Trimurti.id, Bandung – Cerita ini bermula ketika aplikator membentuk Satuan Tugas (SATGAS). Konon, unit khusus ini dipersiapkan untuk menengahi konflik antara opang (ojek pangkalan) dan ojol (ojek online) di beberapa wilayah Indonesia.
Kala itu, konflik tumbuh akibat ojol dituduh merebut penumpang di wilayah opang beroperasi. Tak pelak pertikaian terjadi dimana-mana, dan zona merah ditetapkan menjadi lokasi yang haram bagi ojol mengambil penumpang. Bak pahlawan kesiangan, Satuan Tugas (SATGAS) yang dibentuk aplikator hadir sebagai mediator konflik yang akan membawa perdamaian.
Atas desakan serupa, unit khusus ini juga dibentuk tak lama sejak kemunculan Gojek di Bandung Raya tahun 2015. Tetapi tak hanya mengendus namanya saja—-yang mengambil akronim kemiliteran—-beberapa anggota dan tugas yang dilakukan unit ini pun sangat mencerminkan peran aparat: menjaga stabilitas keamanan sebuah wilayah.
Dari segi keanggotaan, Satuan Tugas (SATGAS) Gojek diisi beberapa nama yang berprofesi menjajakan jasa keamanan. Misalnya, Eli Hermanus Obisuru. Pria yang pada tahun 2017 menjabat sebagai Brigadir Polisi (Brigpol) aktif ini tercatat pernah mengunggah beberapa foto aktivitasnya sebagai Satuan Tugas (SATGAS) Gojek pada tahun yang sama.
Dalam foto yang ia unggah di akun Facebooknya itu, Eli Hermanus tampak duduk di depan kantor Gojek kota Bandung ditemani oleh ketiga orang lainnya.
“Siap meeting Team SatGas Gojek Ops Bandung. Tetap salam 3 jari..,” tulis Eli Hermanus dalam akun foto yang ia unggah pada 26 Februari 2018 tersebut.
Eli Hermanus bukan satu-satunya polisi aktif yang menjadi anggota SATGAS (Satuan Tugas) Gojek. Ada Lamhot Eduardo Sianturi yang pada tahun 2020 berpangkat sebagai Brigadir Polisi (Brigpol). Dalam foto yang diunggah di akun Facebooknya tersebut, ia tampak bersama dua anggota Satuan Tugas (SATGAS) lainnya di kantor Grab. Satu diantaranya adalah Eko Ludiyanto, perwakilan Satgas yang ikut mendirikan Komunitas Ojol Bandung Raya untuk menyatakan deklarasi dukungan Jokowi pada 2019.
Kembali ke cerita Eduardo Sianturi. Pria yang berasal dari Unit Gegana Brigade Mobil (BRIMOB) Kepolisian Daerah (POLDA) Jawa Barat ini, rupanya pernah mengunggah sebuah surat perintah patroli di wilayah Majalaya, Agustus 2020. Di bulan yang sama, buruh-buruh PT. Sinar Baru Algensindo, Majalaya, Kabupaten Bandung tengah gencar melakukan protes terkait kebijakan upah murah. Patut diduga, Eduardo juga ikut ditugaskan untuk meredam aksi buruh.
Selain prestasinya dalam menjinakan bom dan protes buruh, Eduardo juga piawai dalam menjinakan merpati. Ia sering mengunggah beragam prestasinya dalam menjuarai Liga Persatuan Merpati Tinggi Indonesia (PMTI). Melihat rekam jejak tersebut, nampaknya manajemen Gojek Bandung ingin meniru prestasi yang diraih Eduardo tersebut untuk ‘menjinakan’ komunitas ojol di Bandung Raya.
***
Setelah dibentuk tahun 2015, Satuan Tugas (SATGAS) Gojek lantas melakukan tugas-tugas untuk memediasi konflik antara ojol dan opang. Namun, seperti disinggung pada awal tulisan sebelumnya, mediasi yang dilakukan tidak benar-benar menghadirkan perdamaian melainkan hanya menjadi pelumas guna memuluskan aplikator untuk memperoleh driver. Suatu hari, Satgas pernah kedapatan memanfaatkan kuasa mereka untuk mengintimidasi ojol.
