Categories
Telusur

Suara Perempuan Bandung Desak Kepolisian Membuat Pernyataan Untuk Tidak Melakukan Tindakan Kekerasan tehadap Demonstran.

Trimurti.id, Bandung, 10 Oktober 2019 –  Sulit membayangkan perasaan sedih dan marah dari para ibu melihat anak-anak menjadi korban tindak kekerasan aparat kepolisian. Terlebih jika anak-anak mereka memprotes kebijakan negara yang sewenang-wenang.

Sebagaimana banyak  diberitakan, pada 23, 24 dan 30 September 2019 lalu gelombang protes marak di berbagai kota di Indonesia. Protes diikuti oleh para mahasiswa, pelajar, buruh, tani, hingga kaum miskin kota. Mereka memprotes sejumlah rancangan undang-undang yang dinilai merugikan rakyat, diantaranya RUU KUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan; sementara DPR tak kunjung mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Selanjutnya, media sosial dibanjiri berita, photo, bahkan video yang merekam kekerasan aparat terhadap para demonstran.

Hal inilah rupanya yang mendorong sekelompok massa, menamakan dirinya Suara Perempuan Bandung, siang ini melancarkan demonstrasi di Taman Vanda, yang letaknya berseberangan dengan kantor Polrestabes Bandung, di Jalan Merdeka, Bandung. 

“Saya mah sakit hati ngeliat kelakukan polisi yang mukulin anak-anak muda waktu kemarin demo depan gedung DPRD Provinsi Jawa Barat. Sok’ sama ibu-ibu polisi bayangin kalo anaknya dipukulin, ditembak gas air mata gitu, emang ibu mau?” Ujar seorang ibu yang menyampaikan orasinya pada para Polisi Wanita (polwan) berjaga. Para polwan pun hanya terdiam mendengar orasi dari ibu tersebut.

Seperti tertulis dalam rilisnya, Suara Perempuan Bandung mengungkapkan,  kekerasan aparat yang terjadi di Bandung pada 23, 24 dan 30 September 2019 membuat hati mereka remuk.  Massa aksi yang menyuarakan keresahannya malah digempur gas air mata dan peluru karet, dan banyak korban terluka berjatuhan. Mereka mengecam keras pula penyerangan terhadap pos bantuan medis di Lapangan Gasibu, Bandung, yang pada demonstrasi tanggal 30 September 2019 ditembaki dengan gas air mata.

Vini, salah seorang peserta aksi, menjelaskan bahwa aksi hari ini digalang sebagai bentuk solidaritas terhadap korban kekerasan aparat kepolisian pada saat aksi tanggal 23, 24, 30 September 2019. Vini bersama Suara Perempuan Bandung membawa tiga tuntutan, diantaranya :

  1. Pernyataan tertulis dari Kapolres Bandung untuk tidak lagi melakukan tindakan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap siapapun yang menyampaikan pendapat. Sebab, siapapun yang menyampaikan pendapat dilindungi dalam UU 1945 dan UU No. 9 Tahun 1998.
  2. Pihak sekolah dan pihak kepolisian untuk mengembalikan hak menyampaikan pendapat pada pelajar sekolah, baik tingkat SD, SMP, SMA dan Pendidikan Tinggi di Kota Bandung,
  3. Bentuk tim independen untuk menginvestigasi dan mengadili aparat pelaku kekerasan!

“Kami rasa di sini tuntutan yang wajar. Dan kami berangkat dari pandangan yang sama, (Red: mengecam tindak kekerasan aparat), kami juga tidak ditunggangi partai politik apapun.”

Mengakhiri penjelasannya, Vini berkata, “Perlu kami tegaskan, tidak ada agenda untuk menurunkan presiden.”

Sekitar pukul 13.00, massa aksi Suara Perempuan Bandung mengirimkan naskah surat perjanjian kepolisian dengan rakyat. Surat tersebut berisi pernyataan bahwa aparat kepolisian untuk tidak melakukan tindakan kekerasan kepada siapapun yang mengungkapkan pendapat di muka umum dan mengembalikan hak menyampaikan pendapat pada pelajar.

Pada pukul 13.30, massa aksi bergerak ke depan halaman kantor Polrestabes Bandung, menunggu surat perjanjian ditandatangani oleh Kapolrestabes Bandung. Mereka dilarang memasuki area kantor Polrestabes, dengan alasan keamanan. Selama hampir dua jam massa tetap bertahan meskipun sempat turun hujan.

Menjelang pukul 15.00, petugas kepolisian menemui massa aksi, menjelaskan bahwa kepolisian membutuhkan waktu lebih banyak untuk memproses surat perjanjian tersebut. Massa aksi Suara Perempuan Bandung kemudian membubarkan diri.

Reporter : Rendra Soejono