Trimurti.id, Cianjur – Hawa dingin yang merayap dari kaki Gunung Gede Pangrango tak mampu mengusir jelaga kegelisahan warga yang berkumpul di rumah Badar sore itu. Gelas kopi dan asbak penuh puntung rokok berserakan di atas karpet yang membalut lantai. Nada suara mereka terdengar seperti senewen saat membahas rencana pembangunan Pembangkit Listrik Panas Bumi yang dikhawatirkan menggusur lahan pertanian mereka.
Di tengah perbincangan, tiba-tiba Badar menyodorkan lempengan pelat kotak berwarna emas yang ditemukan di lahan milik sanak saudara Badar di perbatasan wilayah hutan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan lahan pertanian di Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Tertulis di pelat itu kode perusahaan: “PT DMGP – BM PG 06 – PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP)”.
“Pelatnya diumpetin di dalem patok. Untung ketahuan sama warga,” ujar Badar dengan nada suara menggebu, Jumat, 11 Agustus 2023.
Penemuan patok milik perusahaan geothermal itu terjadi sehari sebelumnya. Puluhan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gunung Gede Pangrango (AMGP) memergoki seorang pekerja tengah memasang dua buah patok kayu berbentuk ceker ayam. Mulanya, pekerja itu tak mengakui bahwa pemasangan patok berkaitan dengan proyek geothermal. Sesudah didesak warga, ia baru mengakui sebagai utusan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMPG) yang diperintah untuk mendirikan patok-patok tersebut.
Di dalam patok itulah warga menemukan lempengan pelat kotak berwarna emas milik PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Sang pekerja utusan perusahaan yang sudah kehilangan muka di depan warga, akhirnya membongkar dua buah patok secara mandiri.
Akibat peristiwa itu, Badar sempat bersitegang dengan sanak-saudaranya yang semula jelas-jelas menolak proyek geothermal. Badar khawatir sanak-saudaranya telah menerima uang ganti rugi pembebasan lahan.
Desas-desus mengenai uang ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp120.000 meter yang dijanjikan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), sudah berembus kencang di kalangan warga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya bahkan sebelum gempa bumi mengguncang Kabupaten Cianjur tahun 2022. Badar khawatir, proyek geothermal akan segera dikebut tanpa mempedulikan nasib masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Sebelum insiden pemasangan patok perusahaan, pada Februari 2023, iring-iringan mobil jeep yang mengangkut rombongan Sekretaris Daerah Pemkab Cianjur Cecep Alamsyah, pihak kecamatan Pacet, dan Direksi PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) R.M Rudi Junaidi meninjau lokasi Jalan Ciguntur, Desa Cipendawa yang akan dilalui proyek geothermal. Peristiwa ini berlangsung tanpa sepengetahuan warga.
Di waktu yang berbeda, Bupati Cianjur Herman Suherman menerbitkan surat keputusan nomor 620/KEP.219-SETDA/2023 tentang Pembentukan Tim Pendamping Pembebasan Lahan, Pelebaran, Perbaikan, dan Perkerasan Jalan Akses Kegiatan Eksplorasi Panas Bumi Jalan Ciguntur Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet.
Masalahnya, SK Bupati itu terbit saat rencana proyek geothermal masih terasa sumir dan belum mendapatkan persetujuan sepenuhnya dari warga. Tak sulit menduga jika peninjauan lokasi Jalan Ciguntur itu ditujukan untuk menyokong Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), yakni sebagai pengerjaan proyek tahap pertama pelebaran jalan dan pembangunan terminal pemberhentian alat-alat berat yang akan beroperasi di sekitar lokasi pembangunan PLTP.
Proyek tahap pertama ini disinyalir akan mencaplok lahan seluas 5-6 hektare di perbatasan wilayah konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan lahan pertanian di Desa Cipendawa, Kabupaten Cianjur.
Sebagai catatan, ini bukan kali pertama PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) melancarkan aksinya di kaki gunung Gede Pangrango. Beberapa waktu sebelumnya, anak perusahaan Sinar Mas Group milik keluarga konglomerat Eka Tjipta Widjaja ini sempat melakukan pengukuran ketinggian tanah dengan alat theodolit dan pemetaan luas wilayah dengan drone. Lagi-lagi, kedua kegiatan itu diketahui warga. Lantaran cukup mengganggu, warga meminta pekerja utusan perusahaan segera enyah dari kaki gunung Gede Pangrango.
Pembahasan di rumah Badar soal patok milik PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) perlahan surut. Terang berganti gelap. Suara azan isya berkumandang. Suhu udara kian mendingin. Dari dapur, istri Badar dan beberapa warga membawa bakul nasi lengkap beserta lauk pauknya.
Menu makan malam itu cukup sederhana: nasi liwet, teri goreng, kentang rebus, serta lalapan sawi putih yang dialasi sebuah daun pisang. Badar sangat lahap menyantap masakan dari sang istri tercinta. Namun ia sadar bila proyek Pembangkit Tenaga Listrik Panas Bumi berdiri di Gunung Gede Pangrango, sambal pedas yang cabainya ia petik dari kebun sendiri mungkin tinggal kenangan.
“Mending makan sambal atau uap (geothermal) sok?” ujar Badar sembari meringkus sisa sambal dan nasi liwet di hadapannya.
Sontak kelakarnya itu membuat warga terkekeh.
“Bukan uap pak haji, tapi makan listrik. Sok, gimana kurang ngeri coba?” balas Arif, salah seorang pemuda yang hadir di pertemuan itu.
Tawa bernada getir kembali menggelegar di ruang tamu rumah Badar.
Basa-basi Sosialisasi
Pada November 2022, gempa berkekuatan 5,6 Magnitudo mengguncang wilayah Kabupaten Cianjur dan sekitarnya. Bangunan-bangunan hancur, jalur transportasi antarwilayah terputus, aliran listrik dan komunikasi mati, korban jiwa berjatuhan tertimpa reruntuhan material bangunan, masyarakat mengungsi di tenda-tenda pengungsian. Kabupaten berjuluk Kota Tauco berduka.
Gempa susulan, kendati berkekuatan lebih kecil, terus terjadi hampir sekitar satu bulan lamanya. Kekhawatiran masih menyelimuti masyarakat Cianjur. Namun, di dalam gelap suasana pascagempa, mereka mencoba bangkit dan pulih dari trauma atas bencana yang mendera. Begitu pula warga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya.
Pada Desember 2022, Arif, orang muda di pertemuan di rumah Badar, berpapasan dengan delapan orang yang tidak diketahui asal-usulnya berjalan kaki sambil menenteng peralatan kemah dan alat-alat serupa tripod di sekitar Kampung Gunung Putri, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Arif heran, di tengah situasi masih darurat gempa, mereka malah akan melakukan pendakian. Lelaki berusia 28 tahun ini lantas bertanya: “Mau pada ke mana ya, Kang?”
Salah satu di antara delapan orang tersebut menjawab: “Ini mau ke atas. Kami mau deteksi gempa, Kang.”
Arif percaya begitu saja omongan mereka. Situasi gempa masih genting. Deteksi dini tentu perlu agar warga dapat melakukan langkah pencegahan apabila gempa berkekuatan lebih besar kembali mengguncang.
Para pendaki misterius itu akhirnya turun gunung sekitar sepekan kemudian. Namun, hasil laporan mengenai deteksi gempa menguap begitu saja. Tak ada informasi apa pun yang diterima warga.
Tiga bulan berlalu. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur, perangkat desa Sukatani, dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) dikawal Babinsa TNI serta kepolisian melakukan sosialisasi tentang rencana proyek PLTP di Yayasan Al-Ikhlas Bina Mandiri, Kampung Gunung Putri.
Dalam sosialisasi ini Sekretaris Daerah (Sekda) Cecep Alamsyah menyatakan, Pemerintah Kabupaten Cianjur mendukung proyek geothermal yang akan segera digarap PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Ia sesumbar bahwa proyek geothermal akan memajukan perekonomian masyarakat dan tidak akan merusak lingkungan hidup.
PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) juga menyatakan, survei pendahuluan dan pengambilan sampel panas bumi untuk diuji di laboratorium sudah dilakukan pada Desember 2022. Alangkah terkejutnya Arif mendengar pernyataan tersebut. Ditambah lagi, ia dengan mata kepala sendiri melihat salah satu dari delapan pendaki misterius yang rupanya utusan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), ada pada saat sosialisasi itu.
“Kami (AMGP) sangat kecolongan dengan kejadian tersebut. Kami merasa dibohongi sama mereka (PT DMGP),” ujar Arif. “Kok bisa-bisanya mereka memanfaatkan situasi genting (baca: gempa bumi) yang dialami warga kayak gini.”
Jangan bayangkan sosialisasi rencana proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi disambut khidmat dan penuh rasa syukur. Sebelum sosialisasi digelar, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) menyemut di halaman Yayasan Al-Ikhlas Bina Mandiri sembari membawa spanduk dan poster-poster penolakan terhadap rencana proyek geothermal di gunung Gede Pangrango.
Aparat kepolisian dan Babinsa TNI cukup kelabakan. Warga gabungan Desa Sukatani, Cipendawa, dan Sindangjaya menghambur memasuki salah satu ruang kelas yang disulap menjadi tempat sosialisasi. Warga lainnya bertahan di luar sambil sesekali melirik jendela mungil untuk mengintip jalannya sosialisasi. Seusai para pengurus negara bagian Cianjur memberi sambutan, juru bicara PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) menjelaskan maksud dan tujuan dari rencana pembangunan proyek energi bumi.
Suasana hening. Ruangan kelas terasa penuh dengan pertanyaan tak terucapkan. Juru bicara PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) itu terus berbicara sambil menggeser slide presentasi pada sebuah layar yang tersorot oleh cahaya dari proyektor.
“Jadi bapak-ibu, energi panas bumi ini ramah lingkungan. Potensi industri ini bagus nanti jalan-jalan di (daerah) sini akan jadi lebih lebar dan bagus. Industri ini pokoknya akan menyejahterakan masyarakat di sini,” kata juru bicara itu.
Tak lupa, sang juru bicara menuturkan kisah sukses proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di wilayah Kamojang, Garut, dan Gunung Salak, Sukabumi. Tentu dia tidak membahas dampak negatif proyek terhadap lingkungan di kedua wilayah tersebut.
Namun, saat video singkat tentang cara kerja Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) diputar dan menayangkan sebuah cerobong udara memuntahkan asap putih ke langit, suasana ruangan menjadi riuh. Warga mengejar si juru bicara dengan berbagai pertanyaan tentang apakah asap putih itu beracun dan bagaimana dampak proyek geothermal terhadap kelestarian lingkungan.
Tak ada satu pun yang bisa menjawab. Baik pengurus negara wilayah Cianjur maupun juru bicara PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) hanya saling melempar tatap dan saling tunjuk ihwal siapa yang harus menjawab pertanyaan-pertanyaan warga.
Merasa tak puas dengan pemaparan juru bicara PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) dan pengurus negara wilayah Cianjur soal rencana proyek geothermal, pada Mei 2023 Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) menggeruduk gedung Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Cianjur.
Mereka datang dengan tiga tuntutan: 1) Menuntut transparansi informasi terhadap pembangunan proyek Geothermal di Gunung Gede Pangrango, 2) Menuntut DPRD kabupaten Cianjur untuk menolak pembangunan proyek Geothermal di Gunung Gede Pangrango,, 3) Mendesak kementerian ESDM melalui DPRD kabupaten Cianjur untuk menghentikan seluruh rencana proyek geothermal.
Komisi I DPRD Kabupaten Cianjur mengajak beberapa perwakilan Aliansi untuk melakukan rapat dengar pendapat (audiensi) terkait persoalan proyek geothermal. Di dalam ruangan rapat, mereka bertemu dengan pengurus negara wilayah Cianjur, kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, dan perwakilan Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM). Pertemuan berjalan cukup alot. Perwakilan kementerian ESDM hanya mengulang apa yang sudah dijelaskan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) bahwa proyek geothermal ‘ramah lingkungan’, ‘nol risiko’, dan ‘dapat meningkatkan kesejahteraan warga’.
Namun ketika para perwakilan Aliansi menanyakan soal bagaimana dampak proyek geothermal terhadap kelestarian lingkungan hidup, ketiga perwakilan instansi itu hanya mencatat, mendengarkan, sesekali mengangguk, dan tetap bergeming.
Tak banyak yang bisa dilakukan oleh anggota DPRD Kabupaten Cianjur selain menampung aspirasi dan mendengarkan keluhan masyarakat. Lagi-lagi, warga tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan tentang risiko dan dampak proyek geothermal terhadap lingkungan.
Melelang Gunung Gede Pangrango
Rencana proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango mulai terendus pada September 2022, sebelum gempa bumi mengguncang wilayah Kabupaten Cianjur.
Sebagaimana diwartakan CNBC Indonesia, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Dadan Kusdiana menetapkan salah satu unit usaha Sinar Mas Group, PT Daya Mas Geopatra Energy (DMGE) sebagai pemenang lelang Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) Panas Bumi di Cianjur.
Sinar Mas Group sendiri tampak sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri untuk menjajaki peluang bisnis di industri tambang panas bumi. Dalam publikasi yang tertera di website miliknya, pada Februari 2022, Susan Candra Corporate Secretary DSSA menyampaikan bahwa PT Dian Swastatika Sentosa Tbk – melalui anak perusahaan tidak langsung PT Daya Sukses Makmur Selaras – mendirikan PT Daya Mas Geopatra Energi dengan setoran modal awal sebesar Rp 1,1 Miliar.
Di saat bersamaan, PT Daya Mas Geopatra Energi (DMGE) juga mendirikan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) dengan setoran modal awal sebesar Rp 1 Miliar. Pembentukan PT DMGP tentu saja diproyeksikan untuk maju mengikuti pelelangan WPSPE panas bumi di Cianjur yang diselenggarakan Kementerian ESDM.
Tak sulit memahami alasan Sinar Mas Group melirik bisnis tambang panas bumi yang digadang-gadang sebagai sumber energi terbarukan. Dalam surat penawaran WPSPE Panas Bumi di daerah Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang diterbitkan Kementerian ESDM terdapat klausul-klausul menggiurkan yang membuat mereka tidak melewatkan peluang bisnis ini.
Tawaran itu berupa luas lahan eksplorasi panas bumi hingga 3.180 hektare, potensi listrik cadangan sebesar 85 MWe, dan jaminan bahwa listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketika Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) resmi beroperasi, Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Gede Pangrango akan memasok listrik untuk wilayah Jawa dan Bali.
“Perjanjian Awal Transaksi (Pre Transaction Agreement/PTA) dengan PT PLN (Persero) akan dilakukan setelah eksplorasi selesai dan Izin Panas Bumi diterbitkan. Acuan harga listrik dalam PTA dimaksud mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan,” tulis Kementerian ESDM dalam surat penawaran WPSPE panas bumi yang terbit pada Januari 2022.
Tentang pelelangan WKP, sejak 2010 Kementerian ESDM dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah melakukan pelelangan WKP Gunung Gede Pangrango bersamaan dengan WKP Gunung Ciremai, Kabupaten Ciremai, dan Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Ketiga WKP itu rata-rata memiliki potensi energi listrik sebesar 150 Mwe.
Sesudah kedua instansi mengumumkan pelelangan Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) gunung Gede Pangrango, tak ada perkembangan terbaru dilaporkan hingga Juni 2014, tanpa tedeng aling, Kementerian ESDM yang kala itu dipimpin oleh Jero Wacik menetapkan Wilayah Kerja Panas bumi (WKP) Gunung Gede Pangrango seluas 92.790 hektare yang mencakup Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat melalui Surat Keputusan Menteri ESDM Nomor: 2778 K/30/MEM/2014.