Dikutip dari kumparan.com, seorang ojol di Bandung tercatat sempat ditodong pistol oleh anggota Satuan Tugas (SATGAS) bernama Yudi Menpo. Penodongan itu terjadi pada 7 November 2021, saat Cahyana hendak menanyakan kebijakan penyesuaian tarif dari aplikator. Cahyana datang bersama ketiga orang temannya sesama driver. Namun mereka diperintahkan keluar oleh Yudi, dengan alasan ingin berbicara empat mata dengan Cahyana.
“Saya disuruh duduk sendiri, yang lain diminta keluar. Saya sendiri di samping terus (dia) memperlihatkan HP terus nanya ‘ieu naon maksudnya (ini apa maksudnya)?‘. Terus dor (tembakan) sia ulah macem-macem ka aing (kamu jangan macam-macam sama saya,” kata dia kepada Kumparan.com
Tabiat Satuan Tugas (SATGAS) rupanya tak hanya mengancam driver yang protes. Pada lain kesempatan mereka juga terkenal dengan watak piciknya. Dikutip dari jabar.pojoksatu.id karena kelakuan busuk inilah, puluhan ojol di Bandung melakukan protes pada 24 November 2015 di depan Gedung Sate.
“Driver gojek terintimidasi oleh satgas. Kemitraan ingin jelas, harusnya saling menguntungkan bukan hanya sepihak saja,” ujar Korlap Aksi Ara di sela orasi.
Ara lanjut menjelaskan bahwa adanya denda pelanggaran diatur oleh aplikator, justru dimanfaatkan sebagai celah oleh Satuan Tugas (SATGAS) untuk mengeruk keuntungan.
“Tapi yang harus dibayar itu, mencapai jutaan. Dan ada semacam surat pernyataan yang harus ditandatangani. Kami minta pihak manajemen untuk menjelaskan kebijakan ini,” katanya.
Pada kesempatan lainnya, Satuan Tugas (SATGAS) aplikator juga getol ‘menternak’ komunitas. Setidaknya ada dua cerita yang ditemukan terkait sepak terjang unit ini dalam membentuk komunitas. Cerita pertama adalah pada 22 Desember 2016. Dalam notulensi rapat yang dipublikasikan pada Facebook Koalisi Mitra (KOMIT) Gojek, tertulis bahwa forum tersebut jelas menyebutkan Satuan Tugas (SATGAS) Gojek dan driver sepakat melahirkan forum driver GoJek murni (The Real GoJek Driver) di bawah naungan SATGAS. Catatan rapat yang diunggah juga mencantumkan sosok yang sebelumnya telah disebutkan dalam tulisan ini: Eko Ludiyanto. Diketahui pula bahwa pria yang berperawakan kekar ini rupanya adalah komandan SATGAS di wilayah Bandung Raya.
Eko paling kiri menggunakan baju loreng
Sepak terjang Eko sebagai Satuan Tugas (SATGAS) aplikator dalam membentuk komunitas juga terendus pada unggahan facebook Koalisi Mitra (KOMIT) Gojek lainnya. Pada unggahan tertanggal 3 April 2017 tersebut, Eko tercatat tercatat ikut menyepakati dan mengukuhkan lahirnya komunitas Driver Gojek Bandung Raya yang berisi 32 ojol. Pada kesempatan ini pula lah narasi ihwal ‘Bandung Damai’ dan ‘Bandung Kondusif’ mula-mula hadir dan digaungkan di beberapa komunitas.
Narasi soal perdamaian dan kondusifitas tersebut juga muncul dalam deklarasi dukungan Komunitas Ojek Online Bandung Raya terhadap Jokowi dan Ma’ruf Amin pada Sabtu 9 Februari 2019. Lagi-lagi sosok Eko juga muncul di seputar wacana kondusifitas dan perdamaian ini.
