Trimurti.id, Bandung – Ratusan pekerja harian lepas berbaris sepuluh lapis mengikuti perintah sang operator. Raut wajah mereka terlihat tegang. Keringat tetap bercucuran di tubuh mereka meskipun malam itu kota depok sedang dingin-dinginnya. Sang operator melengos ke barisan paling depan sambil mengedarkan pandangannya pada gerak-gerik setiap pekerja. Ia melirik gawai miliknya, yang menunjukan pukul sebelas malam, dan menganggukan kepala pada operator lainnya.
“Heh, denger gua. Jongkok lu semua!”
Teriakan itu memecah keheningan bangunan belasan lantai yang terkesan menyeramkan. Seturut dengan gelegar suara itu, operator yang berjumlah 30 orang membagi tiga kelompok dan berpencar ke setiap barisan. Mereka memeriksa setiap sudut bagian badan para pekerja ini. Barang-barang seperti gawai, tas, jam tangan, celana panjang, sandal jepit bahkan gelang karet tak boleh berada di lokasi tempat kerja.
Seluruh pekerja harian lepas hanya diizinkan menggunakan kaos oblong, celana pendek, dan sepatu kets. Hal itu pun tak luput dari pemeriksaan para operator. Teza—bukan nama sebenarnya—salah satu dari ratusan pekerja harian lepas, malam itu terkena apes. Saat operator merogoh saku celana Teza, operator itu tanpa pikir panjang menggunting saku celana miliknya.
“Kenapa saku celana saya digunting?” tanya Teza.
“Ya udah gini SOP-nya dari perusahaan.” sergah operator dengan nada datar.
Untuk sekedar informasi, perusahaan swasta yang memiliki jenama ekspedisi berwarna jingga ini sengaja membuat standar operasional (SOP) yang rumit agar dapat meminimalisir kasus kehilangan barang yang akan dikirim kepada pelanggan. Tak peduli perasaan para buruh yang senantiasa diburu rasa curiga setiap bekerja.
Sesi pemeriksaan usai, para pekerja harian lepas yang masih berbaris mulai menerima pembagian kerja dari operator. Ratusan pekerja harian lepas mendapat bagian kerjanya masing-masing. Mulai dari bagian scan paket yang bertugas mendata jumlah paket masuk, bagian sortir yang bertugas memilah-milah jenis paket ringan-berat serta bagian runner indoor yang membawa paket dari mobil mini truk pengangkut paket ke dalam gudang, hingga mencocokan dengan kode wilayah pengiriman.
Kelegaan Teza dan para pekerja harian lepas lainnya hanya berlangsung sesaat. Mungkin sekitar 15 menit, sesudah pekerja harian lepas mulai bekerja di dua gudang yang penuh timbunan paket. Para operator seakan kesurupan setan penunggu gedung tersebut. Mata mereka menyala, dan nada suara meninggi kembali.
Nasib sial kembali menghampiri Teza. Ia yang tengah kewalahan membawa troli berisi timbunan paket dari mobil sembari mencocokan dengan kode wilayah pengiriman, kena marah sang operator.
“Eh Anj***! lu kerja lelet banget ngen***!”
“Ini kita belum target, ini 12.12 lu malah luha-lehe. Aduh gimana sih lu!”
Teza bergeming, dan memilih untuk tidak meladeni kelakukan operator itu. Segala sumpah serapah hanya ia bisa pendam di lubuk hatinya. Tak lama setelah Teza kena makian, terjadi adu mulut antara pekerja harian lepas dan salah satu operator lainnya.
“Eh lu bisa kerja gak ngen***?!”
“Lu ada masalah apa bang? Gue kan udah ikutin apa kata abang masih aja dimarahin.”
“Lu gak terima? kalo gak terima cabut dah dari sini. Cabut-cabut sono!”
Pekerja lepas yang juga kawan Teza itu segera pergi dan meninggalkan gudang tanpa sepatah kata pun, ketika operator itu masih sibuk mengumpat. Seolah tak ada pilihan kata-kata yang tersedia selain ‘Anj***’, ‘ngen***’, ‘anak har***’ dan lain sebagainya.
Waktu menunjukan pukul empat pagi, para pekerja lekas beristirahat. Akhirnya pekerja dapat melepas lelah. Namun, masalahnya untuk melangkah keluar gedung saja dipersulit. Para pekerja harian lepas harus memindai barcode absen istirahat. Dimana antrean absen ini pasti memangkas waktu istirahat yang hanya diberikan selama empat puluh lima menit saja.
Setelah Teza berhasil keluar gedung, ia langsung meneguk air putih lalu membakar rokok filternya. Duduk sambil memperhatikan gedung yang digunakan menjadi gudang oleh perusahaan ekspedisi tersebut.
Di tengah kelelahannya, Teza yang diikuti pekerja harian lepas lainnya, menghampiri kawannya yang berseteru dengan salah satu operator. Rupanya perseteruan di gudang cukup menyita pekerja harian lepas lainnya. Mereka menanyakan bagaimana pertengkaran bisa terjadi dan siapa yang memulai terlebih dahulu.
Saat sibuk bergunjing, salah satu pekerja harian lepas yang sudah lama bekerja di gudang bercerita. “Bang, kalo di sini emang keras kerjanya. Harus kuat-kuat abangnya. Yang paling nih parah, gara-gara keseringan dimarahin sama operator. DW (Daily worker) kaya kite nih ngegebukin tuh operator sampe mampus di luar gudang,”
Menurut sang pekerja senior itu, upaya baku hantam di luar jam kerja menjadi pelampiasan akibat tekanan kerja yang sangat gila. Amarah yang terpendam adalah bom waktu yang akan meledak dengan sendirinya. Hanya butuh sedikit percikan untuk memantiknya.
