) di konferensi perdamaian. Pada 18 Maret 1919, Presiden Komisi dan Ketua Federasi Buruh Amerika, Samuel Gompers, mengantarkan Bouvier dan rekan-rekannya ke Kementerian Perburuhan Prancis. Di sana kaum perempuan secara gamblang menjabarkan visi mereka tentang standar perburuhan internasional yang adil bagi buruh perempuan.

Sulit untuk mengatakan berapa banyak yang dicapai kaum perempuan. Piagam yang disusun Komisi Buruh, yang diadopsi secara keseluruhan oleh para pembuat perdamaian dan dimasukan ke dalam Perjanjian Versailles, menciptakan sebuah badan permanen baru, Organisasi Buruh Internasional (ILO). ILO ditugaskan untuk menetapkan standar perburuhan yang adil dan setara untuk mengatur kondisi kerja di seluruh dunia. Dari tuntutan perempuan, piagam tersebut mengesahkan prinsip upah yang sama untuk pekerjaan yang sama, dan itu menempatkan permasalahan cuti hamil dalam agenda sidang pertama ILO, yang akan diadakan di Washington akhir tahun itu.

Terdapat isu utama apakah perempuan dapat terlibat dalam perumusan  kebijakan di Konferensi ILO. Namun Komisi Buruh menolak untuk mengambil sikap. Alih-alih memanggil perempuan sebagai delegasi konferensi, konferensi itu hanya merekomendasikan  bahwa perempuan ditunjuk sebagai “penasehat” yang tidak memiliki hak suara sebagai delegasi nasional untuk menjawab permasalahan yang muncul “secara khusus mempengaruhi perempuan”. Karena tidak ada satu pun dari 40 negara bagian yang mengirim delegasi ke Konferensi ILO, akhirnya ILO memberikan hak suara hanya kepada seorang delegasi perempuan.

Perempuan mengetahui bahwa pengecualian tersebut bermasalah. Untungnya, buruh feminis Amerika memiliki rencana. Setelah mendengar laporan Anderson dan Schneiderman tentang semua yang terjadi di Paris, Liga Serikat Buruh Nasional Perempuan Amerika mengeluarkan seruan kepada anggota serikat buruh perempuan dan sekutu mereka di 44 negara, mengundang mereka ke Washington untuk berpartisipasi dalam Kongres Internasional Buruh Perempuan yang pertama. “Sudah waktunya,” kata mereka, “buruh perempuan mengambil tanggung jawab dalam persoalan dunia.”

Sebagai tanggapan, lebih dari 200 perempuan dari Eropa, Asia, dan Amerika Utara dan Selatan turun ke ibu kota pada akhir Oktober 1919. Jeanne Bouvier menjabat sebagai delegasi yang menonjol dari Prancis. Mary Macarthur datang dari Inggris dengan putrinya yang masih bayi. Tanaka Taka, seorang Profesor tentang sosial-perburuhan dari Universitas Perempuan di Tokyo, sedang hamil empat bulan ketika bepergian jauh dengan kapal dari Jepang. Bouvier, Macarthur dan Tanaka adalah tiga orang perempuan yang melaksanakan tugas ganda sebagai delegasi untuk kongres perempuan dan sebagai penasihat tanpa hak suara untuk delegasi negara-negara mereka di konferensi ILO.

Cuti melahirkan telah menjadi agenda ILO. Itu juga masalah keprihatinan aktivis perempuan yang memahami dengan baik bahaya yang ditimbulkan kehamilan bagi buruh perempuan.

Pada 1919, banyak negara Eropa mengadopsi undang-undang yang mensyaratkan cuti hamil tiga- empat minggu tanpa upah, membuat keluarga buruh miskin dengan bayi yang baru lahir dalam kesulitan ekonomi yang mengerikan. Sub-komite buruh Bouvier di Paris telah membahas undang-undang ini dengan dua dokter perempuan, keduanya bersikeras bahwa perempuan yang bekerja membutuhkan istirahat minimum enam minggu sebelum dan setelah kehamilan, dan bahwa cuti harus dengan tunjangan yang mencukupi pemenuhan dan pemeliharaan Ibu dan anak.

Atas dorongan Bouvier, Kongres Internasional Buruh Perempuan  mendukung rekomendasi para dokter. Dengan satu tujuan, kaum buruh perempuan kemudian akan bertarung di ILO. Di sana mereka berdebat sengit untuk mendapat pengakuan 12 minggu cuti hamil dan upahnya sebagai kebutuhan medis dan hak sosial.