”Yang pasti kehadiran ribuan Pengemudi Ojek Online di acara ini hanya ingin Indonesia tetap bersatu dan tidak ada permusuhan,” terangnya kepada jabareskpres.com.
Peran Satgas Dalam Akumulasi Kapital Aplikator
Dari temuan mengenai Satuan Tugas (SATGAS) aplikator–baik secara keanggotaan dan sepak terjangnya–dapat dibaca melalui konsep Aparatus yang pernah diungkapkan oleh Louis Althusser. Konsep Aparatus yang dicetuskan oleh Althusser mulanya memang ditujukan untuk membedah bagaimana Kapitalisme menggunakan peran Negara untuk membuatnya tetap eksis sebagai sebuah sistem ekonomi-politik yang dominan.
Dengan melihat Gojek dan Grab atau aplikator lainnya sebagai unit bisnis yang digerakan berdasarkan moda produksi kapitalisme, konsep ini dapat dikatakan masih relevan untuk mengurai fungsi-fungsi Satuan Tugas (SATGAS) dalam menjaga keberlangsungan proses akumulasi nilai-kapital perusahaan.
Namun sebelum membahas bagaimana aplikator menggunakan aparatus untuk menjaga kelangsungan bisnisnya, saya akan menguraikan dahulu apa sebetulnya komoditi yang dijajakan oleh perusahaan seperti Gojek dan bagaimana perusahaan semacam ini mengakumulasi kapitalnya.
Pertama-tama, sebagai sebuah perusahaan dengan model bisnis gig economy, Gojek dan Grab sejatinya tidak memperdagangkan layanan ride-hailing sebagaimana yang kita ketahui selama ini.
Hal ini juga ikut terkonfirmasi melalui pernyataan CEO Gojek saat itu, Nadiem Makarim. Dalam sebuah wawancaranya dengan asia.nikkei.com pada tahun 2019. Nadiem sempat mengatakan bahwa pendapatan terbesar perusahaan bukanlah bersumber dari layanan Go Ride, melainkan dari pembayaran Gopay dan Go Food.
“Transportasi online […] hanya menyumbang kurang dari seperempat dari total transaksi Gojek. Makanan sangat besar dan pembayaran lebih besar lagi,” tuturnya, sebagaimana dikutip asia.nikkei.com 30 Mei 2019.
Masih dikutip dari sumber yang sama, Nadiem bahkan menyatakan perusahaannya membangun bisnis ini (layanan antar penumpang) dengan asumsi bahwa transportasi online hanya akan mencapai titik impas (tidak untung, tidak juga merugi).
Selang beberapa tahun selanjutnya, barulah pernyataan dari Nadiem tersebut terkonfirmasi dengan lebih jelas. Dengan mergernya Gojek dan Tokopedia menjadi perusahaan terbuka, sejumlah data perusahaan kini dapat diakses secara bebas.
Trend perusahaan yang mengatakan bahwa mereka mengalami kerugian. Justru dibantah oleh Gojek sendiri dalam laporan tahunan GOTO 2019 & 2022, diketahui bahwa perusahaan mengalami kenaikan dari segi pendapatan, transaksi dan pengguna.
Pendapatan Bruto On-Demand GOTO 2019-2022
Dikutip dari Laporan Tahunan GOTO 2019 dan 2022, Gojek memang sempat mengalami penurunan pendapatan dari tahun 2019 sebesar Rp7,544 Miliar menjadi Rp7,483 Miliar 2020. Namun. pada tahun 2020 sampai 2022, jumlah tersebut terus mengalami kenaikan dari Rp10,270 Miliar pada tahun 2021, menjadi Rp13,560 Miliar di tahun 2022.
Sama dengan Pendapatan Bruto On-Demand Service GOTO dari tahun 2019 sampai dengan 2022, Nilai Transaksi Bruto On-Demand Service di periode yang sama juga mengalami kenaikan.