Jam istirahat usai saat adzan subuh berkumandang, Teza dan ratusan pekerja harian lepas kembali bekerja di gudang. Suara dengan nada tinggi dari para operator terdengar tiada henti hingga shift kerja usai pukul sembilan pagi.
Sisa Basian Paket dan Konyolnya Jam Loyalitas
Hari berikutnya, Teza sudah berada di gudang sejak pukul 11 malam. Berharap mendapat shift kerja pukul 12 malam, namun apa daya dirinya terlambat. Vendor atau pihak ketiga menempatkan Teza pada shift berikutnya, pukul dua dini hari. Seperti biasa Teza mengganti pakaian dengan rompi futsal yang diberi selotip berwarna di bagian lengan dan berbaris untuk mendapatkan perintah kerja .
Menyoal rompi futsal, rompi adalah penanda yang dikenakan pekerja harian lepas. Pembeda antara mereka dengan pekerja tetap dan kontrak yang menjabat sebagai operator. Rompi ini tidak gratis. Pekerja harian lepas baru macam Teza harus menebusnya seharga Rp 35.000 beserta OPS (Operating System) yang berfungsi sebagai mengintegrasikan sistem absen, upah, dan lainnya.
Vendor yang menjadi calo pekerja harian lepas ini menyuruh pekerja harian lepas datang dua jam sebelum shift kerja di mulai. Tak diketahui apa musababnya, pekerja harian lepas hanya mengikutinya saja tanpa bisa mempertanyakannya.
Setelah sesi baris-berbaris, Teza mulai bekerja seperti biasa. Pada shift ini, ia diperintah sang operator untuk menyortir paket. Namun karena lupa, Teza malah membawa troli pengangkut paket ke arah luar gedung. Salah satu operator yang melihat lantas memaki Teza.
“Aduh lu gimana sih Anj***. Bisa kerja ga lu?!”
“Maaf bang saya lupa, trus ini gimana saya bang?”
“Nih bocah malah nanya. Ngen***! Sana-sana nyortir lu!”
Teza menyortir langsung paket-paket yang berserakan tersebut. Tak lama dari itu Teza menemukan sesuatu yang ganjil. Beberapa kode wilayah pengiriman memiliki nomor dan angka yang mirip, tak ingin bertindak gegabah, Teza bertanya pada salah satu operator yang sedang berdiri mengawasinya. Namun lagi-lagi, Teza harus menundukan kepala dan mendinginkan hatinya.
“Makannya lu kerja jangan banyak bengong. Ini liat target masih banyak, kerja-kerja lagi sono!”
Pekerjaan menyortir cukup terlihat mudah, tapi bayangkan paket yang Anda disortir berjumlah ribuan bahkan ratusan ribu. Begitu pula dengan Teza. Ia harus memilah paket bulky (paket berukuran kecil-sedang) dan paket karungan (paket berukuran besar) dalam hitungan detik.
Kondisi tempat kerjanya pun tak kalah memprihatinkan. Memang air kemasan galon tersedia, tapi tak ada gelas satupun yang disediakan majikan. Majikan hanya memotong botol air mineral sebagai wadah minum. Tentu saja Teza harus mengantri giliran untuk sekedar melepas dahaga. Sementara tumbler atau gelas plastik tidak boleh terlihat di gudang tempat kerja.
Sesudah minum, Teza kebelet buang air kecil. Sialnya lagi, ia disuruh mengantri untuk digeledah terlebih dahulu oleh sang operator. Usai digeledah barulah pintu kamar mandi terbuka. Sungguh merepotkan sekali.
Saat Teza bekerja di hari kedua, 12 Desember memang sudah berlalu. Tapi tidak dengan ‘basian’ paket yang tersisa dari kampanye dan promosi jenama. Tentu saja para pekerja harian lepas yang akan membereskan sisa-sisa paket yang belum terkirim. Dari informasi yang Teza dapatkan, pada musim diskon 12.12 tiba jumlah paket yang diantarkan oleh perusahaan ekspedisi dapat mencapai jutaan paket.
“Pokoknya tiap ada angka cantik atau tanggal merah, pasti diskon gede-gedean. Diskonnya gede, tekananan kerjanya juga gede.” ucap Teza (24) kepada Trimurti 28 Desember 2023.
Majikan dan vendor akan melakukan banyak hal untuk mencapai target di musim diskon. Selain membuat banyak shift kerja, menyewa tempat produksi baru dan memburu banyak buruh harian lepas, mereka akan memperpanjang jam kerja buruh-buruhnya. Misalnya di hari Teza bekerja, ia tak langsung diperbolehkan untuk pulang. Salah satu operator memerintahkan pekerja harian lepas bekerja setengah jam lagi.
Mereka seharusnya pulang pada pukul satu siang, namun karena “jam loyalitas” mereka baru bisa meninggalkan gudang pada pukul setengah dua siang. Seperti namanya “jam loyalitas” tidak dihitung sebagai jam kerja, dan tidak masuk dalam pembayaran upah lembur.
Singkat cerita shift kerja usai, Teza langsung memacu sepeda motornya menuju kamar indekos kawannya. Ia terkapar tak berdaya hingga 10 jam lamanya. Saat terbangun tengah malam suhu tubuhnya meninggi, dan demam merubuhkan kondisi kesehatannya. Teza tanpa berpikir dua kali, langsung memutuskan untuk pulang keesokan harinya.
Majikan hanya membayar Teza sebesar Rp135.000 untuk satu shift kerja. Hingga laporan ini diturunkan, Teza baru menerima upah untuk satu shift kerja yang berdurasi 9-12 jam kerja.
Reporter: Baskara Hendarto
Editor: Rokky Rivandy