Categories
Telusur

Tak Becus Tangani Virus Corona, Pemerintah Malah Memperdalam Krisis.

Trimurti.id, Bandung, [Kamis, 2 Maret 2020] –  Lewat unggahan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 30 Maret 2020, Presiden RI Joko Widodo mengatakan dengan menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk mengefektifkan penanganan wabah virus corona (Covid 19).

Semula Presiden Joko Widodo melempar kemungkinan untuk memberlakukan darurat sipil, yang merujuk pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang keadaan bahaya. Padahal, Pasal 1 Perppu itu menyebutkan tiga syarat yang harus dipenuhi bagi Presiden untuk menetapkan Indonesia dalam keadaan bahaya untuk sebagian atau seluruh wilayahnya.

Syarat Pertama, keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; Kedua, timbul perang atau bahaya perang di wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga. Ketiga,  hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.

Usul ini dikritik oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan karena berpotensi bermasalah dalam hal penggunaan kewenangan. Ibarat mengembalikan supremasi kekuasaan pada kalangan militer. Dalam situasi itu, penguasa darurat sipil berhak menyuruh polisi menggeledah tiap tempat dengan surat perintah istimewa (pasal 14), memeriksa dan menyita barang (pasal 15), membatasi komunikasi, berita dan informasi (pasal 17), rapat umum (pasal 18), dan membatasi orang berada di luar rumah (pasal 19).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan meminta Jokowi tetap mengacu kepada UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, bukan darurat sipil.

Meski darurat sipil urung berlaku, sejak Senin kemarin, 30 Maret 2020, pemerintah kota Bandung sudah melakukan penutupan beberapa ruas jalan di kota Bandung. Aparat kepolisian diturunkan untuk memantau titik-titik kerumunan seperti bank, mall, hotel dan kantor pemerintahan. Dengan alasan guna menekan penyebaran Covid-19, mereka menyuruh orang-orang berdiam diri di rumah.

Lain lagi tanggapan dari Indonesia Police Watch (IPW) yang meminta jajaran kepolisian, alih-alih mengatasi virus corona yang kian menelan korban, untuk mengantisipasi situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), termasuk kemungkinan aksi penjarahan di pertokoan dan rumah orang kaya

Meski paham bahwa kebijakan darurat sipil dan social distancing akan berdampak bagi pekerja harian dan buruh serabutan,  yang akan semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup apalagi menjelang Ramadan dan Lebaran, Neta Pane dari IPW justru lebih mengkhawatirkan penjarahan.

“Bisa-bisa yang muncul adalah aksi penjarahan, yang tidak hanya ke areal pertokoan tapi juga ke rumah orang orang yang dianggap kaya,” ujarnya pada Senin, 30 Maret 2020.

Akhirnya, pada keesokan harinya, Selasa, 31 Maret 2020, dari Istana Bogor Presiden RI Joko Widodo menyampaikan keputusannya. Pemerintah akan menyiapkan beberapa paket bantuan kepada masyarakat terdampak pandemi corona atau Covid-19. Enam paket bantuan akan segera diluncurkan, meliputi: Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Kartu Prakerja, Diskon dan Tarif Listrik Gratis, Antisipasi kebutuhan Pokok, serta Keringanan Pembayaran Kredit.

Namun demikian, ada beberapa hal yang harus dicermati oleh kaum buruh. Pemberian Kartu Sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH) tidak akan banyak meringankan beban ekonomi buruh. Memang, jumlah penerima manfaat Kartu Sembako ditambah, dari 15,2 Juta menjadi 20 Juta. Nilai bantuan juga dikerek naik sekitar 30 persen menjadi Rp200 Ribu dan bantuan akan diberikan selama sembilan bulan. Namun, jangankan untuk memenuhi kebutuhan pangan bulanan satu keluarga buruh, untuk buruh lajang pun tak mencukupi. Apalagi jika buruh bersangkutan tidak punya pendapatan gara-gara dipecat majikan.

Persoalan sama juga terjadi pada bantuan melalui Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan Rp 3 juta per tahun untuk ibu hamil, dan Rp. 3 Juta per tahun untuk anak usia dini, kelompok difabel Rp2,4 juta per tahun; masih jauh dari memadai di tengah situasi ekonomi yang memburuk ini. Pemerintah sampai pada hitungan itu karena keliru memperhitungkan kebutuhan harian rakyat dan memukul rata kebutuhan hidup orang.

Menjelaskan tentang keputusan terbaru ini, Presiden Joko Widodo menegaskan kebijakan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 akan berfokus pada tiga hal. “Pertama kesehatan masyarakat;  Kedua, penyiapan jaring pengaman sosial agar mampu memenuhi kebutuhan pokok dan menjaga daya beli masyarakat. Ketiga menjaga daya usaha, utamanya mikro dan menengah agar bisa menjaga penyerapan tenaga kerjanya,” ujar Presiden pada konferensi tersebut.