Nilai Transaksi Bruto On-Demand 2019-2022
Masih dari sumber yang sama, pada tahun 2019 sampai dengan 2020 GOTO Nilai Transaksi Bruto On-Demand Service memang sempat mengalami penurunan. Dari yang tadinya berjumlah Rp56,061 Miliar menjadi Rp40,181. Sedang pada tahun 2021 ke 2022 jumlahnya mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari Rp50,313 menjadi Rp61,611.
Jumlah kenaikan pendapatan dan transaksi tersebut nampaknya memang merupakan dampak dari kenaikan jumlah pengguna Gojek. Hal ini setidaknya ditunjukan lewat laporan Momentum Works (Katadata.co.id) pada tahun 2022.
Rincian Jumlah Pengguna Gojek Tahun 2022
Meski terdapat penurunan jumlah pengguna dari tahun 2021 sebesar 67 juta pengguna menjadi 64 juta pengguna pada tahun 2022, sebagaimana dijelaskan sebelumnya pendapatan dan transaksi Gojek justru mengalami kenaikan.
Gojek pun diketahui tidak menjadikan layanan antar penumpang, barang dan makanan sebagai komoditi yang diperjualbelikan. Dalam laporan tahunan GoTo 2022, bahkan seluruh layanan tersebut tidak termasuk ke dalam kegiatan usaha utama perusahaan.
Coba tengok poin kegiatan usaha yang paling akhir. Keterangan itu menyebutkan bahwa GoTo justru menawarkan layanan pengolahan dan tabulasi serta segmentasi data. Namun, tidak disebutkan data apa yang diolah oleh perusahaan ini.
Menyoal ini, Syarif Arifin melalui esainya di Indoprogresss pernah memaparkan bahwa data tersebut merupakan data yang diinput ke dalam aplikasi ketika orang mendaftar sebagai pengguna aplikasi baik driver, seller maupun user atau pengguna jasa layanan yang dijajakan oleh aplikator baik Gojek maupun Grab.
Lebih lanjut Syarif menjelaskan, “ini adalah langkah awal pencaplokan informasi sebagai bahan baku menyiapkan komoditas. Bagi aplikator, informasi diri, tujuan perjalanan, pilihan pembayaran, dan informasi spesifik lainnya adalah barang dagangan. Ketika mengaktifkan aplikasi, pengguna dengan sukarela menyediakan informasi sebagai bahan baku komoditas sekaligus target penerima iklan produk,” jelas Syarif dalam esainya yang berjudul Di Balik Kenikmatan Kita Menikmati Transportasi Online.
Lalu bagaimana dengan jasa pengolahan, tabulasi dan segmentasi data yang disebutkan oleh GOTO dalam kegiatan usaha utama mereka? Dan bagaimana Gojek mengakumulasi nilai-kapital mereka?
Seluruh jasa pengolahan data tersebut konkretnya adalah iklan yang muncul di notifikasi Anda, saya dan banyak orang lainnya yang menggunakan aplikasi Gojek. Iklan tersebut dapat sama, dapat juga berbeda. Dengan kata lain, Gojek melakukan serangkaian pengumpulan data pengguna melalui biodata yang diisi pada saat mendaftarkan akun, dan menggunakan data tersebut untuk menawarkan jasa iklan yang lebih tertarget dan terukur kepada mereka yang hendak beriklan.
Mengapa terukur dan tertarget? Sebab seluruh data dikumpulkan oleh Gojek merupakan data yang secara berkala diperbaharui oleh pengguna aplikasi. Semakin sering pengguna menggunakan aplikasi, semakin rutin juga data tersebut diperbaharui.
Nah sekarang–mengulangi pertanyaan sebelumnya–bagaimana Gojek sebagai perusahaan mengakumulasi kapitalnya?
Sebelum itu, mari kita tengok definisi menyoal kapital. Marx (dalam Mulyanto, 2018: 59) menyatakan bahwa kapital tidak hanya terdiri atas sarana-sarana produksi, perkakas-perkakas kerja dan bahan baku, bukan hanya produk-produk material; ia juga terdiri dari nilai-nilai tukar. Semua produk yang terkandung di dalamnya adalah komoditi-komoditi.