Setelah SK penetapan WKP Gede Pangrango terbit, para pengurus negara juga menyiapkan berbagai regulasi seperti UU No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi yang mengeluarkan panas bumi sebagai kategori industri tambang, dan Peraturan Menteri LHK No.46/2019 tentang Pemanfaatan Jasa lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Celakanya, aturan-aturan ini semakin menguatkan bahwa perusakan ruang hidup adalah prasyarat utama pengoperasian proyek panas bumi.
Terbitnya Peraturan Menteri LHK No.4/2019 tentu membawa angin segar bagi proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango. Sebagaimana dilansir radarsukabumi.com, Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango telah direncanakan menjadi lokasi proyek geothermal pada tahun 2021.
Masih merujuk sumber yang sama, Achmad Sarmidi, Tim Ahli Peneliti Panas Bumi, sudah melakukan pertemuan tertutup dengan pejabat lokal Cianjur. Achmad mengatakan, perlu membangun kesepahaman dengan masyarakat terkait isu geothermal, mulai dari pengetahuan masyarakat tentang energi panas bumi dan kajian-kajian yang telah dilakukan oleh tim, hingga partisipasi dan komitmen antar-stakeholder.
Achmad Sarmidi tak menampik ketika proyek geothermal terealisasi, dampak negatif pun tentu akan terjadi. Misalnya, dampak pengeboran dan eksplorasi lingkungan yang imbasnya bakal dirasakan masyarakat. Namun ia berdalih tentu ada dampak positif yang akan dirasakan.
“Selain akan menjadikan energi panas bumi yang tadi disebutkan, juga bisa untuk bidang pertanian, pariwisata pemandian air panas, dan lain sebagainya, tergantung bagaimana karakteristik dari pemerintah dan instansi terkait yang mengelola itu,” ucap Achmad dikutip dari radarsukabumi.com.
Untuk memuluskan jalannya proyek geothermal, pada Agustus 2022 Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dan Pemerintah Kabupaten Cianjur mengadakan pertemuan untuk membahas pentingnya sinergitas dan kolaborasi dalam pelaksanaan proyek geothermal di gunung Gede Pangrango di Kantor Pemkab Cianjur.
Harris Yahya, Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE, dalam pertemuan itu mengatakan bahwa pemerintah daerah, instansi terkait, tokoh masyarakat, lembaga masyarakat, BUMN, swasta, akademisi, media, dan masyarakat merupakan pihak-pihak penting yang dapat mendukung pengembangan proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan cara memberikan informasi lengkap dan persepsi yang tepat tentang urgensi pengembangan panas bumi dan tahapan kegiatannya.
Karena PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) akan melakukan survei geosains hingga pengeboran dua sumur di wilayah Cipanas, Harris juga berharap agar Pemkab Cianjur dapat bekerja sama dengan baik terkait proses perizinan yang diperlukan.
Sementara untuk pengembangan panas bumi di kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Haris berharap segera terwujud dukungan dan percepatan perizinan Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Pertemuan di kantor Pemkab Cianjur membuahkan hasil yang diinginkan. Pada Oktober 2022, Komunitas Pentahelix Geothermal Cianjur dibentuk untuk menyukseskan proyek geothermal. Komunitas ini terdiri dari Pemerintah Kabupaten Cianjur, kalangan akademik, media, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi Masyarakat (Ormas), dan tentu saja PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) yang akan berperan merangkul, membangun kesepahaman, dan memberi edukasi kepada masyarakat untuk bersama-sama menjaga keberlangsungan dan kelestarian alam dalam proses pembangunan proyek geothermal.
Heri Trijoko, koordinator Pentahelix Geothermal Cianjur, mengatakan pihaknya berkomitmen mengawal sampai tuntas proses pemanfaatan energi panas bumi tersebut. “Dengan catatan, harus ada sosialisasi yang komprehensif sampai ke tingkat desa, dari proses persiapan sampai tahap pembangunan hingga berjalannya eksploitasi di mana masyarakat sekitar lokasi harus dilibatkan aktif juga dalam setiap prosesnya yang mana harus mengedepankan terjaganya kelestarian hutan Taman Nasional,” ucap Heri Trijoko, dikutip dari Cianjur Ekspres.
Warga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP), punya cerita berbeda tentang Komunitas Pentahelix Pengawal Geothermal Cianjur. Ada rekam jejak buruk yang membekas.
Pada November 2022, Komunitas Pentahelix melakukan sosialisasi hingga ke tingkat akar rumput. Berlokasi di sebuah basecamp pendakian Kampung Gunung Putri, mereka menjelaskan kepada warga tentang rencana proyek geothermal yang akan digarap Kementerian ESDM, Pemkab Cianjur, dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP).
Karim, 35 tahun, warga Kampung Gunung Putri RT 05/ RW 08, Desa Sukatani, turut hadir pula pada pertemuan itu. Ia mendengarkan dengan seksama paparan demi paparan dari Komunitas Pentahelix tentang manfaat dan keuntungan hadirnya proyek geothermal di gunung Gede Pangrango yang merupakan program Proyek Strategis Nasional (PSN), tanpa menyentuh soal dampak lingkungan yang akan terjadi.
Namun semakin lama, Karim merasa janggal sebab arah perbincangan mulai berbelok menjadi soal uang penggantian rugi atas pembebasan lahan untuk proyek geothermal yang akan dibayarkan oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP).
“Saya pikir obrolan waktu itu bicara soal penghadangan. Makanya saya datang ke sana, eh taunya ngomongin (uang) ganti rugi,” ucap Karim.
PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) memberi penawaran sebesar Rp 150.000, dan tanpa diketahui pasti penyebabnya, nilainya tiba-tiba menurun tajam menjadi sebesar Rp 120.000.
Karim cukup memperhatikan gerak-gerik Komunitas Pentahelix Geothermal Cianjur sejak awal. Menurutnya, Pentahelix akan melakukan berbagai cara untuk membujuk dan meyakinkan warga agar mau menerima rencana proyek geothermal (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Gunung Gede Pangrango.
“Banyak caranya mereka mah-lah, dari mulai bagi-bagi sembako sampe terakhir tuh ngasih sapi buat kurban dari Sinar Mas,” ketus Karim.
Karim menambahkan, Komunitas Pentahelix selalu menggaet orang-orang berpengaruh untuk menggiring opini masyarakat agar bersepakat menerima proyek geothermal berdiri di wilayah Gunung Gede Pangrango. Namun informasi terakhir yang diketahui Karim, Komunitas Pentahelix telah membubarkan diri tanpa alasan yang jelas.
Demi Transisi Energi atau Ekspansi Industri Energi?
Pada gelaran pertemuan Government 20 (G-20) di Bali tahun 2022, sebagaimana dilansir kompas.com, Pemerintah Indonesia mendapatkan suntikan dana sebesar 20 miliar dolar AS (Rp 311 triliun) untuk melakukan percepatan transisi energi dan mengembangkan energi bersih. Dana ini dikucurkan oleh Just Energy Transition Partnership (JETP) yang berasal dari koalisi sejumlah negara, termasuk AS dan Jepang. Melalui pendanaan ini, Indonesia diharapkan dapat beralih dari energi kotor, terutama batubara, ke energi yang lebih bersih.
Mengacu pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Nasional (RUPTL) PT PLN 2021-2030, Indonesia menyimpan cadangan potensi panas bumi sebesar 29 GW—potensi cadangan panas bumi Indonesia mencapai 40% dari cadangan potensi dunia. Atas dasar inilah, pemerintah terus memproyeksikan panas bumi sebagai bahan baku bagi energi listrik nasional, melalui pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB). Pada tahun 2030, pembangunan PLTPB ditargetkan menghasilkan 3.355 MW.