Delegasi pengusaha menunggu waktu menyampaikan keluhan mereka ke ILO. Kebanyakan ahli medis dan para delegasi, yang notabene laki-laki, bersikeras mendukung gagasan bahwa yang terbaik bagi buruh perempuan untuk terus bekerja sebelum melahirkan. Mary Macarthur membantah, jika pengusaha benar-benar percaya dengan gagasan itu, mereka akan mengirim istri-istri pengusaha tersebut ke pabrik-pabrik untuk melihat dampak kesehatan dari kerja berat dalam keadaan hamil sembilan bulan. Pengusaha laki-laki tidak banyak menawarkan tanggapan. Pada hari terakhir konferensi ILO, secara  mayoritas mengadopsi Konvensi Perlindungan Maternitas 1919, artikulasi pertama tentang kondisi kerja yang aman dan adil bagi para ibu yang bekerja di seluruh dunia.

Sesaat setelah persetujuan tersebut, tidak ada negara di dunia yang mengadopsi standar ILO. Negara-negara Eropa dan Amerika Latin mulai menandatangani konvensi pada 1920-an dan 1930-an. Setelah Perang Dunia II, banyak negara Asia dan beberapa negara Afrika yang baru merdeka mengikutinya. Pada 2018, 33 dari 34 negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, menjamin cuti yang dibayarkan kepada para ibu yang bekerja. 32 dari 34 negara memberikan jaminan cuti berbayar untuk ayah yang bekerja. Sampai hari ini Amerika Serikat tetap merupakan pengecualian.

Negara-negara di seluruh dunia mengadopsi cuti hamil berbayar, dan juga cuti ayah, untuk alasan ideologis dan pragmatis. Beberapa menekankan tanggung jawab pemerintah untuk kesejahteraan warganya. Lainnya bertindak lebih pada keprihatinan praktis tentang pemulihan ekonomi dan demografi setelah kehancuran dua perang dunia.

Di Amerika Serikat, tidak seperti kebanyakan negara lain, tunjangan kehamilan berkembang sebagai hak khusus dan bukan sebagai hak. Hari ini, lautan perbedaan memisahkan para profesional massa buruh kerah biru perusahaan Fortune 500, yang menikmati kebaikan dari hak cuti hamil, dan buruh jasa yang mengambil cuti tanpa dibayar berdasar Family Medical Leave Act. Didorong oleh kebutuhan ekonomi, hampir seperempat buruh perempuan Amerika kembali bekerja kurang dari dua minggu setelah melahirkan, dengan mengorbankan kesehatan dan anak-anak mereka dalam proses tersebut.

Pada 1919, para feminis Amerika dan Eropa memimpin perjuangan global untuk cuti hamil dengan tetap dibayar upahnya sebagai standar dasar keadilan sosial. Pada 2019, beberapa generasi keluarga buruh di seluruh dunia telah menuai manfaat dari upaya mereka. Sedangkan di Amerika Serikat, perjuangan seabad lebih itu kini masih terus berlanjut.[]

Bacaan lanjutan: Eileen Boris, Dorothea Hoehtker and Susan Zimmermann, eds., “Women’s I.L.O.: Transnational Networks, Global Labour Standards, and Gender Equity, 1919 to Present”; Eileen Boris, “Making the Woman Worker: Precarious Labor and the Fight for Global Standards, 1919-2019”; Dorothy Sue Cobble. “A ‘Higher Standard of Life for the World’: U.S. Labor Women’s Reform, Internationalism, and the Legacies of 1919,” Journal of American History, (March 2014): 1052-85; Mona L. Siegel, “Peace on Our Terms: The Global Battle for Women’s Rights after the First World War.”

(Artikel ini diterjemahkan bebas oleh Ade Ibrohim dari Mona L. Siegel. The Forgotten Origins of Paid Family Leave. The New York Times, 29 November 2019. Tersedia: https://www.nytimes.com/2019/11/29/opinion/mothers-paid-family-leave.html, diunduh pada 12 Desember 2019)

Mona L. Siegel

Dr. Siegel adalah profesor sejarah di California State University, Sacramento, dan penulis “Damai dalam Bahasa Kami: Pertempuran Global untuk Hak-Hak Perempuan Setelah Perang Dunia Pertama.”

Penulis: Ade Ibrohim

Editor: Yusuf Hadid