Sesuatu dapat dikatakan sebagai komoditi apabila sesuatu tersebut mengandung setidak-tidaknya nilai-guna dan nilai-tukar. Nilai-guna adalah kapasitas barang dalam memuaskan kebutuhan tertentu. (Mulyanto, 2018: 70). Dalam hal ini, data yang dikumpulkan oleh Gojek dan aplikator lainnya seperti Grab merupakan komoditi sebab data tersebut mengandung kedua nilai. Baik nilai-tukar untuk dipertukarkan dengan sejumlah uang, dan nilai-guna yang digunakan sebagai informasi untuk menargetkan iklan.
Dengan demikian, apabila menilik siklus akumulasi kapital Gojek, maka driver atau ojol memiliki ciri khusus sebagai tenaga kerja, sebagaimana yang disebutkan oleh Marx (dalam Mulyanto, 2012: 101-102). Bahwa, ciri khusus tersebut dilatarbelakangi karena tenaga-kerja sebagai komoditi memiliki ciri khusus yaitu mampu menghasilkan nilai baru alih-alih membuat nilai tersebut susut.
Watak kapitalisme memang menuntut adanya produksi nilai baru. Sebab ciri perekonomian kapitalis adalah produksi berkelanjutan. Semua usaha bukan dijalankan untuk satu putaran. Akhir satu putaran merupakan awal putaran berikutnya (Mulyanto, 2012: 132).
Di sinilah peran Aparatus Represif diperlukan untuk menjaga keberlangsungan putaran atau siklus tersebut agar tetap beroperasi. Dalam konteksnya dengan negara, Repressive State Apparatus (RSA) menurut Althusser mewujud dalam berbagai institusi seperti polisi, militer, dan peradilan yang menegakkan hukum dan peraturan melalui paksaan dan hukuman (On The Reproduction Of Capitalism, 2014: 214).
Sementara pada tatanan bisnis yang dikendalikan oleh perusahaan Gojek, peranan Aparatus Represif ini dipegang oleh SATGAS. Unit ini–sebagaimana yang disebutkan dalam tulisan sebelumnya–nyatanya memiliki wewenang untuk menegakkan aturan melalui paksaan bahkan kekerasan.
Agar perusahaan seperti Gojek dapat terus menjual data perilaku penggunanya yang dapat berubah atau berbeda dalam kurun waktu tertentu, cara kerja paten aplikasi harus terus dipertahankan.
Itulah mengapa dalam beberapa tahun ke belakang, SATGAS seringkali diberitakan melakukan sweeping praktik order fiktif yang dilakukan oleh driver, penggunaan tuyul atau pemalsuan koordinat GPS serta modifikasi aplikasi. Driver yang kedapatan melakukan pelanggaran akan dikenakan sanksi berupa denda dan putus mitra.
Dalam sebuah berita yang dipublikasikan di Facebook PRFM News Channel 2 Desember 2015, sejumlah motor miliki driver di Bandung yang kedapatan melakukan order fiktif bahkan sempat ditahan. Mereka juga menyebutkan sempat dikenakan denda hingga menyentuh angka Rp9,1 juta.
Kerugian yang dialami oleh Gojek boleh dibilang tidaklah signifikan apabila driver dapat menyiasati aturan aplikator dan algoritma dalam memperoleh uang bonus melalui praktik order fiktif. Namun, karena praktik inilah Gojek tidak memperoleh data kebiasaan penggunanya secara berkala sebagai komoditi utama yang mereka perdagangkan.
Untuk itu Gojek dan aplikator semacamnya secara berkala melakukan pembaruan atau upgrade terhadap sistem aplikasinya. Bugs atau celah-celah yang mungkin memunculkan praktik manipulasi dari driver sebisa mungkin diminimalisir. Sebab algoritma adalah instrumen kontrol utama milik aplikasi.