Pada bagian lain, perluasan pembangunan PLTP ditetapkan sebagai salah satu cara untuk mendorong bauran energi baru terbarukan nasional sebesar 23% pada tahun 2025. Panas bumi, diklaim sebagai bagian dari energi baru terbarukan (EBT). Perluasan bauran EBT diklaim sebagai cara untuk mengikis ketergantungan pada penggunaan energi fosil dalam produksi listrik nasional, mewujudkan komitmen dalam menurunkan emisi, serta menjamin ketersediaan listrik nasional serta perluasan kerja dalam sektor industri energi.
Diketahui, Provinsi Jawa Barat yang memiliki potensi panas bumi sebesar 4.763 MW, hanya mampu mengembangkan sekitar 20% potensi panas bumi dengan total kapasitas PLTPB yang telah beroperasi sebesar 1.193,8 MW. Menambang sumber panas bumi di gunung Gede Pangrango dengan demikian menjadi salah satu upaya untuk memaksimalkan potensi panas bumi di provinsi berpenduduk terbanyak ini.
Berdasarkan penelusuran Trimurti.id yang dihimpun dari pelbagai sumber, setidaknya terdapat 13 Wilayah Kerja Tambang Panas Bumi (WKP) dan 9 PLTP yang tersebar di wilayah provinsi Jawa Barat.
Di samping itu, seperti dilaporkan Jabarprov.go.id, PT PLN (Persero) siap mendorong pembangunan ekonomi hijau di Jawa Barat dengan menghadirkan layanan listrik berkualitas, andal, dan ramah lingkungan. Hal itu disampaikan PLN dalam forum diskusi publik Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan Bantuan Pasang Baru yang diselenggarakan Direktorat Kementerian Ketenagalistrikan Energi (Ditjen Gatrik) dan Sumber Daya Mineral bersama Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) pada Agustus 2022.
Pada pertemuan itu disampaikan juga beban kebutuhan listrik Jawa Barat diprediksi akan terus tumbuh hingga lebih dari 11.000 megawatt (MW) pada 2025 seiring dengan lahirnya kawasan industri baru seperti Kawasan Industri Karawang New Industry City (KNIC), Kawasan Industri Pertiwi Lestari, dan Pelabuhan Patimbanan, serta hadirnya berbagai kebutuhan listrik besar seperti PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), Sata Center Delta Mas, pabrik baterai, dan pabrik kendaraan listrik.
Di sisi lain, produksi listrik Indonesia sebenarnya sudah surplus pada tahun 2022. Artinya, suplai listrik melebihi jumlah yang terjual ke pelanggan. Jika merujuk laporan Statistik PLN 2022, selama tahun 2022 total pasokan listrik PLN (yang diproduksi dan dibeli dari pihak lain) mencapai 308.002,30 GWh dan hanya terjual 273.761,48 GWh. Artinya, terdapat 34,2 ribu GWh listrik yang tak terjual dan tak terpakai.
Meiki W Paendong, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, begitu heran dengan pemerintah yang terus memperbanyak pembangkit tenaga listrik baru di tengah kondisi over supply listrik di Indonesia. Khususnya, rencana pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di gunung Gede Pangrango yang akan digarap PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) dan didukung penuh oleh Kementerian ESDM dan Pemkab Cianjur.
Menurut Meiki, semakin banyak pembangkit tenaga listrik dibangun maka PT PLN mau tak mau terus membeli listrik itu sesuai kontrak jual-beli yang berlaku. Dengan kondisi over supply listrik, ia cukup was-was ketika PLN tak mampu menjual listrik itu kepada masyarakat dan industri. Lantas upaya tambal-sulam kerugian oleh pemerintah melalui penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) jelas hanya akan membebani keuangan negara.
Meiki menduga pemerintah Indonesia mengesampingkan kondisi over supply listrik di Indonesia demi kepentingan bisnis di industri energi. Memang cukup sulit membuktikan hal tersebut, tapi ia menegaskan: “Ini sektor (industri) energi kan lahan basah buat cari untung.”
Sebaliknya, pemerintah gencar melakukan program transisi energi baru terbarukan dan mengganti pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti batubara dengan memanfaatkan potensi panas bumi yang diklaim sebagai energi ramah lingkungan, rendah emisi karbon, dan minim risiko. Salah satunya, mendorong pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) di Gunung Gede Pangrango
Bagi Meiki, klaim-klaim itu tidaklah tepat. Makna dari definisi bersih harus dilihat secara holistik. Tidak hanya dipandang seberapa rendah emisi karbon yang dihasilkan, tetapi juga harus mempertimbangkan juga aspek sosial-ekologis di lingkungan komunitas warga desa. Terlebih proyek geothermal akan dibangun di wilayah hutan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
“Selama proyek geothermal masih menyedot air secara besar-besaran, membabat pohon-pohon di hutan, dan menggusur paksa lahan warga, itu gak bisa dikategorikan sebagai energi bersih,” ujar Meiki saat dijumpai Trimurti.id di kantor Walhi Jawa Barat, Bandung, Rabu, 6 September 2023.
Saat ini proyek geothermal di gunung Gede Pangrango dalam tahap eksplorasi, fase di mana proyek akan membuka lahan hutan konservasi untuk pembangunan sarana-prasarana infrastruktur jalan, agar alat-alat berat dapat melenggang memasuki kawasan eksplorasi sumur bor. Untuk membuka lahan hutan, perusahaan tentu harus membabat banyak pohon terlebih dahulu.
Menurut Meiki, sesuai UU kehutanan tahun 1999, wilayah hutan konservasi sama sekali tidak boleh dipergunakan untuk kegiatan apa pun. Karena kawasan hutan konservasi memang diperuntukkan pelestarian dan perlindungan ekosistem. Seperti kita tahu, hutan konservasi memiliki peranan penting untuk menghasilkan oksigen dan menyerap emisi karbon.
Meiki teringat sebuah cerita. Kala itu warga Desa Cibodas diciduk aparat karena kedapatan tengah memburu cacing cisondari di kawasan hutan konservasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Warga percaya cacing tersebut dapat meredakan sakit demam. Tetapi ironisnya, ketika giliran proyek geothermal melakukan kegiatan eksplorasi, jangankan dipidanakan, pemerintah malah memberi kemudahan perizinan.
Meiki juga mengkhawatirkan dampak sosial-ekologis dan potensi bencana yang akan terjadi seiring hadirnya proyek geothermal di gunung Gede Pangrango, sebab proyek ini membutuhkan pasokan air yang banyak dan lahan yang sangat luas untuk menunjang proses produksinya. Bukan tidak mungkin aktivitas ini menimbulkan dampak kekeringan air dan konflik sosial yang semakin meluas. Warga desa di sekitar geothermal akan saling berebut air bersih.
Meiki hafal betul jika proses eksploitasi panas bumi mulai dilakukan, pembangkit listrik akan didirikan di dekat pemukiman warga. Sesudahnya ada bahaya yang mengintai warga desa di kaki Gunung Gede Pangrango, seperti meledaknya pipa gas dan gempa-gempa kecil akibat aktivitas injeksi ke lapisan lava di dalam perut bumi.
Pendapat serupa juga diungkapkan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam buku “Daya Rusak Tambang Panas Bumi” (2023). Gas hydrogen sulfide atau H2S sangat berbahaya dan beracun jika dihirup manusia. Gas berbau khas ‘telur busuk’ ini dapat menyebabkan iritasi mata, sakit kepala, gangguan pernapasan hingga berujung kematian jika terpapar dalam konsentrasi tinggi.
Selain menimbulkan bahaya kesehatan, gas H2S juga bersifat korosif yang dapat membuat pipa-pipa saluran atau tanki-tanki logam berkarat dan memicu kebocoran gas. Risiko lain yang patut diperhatikan adalah gempa picuan. Fracking atau teknik stimulasi sumur dengan cairan fluida bertekanan tinggi yang digunakan untuk meretakkan lapisan batuan dapat menyebabkan gempa bumi minor.
