Trimurti.id, Bandung, 16 November 2019 – Revi bukannya tak menyadari pandangan negatif tentang Sales Promotion Girls (SPG). Buruh SPG sering diremehkan sebagai hanya menjual kecantikan saja. Banyak orang menggap SPG “bisa dipake” atau “setelah bekerja bisa dibawa ke hotel”.
Tapi stereotipe yang tumbuh subur di benak masyarakat ini tidak menghalanginya untuk melamar pekerjaan sebagai SPG pada 2017. Motif uang, tentu ada. Mahasiswi sebuah universitas negeri terkenal di Bandung ini setiap bulan menerima kiriman uang saku dari orangtuanya di Tasikmalaya. Tapi, biaya hidup di Bandung relatif tinggi. “Yang aku pikirin tuh, gimana cara dapet duit yang cepet, banyak dan fleksibel.” Maksudnya, jam kerjanya bisa disesuaikan dengan jadwal kuliah.
Ditemui di sebuah kedai di Bandung, Jum’at, 15 November 2019, Revi (21 tahun) menceritakan pengalamannya saat melamar kerja sebagai SPG dulu. Berbekal informasi dari seorang teman, yang pernah bekerja sebagai SPG, Revi melamar melalui sebuah agen penyalur. Revi menganggap dirinya berpenampilan cukup menarik. Memenuhi syarat untuk melamar. Hidup merantau jauh di Bandung memberinya semacam kebebasan untuk mengambil keputusan, tanpa kuatir disembur omelan orangtua.
Singkat cerita, Revi menjalani wawancara, kemudian dijanjikan pekerjaan tiga bulan. Mulailah dia terheran-heran menyaksikan berbagai keganjilan. Seorang teman, yang sebenarnya sudah pernah bekerja di situ, juga diharuskan untuk melamar ulang. Keheranannya bertambah saat melihat kondisi kerja SPG.
Saat istirahar kerja, dia bercakap-cakap dengan SPG senior yang sudah lebih berpengalaman. Mengeluhkan sulitnya menjual suatu jenis produk, kue coklat isi kurma. Mereknya, sebut saja, Legi.
SPG senior itu menyahut, “Oh, jual cokelat (isi) kurma. Gampang itu mah, kamu tinggal cari aja bapak-bapak yang jenggotan. Nah, biasanya mereka tuh suka sama cewek-cewek yang (pakaiannya) agak terbuka,”.
Tak jarang juga SPG senior menyarankan para pemula agar melepas stocking, memakai hot pants dan merias wajah semenarik mungkin. Agar banyak customer tertarik dengan produk yang ditawarkan.
Tugas SPG tidak sekedar menawarkan produk, mereka harus juga memberikan informasi informasi tentang produk beserta kelebihannya. Ada kalanya SPG ditugaskan berjaga di gerai toko ritel dan mencatat penjualan produk per hari. Kebetulan saja saat itu dia ditugaskan memasarkan kue merek Legi. Lain waktu mungkin memasarkan produk yang lain.
Tim kerja Revi terdiri atas enam orang. Lima SPG perempuan dengan satu tim leader laki-laki. Tugas team leader mengawasi anak-buah, memantau penjualan dan menjadi penghubung ke agen.
Revi bekerja hanya pada akhir minggu, Jum’at sampai Minggu. Waktu kerja dibagi dalam dua shift, pagi (07.00-14.00) dan siang (13.00-2100). Upahnya diperhitungkan seperti buruh harian lepas, Rp. 130 Ribu per hari. Hitung punya hitung, andaikan dia bekerja 12 hari dalam satu bulan dan tidak dikenai potongan upah, dalam satu bulan dia bisa mengantungi uang Rp. Rp. 1.590.000,-.
Rentan dilecehkan.
Menurut Revi, industri jasa ini sangat rumit. Bisa saja SPG melakoni suatu masa kerja pendek, sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja tertulis. Revi sendiri, usai lolos seleksi, langsung diberi pengarahan. Tanpa menandatangani kontrak kerja.
Lain lagi ceritanya dengan SPG freelance. Mereka yang dipekerjakan sesekali pada event pemasaran tertentu saja dan diupah sebagaimana buruh harian. SPG freelance direkrut melalui iklan di media sosial dengan proses yang singkat.
Iklan SPG hampir pasti mensyaratkan pelamar lulusan SMA (18 tahun) berpenampilan menarik. Syarat lebih khusus kadang diminta: cantik, putih, dan berwajah oriental. Ada pula agensi mensyaratkan tinggi badan minimal tertentu. Di dunia SPG ada ungkapan, semakin terkenal dan semakin mahal harga suatu produk, syarat untuk SPG juga semakin sulit juga.
Karena penampilan menarik dan usia muda merupakan syarat utama, agensi jarang melirik calon yang sudah berkeluarga, punya anak, atau sudah berumur 30 tahun lebih. Dianggap tidak menarik perhatian konsumen dan tidak produktif. Masih mungkin untuk diterima, sebagai SPG untuk produk kebutuhan rumah tangga, seperti susu formula dan popok bayi.
Kalau ditilik dari istilahnya, SPG sebenarnya hanya bertugas mempromosikan produk. Kenyataannya, mereka dikenai target penjualan. Meskipun targetnya, menurut Revi, tidak tinggi. Namun, kalau target meleset, upah dipotong.
Peraturan ini berlaku cukup umum untuk produk apapun. Konon, soal target penjualan ini merupakan celah yang dimanfaatkan agensi busuk untuk menjerumuskan SPG ke bisnis prostitusi. Dari teman-teman sekerjanya Revi mendengar desas-desus tentang SPG produk rokok dan bir yang dipaksa menjual diri, ketika target penjualan tidak tercapai.
Dari pengalamannya Revi melihat bagaimana SPG tak hanya mendapat cap buruk. Mereka sering menjadi korban pelecehan seksual. “Waktu itu pernah sih, ‘kan kalo ketemu konsumen harus salam. Pas lagi salam bapak itu suka nyolek gitu lah.”
Revi sudah berhenti bekerja. Baginya pengalaman dua tahun yang lalu memberinya pandangan baru soal dunia kerja beserta lika-likunya.
“Ya, pas abis kerja tiga bulan. Terus aku gak dihubungi lagi sama agensi.”
Reporter : Baskara Putra Hendarto
Editor : Soetomo