Woodcock dan Graham (dalam Keban et.al, 2021: 15) menjelaskan bahwa jenis pekerjaan gigs berbasis massa atau crowd based capitalism yang mengharuskan pekerjanya tertambat pada suatu lokus geografi atau Geographically Tethered Work seperti ojek online, taksi online, jasa antar makanan dan jasa pembersihan ruangan sangat menekankan pada peranan algoritma untuk menjaga biaya produksi tetap rendah sekaligus mengelola tenaga kerja secara masif.
Apa yang dimaksud dengan biaya produksi tetap rendah dalam kacamata pemilik modal, adalah pemangkasan berbagai rantai managerial yang akan boros jika dilakukan oleh manusia. Lee (dalam Woodcock & Graham, 2020: 62) menyebutkan penggunaan manajemen algoritmik (berfungsi untuk) menjaga biaya tetap rendah dan memberikan cara baru untuk mengelola tenaga kerja yang tersebar secara geografis dan terukur secara efektif.
Pekerjaan dalam gigs economy, menurut Lee dapat ditugaskan dan dievaluasi melalui kode dan data, tanpa perlu campur tangan manusia. Hanya ada sedikit peluang untuk umpan balik, negosiasi atau kemungkinan untuk memperdebatkan keputusan, yang menghasilkan transparansi yang sangat kecil bagi para pekerja. Ini adalah kelanjutan dan intensifikasi dari proses outsourcing yang lebih panjang serta meminimalkan biaya dan risiko pada platform (Woodcock & Graham, 2020: 62).
Lee juga mengungkapkan bahwa algoritma rupanya tidak hanya berfungsi untuk memangkas biaya. Ia juga berkontribusi terhadap pemutakhiran kontrol aplikator terhadap pekerjanya.
Praktik ini kemudian lebih rinci dijelaskan oleh Alessandro Gandini melalui Labour Theory Process-nya Harry Braverman. Dalam jurnal yang berjudul Labour Process Theory and The Gig Economy tersebut, Gandini menyatakan bahwa di luar peran mereka sebagai perantara pasar, platform bertindak sebagai lingkungan di mana relasi kapital-tenaga kerja diberlakukan pada pekerja.
Sama halnya seperti manajerial dan pengorganisasian kerja di dalam pabrik dan kantor, para pekerja gig masuk ke sebuah aplikasi dan menjadi tunduk pada otoritas eksternal yaitu aplikator atau platform. Kontrol tersebut menurut Gandini dapat terbagi ke dalam beberapa bentuk seperti pada bagan berikut:
Sumber: Alessandro Gandini, Labour Process Theory and The Gig Economy. 2018 halaman 5
Berbagai bentuk kontrol tersebut semakin menjelaskan relasi yang timpang antara pekerja, pemakai jasa dan platform, sebagaimana telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian. Relasi yang timpang ini, sekaligus membantah klaim bahwa model bisnis seperti Gojek, Grab dan Uber sebagai sharing economy atau ekonomi berbagi yang–menurut Anindya Dessi Wulansari (dalam Keban et.al, 2021: 4)–dianggap memberdayakan jutaan individu, membuat sarana produksi (seperti rumah, laptop, motor, atau mobil) yang sebelumnya tidak produktif menjadi dapat menghasilkan nilai ekonomi, memberi kesempatan bagi jutaan orang untuk melarikan diri dari pekerjaan yang terikat dengan sejumlah aturan kerja, jam kerja, dan lokasi kerja, serta menjadi bentuk ekonomi yang memberi fleksibilitas kerja dan independensi
Mitos-mitos terselubung eksploitasi yang terjadi pada gigs economy hanya dimungkinkan melalui peran platform atau aplikator–sebagaimana telah disebutkan sebelumnya–sebagai lingkungan di mana relasi kapital-tenaga kerja diberlakukan pada pekerja.
Dengan melihat relasi antara driver dengan aplikator sebagai relasi majikan-buruh, driver tak punya kuasa apapun selain terus bekerja. Tak peduli dalam keadaan apapun, hujan-panas petir, atau tornado bergemuruh, selama aplikasi menyala para driver harus memacu kemudinya untuk senantiasa memberi kontribusi berupa penambahan laba bagi aplikator.