“Metode fracking memerlukan air dalam jumlah besar untuk keperluan injeksi dapat menyebabkan kelangkaan air pada daerah sekitar penambangan. Selain itu, cairan limbah fracking yang terdiri dari berbagai limbah kimia berdampak pada pencemaran air tanah dan air permukaan,” tulis Jatam.
Tim penulis Jatam juga mengingatkan bahwa air yang disedot secara terus-menerus untuk keperluan geothermal bisa menyebabkan kepadatan tanah berkurang. Ketika struktur tanah tidak stabil dan mengalami kekeringan, potensi bencana longsor akan pada musim hujan akan semakin besar.
Namun, dalam kasus rencana proyek geothermal di kaki gunung Gede Pangrango, warga tidak mendapat informasi apapun terkait dampak dan resiko yang akan terjadi ketika proyek geothermal beroperasi. Inilah yang mendorong Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) mendesak proyek geothermal segera dihentikan dan menuntut pemerintah mencabut seluruh izin eksplorasi PT Daya Mas Geopatra Pangrang (DMGP).
“Warga berhak tahu apa yang terjadi pada ruang hidupnya. Risiko dan segala dampaknya. Kan mereka yang tinggal di situ. Hak untuk mendapatkan informasi dan hak untuk tahu termasuk juga Hak Asasi Manusia (HAM),” kata Meiki.
Meski potensi kegagalan dan risiko proyek geothermal hanya 1%, tapi satu persen risiko ini sangat fatal untuk keselamatan warga desa. Bencana longsor akibat ledakan saluran pipa gas PT Star Energy Geothermal (Wayang Windu) yang terjadi tujuh tahun silam di Desa Margamukti, Pangalengan, Kabupaten Bandung musti menjadi pembelajaran kolektif. Dalam tragedi itu, longsor merenggut nyawa lusinan jiwa dan mengubur banyak rumah-rumah warga.
Bagi Meiki, mengingat gunung Gede Pangrango merupakan wilayah kerentanan potensi gempa tinggi, pemerintah sudah harus mempertimbangkan segala kemungkinan terburuk yang akan terjadi dan menghentikan segala kegiatan yang berkaitan proyek geothermal.
“Gempa gak akan bisa kita tahu (kapan). Kalau sudah terjadi, terus kena gempa akan terjadi kecelakaan. Tingkat bahayanya lebih besar lagi,” tutur Meiki.
Pada akhirnya, upaya transisi energi dengan pemanfaatan energi panas bumi untuk kebutuhan pembangkit listrik tak lebih dari sekadar memperbesar pasokan listrik untuk kebutuhan industri di wilayah Jawa dan Bali, dan perluasan industri energi yang terus memperbesar akumulasi dan konsentrasi kekayaan di tempat-tempat yang jauh dari kampung warga di kaki Gunung Gede Pangrango.
Sementara itu, Badar, Karim, Arif, dan masyarakat kaki gunung Gede Pangrango ketar-ketir mengetahui proyek geothermal akan didirikan di ruang hidup yang mereka tempati. Membawa embel-embel energi baru terbarukan dan ramah lingkungan, PLTP akan beroperasi dengan watak dan cara yang sama dengan pembangkit listrik fosil: menduduki paksa ruang hidup warga dan merusak bentang alam dan bentang air.
Warisi Mata Air, Bukan Air Mata
Dari kejauhan Karim terlihat merenung dan meratapi tanaman bawang daun dan sawi hijau yang terhampar di sekitar rumahnya, Kampung Gunung Putri, RT 05/RW 08, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Mayoritas warga kampung ini adalah petani. Permukiman mereka berdiri di antara panorama hamparan lahan pertanian sayur yang hijau dan asri khas pegunungan.
Lahan perkebunan Karim terletak sekitar 500 meter di belakang rumah. Telunjuk jarinya mengarah ke sebuah pohon eucalyptus yang berukuran besar dan tinggi menjulang di antara pohon-pohon lainnya. “Nah, di dekat situ yang (nanti) bakal dibikin sumur pengeboran sama power plant geothermal, Kang,” ucap Karim, Minggu, 13 Agustus 2023.
“Saya curiga di situ soalnya. Di atasnya lagi, sekitar 100 meter itu ada sumber air yang biasa dipake petani buat ngebon. (Proyek) Geothermal ‘kan butuh air banyak,” sambung Karim.
Dugaan Karim bukan tak beralasan. Bersama Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) ia menghimpun pelbagai kisah warga penyintas proyek geothermal dari wilayah-wilayah lain di Indonesia dan menjadikan informasi tersebut sebagai pengetahuan bersama di antara warga. Pengetahuan ini akan menguatkan perjuangan warga yang sudah berlangsung selama hampir satu tahun.
Masih segar dalam ingatan Karim pascageruduk gedung DPRD sekitar bulan Juni 2023, Aliansi menyelenggarakan kegiatan istighosah dan menonton film bersama yang berjudul “Air Mata Air” di Kampung Gunung Putri, Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Demi terselenggaranya kegiatan ini, warga bahu-membahu mengubah pos keamanan (siskamling) menjadi bioskop dadakan.
Warga berduyun-berduyun memadati jalanan di sekitar siskamling tersebut. Rasa penasaran mereka begitu tinggi terhadap film dokumenter yang bercerita tentang dampak proyek pembangkit tenaga listrik panas bumi (PLTP) di Desa Banjarnegara dan Desa Karangtengah, pegunungan Dieng, Jawa Tengah.
Sialnya, sebelum acara dimulai, aparat kepolisian berjumlah 40 orang muncul secara tiba-tiba. Terlihat pula dua orang intel, seorang utusan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), dan seorang babinsa TNI.
Karim tak habis pikir, gerangan apa yang membuat mereka datang. Ia yang baru saja tiba di lokasi acara menghampiri rombongan aparat keamanan dan menanyakan maksud kedatangan mereka. “Waktu itu, saya tanya aja langsung, ‘Bapak mau ikut istighosah juga?’” tutur Karim.
“Enggak pak, kita hanya memantau situasi (keamanan) saja,” Karim menirukan jawaban seorang polisi.
Tanpa menghiraukan kehadiran mereka, acara tetap berlangsung seperti semula. Istighosah telah dipanjatkan untuk kemaslahatan ruang hidup mereka. Layar berupa kain putih mulai mendapatkan pantulan cahaya, tanda pemutaran film akan dimulai. Warga mulai merapikan posisi duduk mereka dan mencari tempat yang nyaman untuk menonton.
Ratusan lebih pasang mata terpaku pada kisah warga Dieng yang ruang hidupnya sudah lebih dahulu diduduki oleh proyek geothermal. Belum setengah jalan film diputar, rombongan aparat kepolisian, perwakilan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMPG), intel, dan babinsa membubarkan diri tanpa berpamitan pada warga.
Adegan per adegan memperlihatkan kepada warga bahwa pegunungan Dieng diobrak-abrik sedemikian rupa untuk sebuah proyek yang digadang-gadang sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan. Rupanya proyek PLTP di pegunungan Dieng yang digarap oleh PT Geodipa Energy telah menyedot habis mata air Sethulu dan mencemari sumber air bersih yang selama ini digunakan warga Dieng untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Sebagai informasi, untuk dapat menghasilkan 1 megawatt listrik, PLTP membutuhkan 1.500 liter air per menit. Air yang kemudian diinjeksikan ke dalam sumur bor akan dipanaskan. Uap dari hasil pemanasan inilah yang dimanfaatkan untuk memutar turbin penghasil energi listrik. Agar uap tetap terjaga suhunya, air dicampuri beberapa bahan kimia yang akan menyerap ke tanah dan mencemari air tanah.
Selain itu, proyek geothermal akan menyasar lapisan batuan untuk bisa sampai ke lapisan cebakan panas bumi yang hendak diekstraksi. Tak heran pula jika proyek-proyek geothermal menyukai kawasan kawah air panas di wilayah-wilayah gunung api. Indonesia notabene berada di kawasan cincin api (Ring of Fire) yang rawan bencana gempa bumi hingga gunung meletus.