GEBRAK Serukan Lockdown Pabrik dan Tolak Omnibuslaw

Di tengah situasi yang sulit ini, tepat pada Senin, 31 Maret 2020 kemarin. Ketua DPR RI Puan Maharani dan para anggota fraksi DPR melakukan sidang terbatas membahas soal penanganan Covid-19 dan membicarakan kemungkinan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang ditentang banyak serikat buruh.

Sementara itu, melalui siaran persnya pada Minggu, 29 Maret 2020 di Jakarta, Gerakan Buruh bersama Rakyat (GEBRAK) melancarkan kritik atas kebijakan pemerintah dalam menanggulangi penyebaran Covid-19  yang, pada aspek kesehatan maupun sosial-ekonomi, justru menyodorkan kelas buruh Indonesia sebagai tumbal dari situasi hari ini.

Pada aspek kesehatan, pemerintah lalai dalam mencegah dan menanggulangi krisis Covid-19. Alih-alih menyiapkan tenaga medis, fasilitas kesehatan, dan obat-obatan, Presiden Joko Widodo justru memulai tahun ini dengan menggencarkan upaya pemiskinan kelas buruh lewat Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Cilaka). Akibat kelalaian ini, rata-rata tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 7-9 persen, termasuk tertinggi di dunia.

Mengenai aspek ekonomi, pos aduan yang dibuka Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) mencatat, hingga 25 Maret 2020, lebih dari 110 pekerja lepas yang kehilangan pekerjaan akibat krisis Covid-19 ini.

“Mereka dalam kondisi sulit karena tetap harus membayar tagihan dan kebutuhan pokok sementara tidak ada pekerjaan. Para pekerja lepas berharap ada kebijakan yang membela mereka dalam kondisi krisis ini,” ungkap Ketua Pengurus Harian SINDIKASI Ellena Ekarahendy.

Di tengah ekonomi yang lesu serta marakya pemotongan upah dan pemecatan yang sewenang-wenang, pemerintah dianggap melindungi pengusaha, dengan dalih penanggulangan krisis.

GEBRAK menilai, Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 (tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19) membuka peluang bagi pengusaha untuk melakukan pemotongan upah membuka peluang untuk pemotongan upah. Surat edaran itu mengizinkan adanya perubahan besaran dan waktu pembayaran upah, sesuai kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh. Karena posisi tawar yang tidak seimbang antara pengusaha dengan buruh, surat edaran tersebut akan berujung pada pemaksaan keinginan oleh pengusaha dan buruh harus menerimanya.

“Buruh kembali dikorbankan dalam menanggung dampak perlambatan ekonomi. Padahal berbagai stimulus dan kemudahan telah diberikan oleh pemerintah kepada pengusaha sejak Paket Kebijakan Ekonomi 2015, keringanan pajak hingga stimulus ekonomi dalam masa krisis Covid-19. Semua kebijakan  tampaknya hanya memberikan manfaat bagi pengusaha namun tidak memberi manfaat bagi kaum buruh,” ungkap Ketua Nasional Konfederasi Serikat Nasional (KSN) Hermawan Hari Sutantyo.

GEBRAK juga menyorot tingginya risiko terinfeksi Covid-19 akibat kelangkaan alat pelindung diri. GEBRAK juga mengapresiasi perjuangan para tenaga medis yang telah merawat ribuan pasien Covid-19. Hingga Sabtu (28/3), setidaknya sembilan dokter meninggal dunia, dan di Jakarta setidaknya 61 tenaga medis terinfeksi Covid-19. Kegagalan pemerintah menyediakan alat pelindung diri merupakan salah satu penyebab utama tingginya tingkat penularan yang dialami tenaga medis.

Di saat bersamaan, rakyat kesulitan memperoleh masker ataupun hand sanitizer yang menghilang dari pasar akibat akibat ulah para spekulan rakus yang mengeruk keuntungan dari situasi penuh keprihatinan ini. Melihat banyaknya pabrik yang terus beroperasi, dan memaksa buruh bekerja seperti biasa, tanpa diberikan perlindungan diri, GEBRAK tidak melihat ada upaya tegas dari pemerintah untuk menghukum perusahaan yang mengabaikan keselamatan buruh.

GEBRAK menyerukan kepada seluruh buruh agar melakukan tekanan terhadap perusahaan agar mengurangi proses produksi untuk mengurangi resiko penularan Covid-19, dengan tetap membayarkan penuh hak-hak buruh.

Penulis : Rendra Soedjono

Photos : twitter.com