Informasi dari nonton film itu sungguh penting bagi warga. Terlebih saat sosialisasi di Yayasan Al-Ikhlas Bina mandiri dan audiensi di gedung DPRD Kabupaten Cianjur mereka tak mendapat jawaban apa pun soal dampak proyek geothermal yang mengancam ruang hidup mereka. Kini, warga mulai paham bagaimana tabiat proyek geothermal sesungguhnya.
Dahulu Karim tak tahu-menahu apa itu geothermal ataupun pembangkit listrik tenaga panas bumi. Ia memutar bola matanya sambil menerawang ingatannya ke tahun 2021. Saat itu seseorang mendaku petugas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan padanya bahwa Gunung Gede Pangrango akan disuntik dan dikeluarkan panas buminya agar tidak meletus.
“Dia tuh ngejelasinnya gini, ‘Jadi gini pak ini, kan air terus disimpan di kompor sampai panas. Itu kan ada uap, kalau gak dibuka uapnya itu akan meletup. Gunung juga begitu pak, uap panasnya ditarik supaya gak meletus’,” cerita Karim, mengulang kembali penjelasan orang yang mengaku dari BMKG tersebut.
Karim kini cuma terkekeh mengingat peristiwa itu. “Mentang-mentang saya cuma lulusan SD percaya aja kata orang itu. Ke sini-sini baru tahu itu geothermal,” katanya.
Pada Juli 2023, Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) melakukan perjalanan ke Desa Banjarnegara, Dieng, Jawa Tengah. Sekitar 18 orang berangkat dengan ongkos dicukupi dengan urunan warga. Mereka ingin menyaksikan lebih dekat bagaimana dampak proyek geothermal terjadi di sana walau harus menempuh sekitar belasan jam perjalanan.
Kepergian mendadak ini dilandasi kekesalan warga lantaran mereka selalu diajak melihat proyek geothermal yang sudah berjalan di Gunung Kamojang, Garut, dan Gunung Salak, Bogor. Namun tiap kali warga mengusulkan untuk menengok kondisi di wilayah pegunungan Dieng pascageothermal berdiri hampir setengah abad silam, pengurus negara maupun PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMPG) selalu enggan.
Singkat cerita, sepanjang perjalanan warga melihat pipa-pipa dan bangunan PLTP di sekitar pegunungan Dieng yang menyerupai gurita dengan tentakel panjangnya. Pipa-pipa gas itu ternyata mengeluarkan asap beserta aroma tak sedap berbau apak yang mencolok hidung. Di sana pula, warga Gede Pangrango mendengar testimoni-testimoni dari warga Desa Banjarnegara yang terdampak proyek geothermal.
Beragam testimoni muncul dari warga Desa Banjarnegara. Mulai dari warga berkonflik dengan warga sendiri karena iming-iming uang ganti rugi dan janji-janji akan disejahterakan, bising suara mata bor yang mengganggu telinga, dan air tanah yang sudah tercampur limbah bahan kimia. Bukan lagi sekedar cerita, kini mereka benar-benar merasakan secara langsung dan membuktikan klaim pengurus negara bahwa proyek geothermal “ramah lingkungan”, “menyejahterakan masyarakat, dan “nol risiko” tidaklah tepat.
Pikiran Karim begitu terbuka usai mendengar testimoni-testimoni dari Dieng. Ia bergumam kepada kawan-kawannya yang juga ikut bertandang ke Dieng, “Ini kalau lahan kita lepas, kita dapet duit. Tapi gak bisa ngebon lagi, mendingan gak punya duit tapi bisa ngebon atau punya duit tapi gak bisa ngebon terus pergi dari lahan.”
Tak ingin terkecoh oleh pihak mana pun yang mengatakan proyek geothermal sebagai energi baru terbarukan ramah lingkungan, Karim lantas membawa sampel air berbau belerang dan berasa asin yang sudah tercemar limbah produksi pembangkit listrik tenaga panas bumi. “Kalau nanti mau ada sosialisasi lagi, saya bakal tunjukin (air) ini ke pemerintah atau PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMPG),” imbuh Karim.
Karim betul-betul tidak paham dengan maksud pengurus negara membangun proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango. Jika alasan proyek ini untuk memasok listrik untuk kebutuhan wilayah Jawa-Bali dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengapa urusan pertanian tidak juga diperhatikan oleh pemerintah.
Saat ini, para petani menghadapi beberapa persoalan cukup pelik seperti melejitnya harga pupuk urea, menurunnya harga jual panen, dan hantu-hantu berwujud bank emok yang menjerat petani dengan utang dan bunga tinggi.
Karim cukup merasakan imbas dari kenaikan harga pupuk urea. Terakhir kali ia membeli pupuk urea harganya sudah mencapai Rp200.000 lebih dari harga semula Rp100.000. Kenaikan harga cukup memberatkan Karim dan para petani lainnya. Pasalnya, untuk tetap menjaga kualitas panen di tengah cuaca yang cukup terik seperti sekarang, Karim membutuhkan tiga karung pupuk urea agar tanaman sawi dan bawang daun yang ditanamnya tumbuh subur. Belum lagi, harga panen sawi yang semula Rp1.000 per kilogram menukik drastis menjadi Rp800.
Dalam situasi runyam itu tak jarang para petani memilih jalan pintas dengan cara meminjam sejumlah uang dari bank emok. Memang, untuk sementara persoalan dapat terselesaikan, tetapi tunggakan utang dan bunga sebesar 30% sudah menanti mereka di awal bulan.
Karim cukup beruntung tidak terjerat utang ke bank emok, tetapi tidak dengan petani lainnya. Konon, akibat tak mampu membayar tunggakan utang dan bunganya, cekcok besar tak terhindarkan hingga hubungan rumah tangga harus kandas di tengah jalan. Sementara bank emok yang dapat mewujud seorang pemurah hati beduit banyak terus berkeliaran bebas di tengah warga.
Angin berembus kencang menyamarkan cuaca panas yang cukup terik. Karim menyusuri lahan di depan rumahnya, sesekali memeriksa tanaman sawi dan bawang daunnya. Sembari memegang dedaunan yang terlihat kuyu akibat cuaca terik, Karim berujar: “Belum ada geothermal aja udah gini panasnya, apalagi nanti ada geothermal, air disedot abis, tanaman bisa pada mati kekurangan air.”
Menurut Karim, sekitar 80% dari puluhan ribu jiwa yang menghuni Desa Sukatani dan Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet dan Desa Sindangjaya, Kecamatan Cipanas memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari melalui kegiatan pertanian. Adapun sisanya, warga mengais rezeki dari kegiatan pendakian seperti menyediakan base camp untuk para pendaki, menjajakan panganan di warung atau gerobak kaki lima maupun menjadi pekerja upahan.
Serupa dengan Karim, Badar dan Arif adalah kelompok tani yang menggantungkan seluruh hidupnya di lahan garapan pertanian. Terlebih bagi Badar yang tak mungkin hengkang dari kampung halaman untuk keduakalinya.
Pria yang sudah hidup setengah abad lebih ini pernah merantau ke ibu kota Jakarta di tahun 1990-an. Di ibu kota, Badar bekerja sebagai pengelola keamanan di pasar tradisional. Meski tampak menjanjikan, hidup di Jakarta tak mampu membendung kerinduan akan tanah kelahirannya. Ia tak bisa bertahan lebih lama di sana.
Bagi Badar yang tinggal masih satu kampung beda beda RT dan RW dengan Karim, gunung Gede Pangrango telah memberikan kehidupan pada semua makhluk hidup dengan keberlimpahan alamnya. Karena itulah ia pulang dan memilih bekerja sebagai petani di lahannya sendiri untuk menanam berbagai tanaman sayuran seperti bawang daun, cabai, kol, wortel, sawi putih, dan lain-lainnya.
Bapak enam anak ini tak ingin kembali menjual tenaga dan waktunya kepada majikan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya di usia yang sudah senja. Kini kehadiran proyek geothermal bisa mengancam ia untuk kembali hengkang dari kaki gunung Gede Pangrango.
“Saya gak tahu harus ke mana, kalau misalnya geothermal jadi dibangun di sini,” kata Badar dengan tatapan mata sayu.
Proyek geothermal menyasar wilayah hutan Taman Nasional Gede Pangrango yang berdekatan dengan sumber mata air dan lahan pertanian di Desa Cipendawa, lahan yang juga digunakan warga Desa Sukatani, Desa Cipendawa, dan Desa Sindangjaya. Tak tanggung-tanggung, untuk tahap rencana eksplorasi sumber panas bumi, proyek ini akan mencaplok lahan seluas 3.180 hektare, sebanding dengan luas kawasan industri Jababeka di wilayah Cikarang, Kabupaten Bekasi.
Kekhawatiran Badar juga dirasakan Arif. Menurutnya, proyek geothermal akan merusak hutan-hutan di pegunungan dan menyedot habis mata air. Ketika gunung telah rusak maka mata air akan berhenti mengalir. Masyarakat kaki Gunung Gede Pangrango harus menghadapi bencana kekeringan hebat. Lahan-lahan pertanian pun akan ditinggalkan dan orang-orang akan mulai terusir dari tanahnya sendiri.
“Kami (Aliansi Masyarakat Gede Pangrango) gak mau itu terjadi sama anak cucu kita di masa depan. Kami ingin mewarisi mata air, bukan air mata,” tandas Arif.
Di luar rumah Badar, terlihat mobil-mobil bak terbuka tengah bersiap mengantar sayur-sayuran seperti sawi putih, brokoli, sawi hijau, bawang daun, kol, wortel ke berbagai pasar tradisional di Jakarta, Bandung, dan Purwakarta. Raut orang-orang di dalam mobil bak terbuka itu tampak ceria meski guyonan yang mereka tertawakan sangat sederhana.
Selama ini warga kampung dikenal biasa hidup bersahaja, tidak serumit upaya proyek geothermal yang datang lalu menggoda mereka untuk menyingkir dari lahan pertanian dan mencoba mengobrak-ngabrik ruang hidup mereka, tanpa pernah mempertimbangkan sayur-sayuran yang mereka lahap salah satunya berasal dari lahan pertanian warga di kaki Gunung Gede Pangrango.
Proyek Strategis Nasional dengan Klaim Kemajuan Ekonomi
Butuh waktu sepekan bagi Trimurti.id untuk mendapatkan jawaban langsung dari Pemkab Cianjur terkait proyek geothermal. Awalnya, kami mencoba menghubungi Sekda Kabupaten Cianjur Cecep Alamsyah pada 25 Agustus 2023. Namun Cecep yang tengah dalam kondisi kurang fit belum bersedia diwawancara dan menyarankan agar kami menghubungi Asisten Daerah II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Cianjur Budi Rahayu Thoyib.
Cecep baru mengabari Trimurti.id kembali dan memberikan kontak Budi Rahayu Thoyib pada 29 Agustus 2023. Kami lalu menghubungi Budi saat itu juga. Namun Budi melalui pesan singkat mengatakan belum bersedia diwawancarai lantaran sedang melakukan agenda kedinasan dan menjanjikan waktu kosong di pekan depan.
Sesudah menunggu sepekan lamanya, Budi Rahayu Thoyib menyatakan kesediaannya meluangkan waktu untuk dimintai keterangan terkait proyek geothermal di gunung Gede Pangrango. Budi mengatakan, peran Pemerintah Kabupaten Cianjur hanya memfasilitasi dan mendukung proyek geothermal di Gunung Gede Pangrango, yang merupakan program Proyek Strategis Nasional pemerintah pusat.
Untuk mendukung proyek geothermal, Pemkab Cianjur bersama PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) sebagai pemenang tender Wilayah Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WSPE) melakukan sosialisasi kepada masyarakat di Kecamatan Pacet.
Budi mengakui sosialisasi yang sudah dilakukan beberapa kali tidak bisa dilakukan secara perorangan atau door to door. Supaya lebih efektif, Pemkab Cianjur akan mengundang perwakilan warga desa yang dirasa mampu menjelaskan kembali maksud dan tujuan proyek geothermal kepada masyarakat.
Ia mengatakan, sosialisasi yang dilakukan di Desa Cipendawa dan Desa Sindangjaya berlangsung lancar. Namun, sosialisasi tidak berjalan mulus di Desa Sukatani karena mendapat penolakan dari Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP). Namun Budi mengklaim bahwa warga Desa Cipendawa, Desa Sindangjaya, dan sebagian warga Desa Sukatani Kecamatan pacet mendukung proyek geothermal.
Beberapa upaya sempat dilakukan untuk meyakinkan Aliansi dan warga yang mendukung proyek geothermal. PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) sempat mengajak Aliansi untuk studi banding ke wilayah Kamojang, Garut, dan gunung Salak, Sukabumi.
Namun, hal itu ditolak karena Aliansi merasa tidak mendapat banyak informasi yang cukup ihwal dampak dan risiko proyek geothermal di kedua lokasi tersebut. Aliansi memilih bertandang ke wilayah pegunungan Dieng dengan ongkos sendiri walau tidak difasilitasi PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP).
Forum pentahelix yang digagas oleh Kementerian ESDM untuk mengawal geothermal Cianjur juga tidak berjalan sesuai rencana. Forum ini tidak dapat merangkul banyak pihak, termasuk Aliansi yang menolak proyek. Maka forum ini dihentikan.
Budi juga mendengar kekhawatiran Aliansi terkait dampak proyek geothermal seperti kebocoran pipa gas, mengeringnya sumber air hingga gempa picuan yang timbul dari proses pengeboran sumur bor. Ia membantah jika Pemkab Kabupaten Cianjur dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) tidak turut menjelaskan dampak dan risiko yang timbul usai proyek geothermal resmi beroperasi. Menurutnya, PT DMGP sudah menjelaskan secara teknis sesuai keahliannya.
Soal penyedotan mata air dan gempa picuan, Budi meneruskan kembali apa yang dijelaskan oleh PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Ia memastikan hal itu tak akan terjadi.
“Karena yang diserap bukan air bawah tanah dan air permukaan tapi air yang berada di sekian puluh meter dalam tanah sehingga tidak mengganggu kecukupan air. Proses tidak akan menimbulkan gempa, karena pengeboran akan dilakukan di kaki gunung; bukan di atas gunung,” ucap Budi saat diwawancarai Trimurti.id via sambungan telepon, 8 September 2023.
Menurut Budi, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) sudah mengantongi izin Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan survei pendahuluan dan eksplorasi di Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Ia juga menekankan bahwa proyek geothermal tidak akan membabat seluruh pohon di hutan kawasan hutan taman nasional.
Perjalanan proyek geothermal akan memakan waktu yang cukup panjang. Untuk tahap eksplorasi saja, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) membutuhkan waktu tiga tahun lamanya sebelum melakukan tahap eksploitasi. Itu pun belum tentu mencapai tahap tersebut. Karena terlebih dahulu akan melihat seberapa besar kandungan panas bumi yang ada. Jika mencapai 3.000 Mw akan diteruskan, namun sebaliknya jika di bawah angka tersebut kemungkinan besar proyek geothermal tidak akan berlanjut.
Di penghujung wawancara, Budi mengatakan Pemkab Cianjur dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango akan melakukan sosialisasi kembali di Desa Sukatani. Besar harapannya agar masyarakat yang menolak mau menerima rencana pembangunan proyek geothermal.
Ia yakin proyek geothermal akan membawa pertumbuhan ekonomi bagi cianjur. Jalan-jalan akan diperlebar, kegiatan perdagangan dan pariwisata akan menyemarakan geliat ekonomi desa. Selayaknya PLTP Kamojang dan PLTP Salak yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan daerah melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH) usaha kegiatan proyek pemanfaatan panas bumi.
“Iya, kang, pasti akan ada pertimbangan. Apakah (proyek geothermal) lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Gak ada niat sama sekali kok pemerintah mau nyengsarain rakyatnya,” ujar Budi.
Sapto Aji Prabowo, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), menjelaskan bahwa titik eksplorasi berada di zona pemanfaatan kawasan Taman Nasional Gede Pangrango. Informasi itu ia ketahui berdasarkan laporan survei pendahuluan yang dilakukan PT Daya Mas Geopatra Pangrango.
Sapto tak masalah jika proyek geothermal masih dilakukan di zona pemanfaatan sesuai dengan Peraturan Menteri LHK No.4/2019 tentang Pemanfaatan Jasa lingkungan Panas Bumi pada Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Apabila survei menemukan potensi panas bumi lainnya, ia enggan bila harus mengubah titik zonasi wilayah eksplorasi, karena pihaknya akan selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian dan berpegang pada aturan.
“Tentu kami akan mempertimbangkan (kondisi) tegakan tanah, vegetasi, satwa-satwa yang ada di dalamnya, dan dinamika masyarakat yang ada di sana,” ujar Sapto saat diwawancarai Trimurti.id via sambungan telepon, Sabtu, 9 Agustus 2023. Ia menambahkan proyek geothermal harus menjamin pintu wisata jalur pendakian agar tetap terjaga dengan baik.
Dalam skema perizinan proyek geothermal, peran Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango hanya memberi pertimbangan teknis kepada PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Pihak yang memberikan izin adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian ESDM, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan jika berkaitan dengan pemanfaatan hutan dan cagar alam.
Sapto juga menyampaikan proyek geothermal masih dalam tahap survei pendahuluan. Untuk mencapai tahap eksplorasi, PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) harus membuat perencanaan pembangunan wellpad atau tapak pengeboran dan jika dirasa layak PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) baru dapat mengajukan pertimbangan teknis kepada Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango dan Pemerintah Kabupaten Cianjur.
“Jikalau dirasa memiliki nilai ekonomis baru, PT Daya Mas Geopatra Pangrango bisa mengajukan izin eksploitasi,” kata Sapto.
Perihal kekhawatiran Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) soal mengeringnya sumber air, Sapto mengatakan air dari kawasan Taman Nasional Gede Pangrango tidak boleh dipakai untuk kebutuhan proyek geothermal atau komersil, sesuai Undang-undang 17 tahun 2019 tentang sumber daya air.
“Ini kita berandai-andai saja, misalnya PT DMGP dapat izin eksplorasi atau eksploitasi mereka gak boleh pake air dari taman nasional. Mereka harus ngambil air dari luar,” ujar Sapto.
Sepengetahuannya pula, secara teknis air yang digunakan untuk menghasilkan uap yang akan memutar turbin akan kembali didaur ulang untuk proses penguapan. Untuk urusan kebocoran gas dan gempa picuan, ia enggan menjawab dan menyarankan Trimurti.id untuk menanyakan langsung kepada pihak Kementerian ESDM.
Adapun potensi panas bumi yang diduga oleh Sapto dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) berada di kawasan bekas Perhutani, yang kini menjadi wilayah Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango. Pada tahun 2003, terjadi penambahan kawasan lahan bekas perhutani di wilayah Balai Besar Taman Nasional Gede Pangrango dari semula 15.000 hektar menjadi 24.000 hektar.
Kawasan itu memang merupakan wilayah hutan konservasi yang dilarang digunakan kegiatan apapun sesuai aturan Undang-undang 5 tahun 1990 tentang konservasi. Namun, karena sebagian lahan sudah digunakan kebun garapan masyarakat, ia bersama instansinya belum bisa mengeluarkan masyarakat dari lahan yang memiliki luas kurang lebih 100 hektare.
Sapto menegaskan kembali bahwa proyek geothermal hanya akan menggunakan lahan di kawasan Taman Nasional maksimal seluas 5 hektare. Tidak akan mencaplok lahan seluas kurang lebih 100 hektare tersebut.
Menurut Sapto, adanya proyek geothermal atau apa pun akan selalu ada dampak positif dan negatif mengiringinya. Hanya tinggal menimbang seberapa besar rIsiko dan dampak yang akan ditimbulkan oleh proyek.
“Itu kan tinggal bagaimana Amdal dan bagaimana kemudian dampak negatif bisa diminimalisir oleh mitigation plan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), kalau dampak positif jelas karena panas bumi energi terbarukan yang memang program prioritas untuk menggantikan PLTU energi fosil batu bara yang emisi karbonnya besar dan mencemari lingkungan,” pungkas Sapto.
Trimurti.id telah menghubungi PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) via surel [email protected] pada 23 Agustus 2023 untuk meminta keterangan atau melakukan wawancara. Namun, upaya kami nihil dan tidak mendapat balasan apa pun.
Pada Kamis, 7 Agustus 2020, kami juga mencoba menghubungi nomor kantor PT Dian Swastatika Sentosa (PT DSS), induk perusahaan PT Daya Mas Geopatra Energi DMGE) dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Kami berhasil terhubung dengan PT DSS ketika salah satu operator perempuan mengangkat panggilan telepon kami.
Operator perempuan itu menanyai apa keperluan kami menghubungi kantor PT DSS yang berada di Jakarta. Usai menjelaskan keperluan kami untuk meminta keterangan atau melakukan wawancara kepada humas PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP), kami diminta untuk menunggu, lalu sang operator perempuan itu mengaktifkan mode hold telepon yang hanya berisi hymne Sinar Mas yang diputar berulang-ulang kali.
Setelah menunggu lima menit lamanya, sang operator perempuan mengangkat kembali telepon seraya meminta kami untuk mengirim daftar pertanyaan wawancara melalui surel [email protected] agar nanti kami akan disambungkan dengan humas PT.Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP). Hingga laporan ini ditulis, PT DMGP tidak memberikan tanggapan apa pun.
Epilog
Ratusan warga Desa Cipendawa, Desa Sukatani, Desa Sindangjaya, Desa Ciherang, Desa Ciputri hingga Desa Cugenang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP) kembali bergerak. Mereka berkonvoi dengan sepeda motor sembari membawa spanduk penolakan proyek geothermal dan menggeruduk kantor Kecamatan Pacet, Rabu, 6 September 2023.
Aksi geruduk kali ini dipicu dengan surat undangan sosialisasi yang diberikan oleh Kecamatan Pacet dan PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) kepada 20 orang yang diklaim mewakili Desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur.
Aliansi kecewa karena tidak ikut dilibatkan dalam sosialisasi. Seolah mereka tidak diakui sebagai warga negara bagian Cianjur yang akan terdampak oleh proyek geothermal di kaki gunung Gede Pangrango. Bagi Aliansi, dampak sosial-ekologis tidak dapat diwakili oleh 20 orang saja.
Selain itu Aliansi curiga karena sosialisasi dilakukan secara diam-diam di Desa Cipendawa. Namun, pihak kecamatan Pacet berdalih jika Desa sukatani tidak memiliki bangunan aula.
Suasana cukup tegang saat warga sempat beradu mulut dengan Satuan Polisi Pamong Praja yang ikut mengawal acara sosialisasi dengan aparat kepolisian dan babinsa TNI. Namun, tak berlangsung lama suasana kembali tenang saat camat mempersilakan Aliansi memasuki ruangan untuk berdialog.
Lagi-lagi dialog tidak membuahkan hasil: kekhawatiran dan pertanyaan warga terkait dampak proyek geothermal terhadap ruang hidup yang mereka tempati tidak bisa terjawab.
Reporter: Rinaldi Fitra
Editor: Iman Herdiana
*Reportase ini merupakan bagian dari kerja kolaboratif yang diinisiasi LBH Bandung dan BandungBergerak.id dengan dukungan Kurawal Foundation
*Artikel ini telah mengalami penyuntingan atas permintaan dan demi keamanan narasumber