Sementara itu, Satuan Tugas (SATGAS) mendapat tugas khusus mengawasi gerak-gerik komunitas ojol dan memastikan kondusifitas (baca: bisnis) tetap terjaga. Para driver tak berdiam diri saja, praktik-praktik menyiasati kecurangan algoritma dan aplikasi yang menjadi alat eksploitasi sempat dilakukan sebagai bentuk perlawanan atas kondisi kerja yang buruk dan tidak adil. Namun, SATGAS bergerak cepat membasmi praktik-praktik yang dicurigai aplikator sebagai hal yang merugikan bahkan dikhawatirkan tumbuh-tumbuh menjadi bibit perlawanan.
SATGAS tak ubahnya centeng-centeng di industri perkebunan atau pabrik-pabrik manufaktur di kawasan industri dari majikan-majikan super kaya bermobil Lexus seri terbaru; yang memiliki hobi plesiran ke luar negeri kapanpun dia mau, yang hanya sesekali datang untuk melongok laporan keuangan tahunan perusahaan, dan yang menikmati seluruh kekayaan dari hasil keringat buruhnya.
Satu hal lagi, ciri-ciri majikan akan selalu sama: ia akan melakukan segala cara agar bisnisnya tidak terganggu. Seperti yang dilakukan Aplikator membentuk SATGAS untuk mengontrol keamanan bisnisnya dan menaklukan komunitas ojol yang memprotes kebijakan tarif murah, jam kerja panjang, serta upah yang tidak layak.
*)Tulisan ini adalah bagian dari seri tulisan #DibawahKontrolAplikator. Setiap tulisannya merupakan hasil temuan Trimurti sepanjang Februari-Desember 2023 dari berbagai komunitas ojol di Bandung Raya.
DAFTAR PUSTAKA
Liputan6.com (2015, 7 Juli) Cegah Intimidasi Ojek Pangkalan, GO-JEK Bentuk Satgas https://www.liputan6.com/news/read/2267392/cegah-intimidasi-ojek-pangkalan-go-jek-bentuk-satgas
Eli Hermanus Obisuru Wtt. Facebook.com (2018, 26 Februari) Siap meeting Team SatGas Gojek Ops Bandung… Tetap salam 3 jari.
https://www.facebook.com/photo/?fbid=415219285602175&set=pb.100013423207962.-2207520000
Eduardo Sianturi. Facebook.com (2016, 10 September)
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1161608923895737&set=pb.100001399221732.-2207520000.&type=3
Jabarekspress.com (2019, 11 Februari) Komunitas Ojol Bandung Raya Dukung Jokowi Dua Periode
https://jabarekspres.com/berita/2019/02/11/komunitas-ojol-bandung-raya-dukung-jokowi-dua-periode/
Eduardo Ebd. Facebook.com (2020, 7 Agustus)
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=3267908083265800&set=pb.100001399221732.-2207520000.&type=3
Kumparan.com (2021, 9 November) Ojol Bandung Ditodong Pistol Satgas Internal saat Klarifikasi Penyesuaian Tarif
Pojoksatu.id (2015, 25 November) Merasa Diperas Manajemen Para Driver Gojek Bandung Menggelar Aksi Mogok
KOMIT GOJEK (2017, 15 Januari) Notulensi Pertemuan Antara Satgas Internal Go-Jek Bandung Bersama Driver Go-Jek Bandung Kamis, 22 Desember 2016
Nikkeiasia.com (2019, 30 Mei) After Uber flop, Go-Jek says it doesn’t need ride-hailing to profit https://asia.nikkei.com/Editor-s-Picks/Interview/After-Uber-flop-Go-Jek-says-it-doesn-t-need-ride-hailing-to-profit
Liputan6.com (2023, 20 Maret) GoTo Catatkan Rugi Bersih Rp 40,4 Triliun di 2022, Ini Penyebabnya https://www.liputan6.com/saham/read/5238535/goto-catatkan-rugi-bersih-rp-404-triliun-di-2022-ini-penyebabnya
Katadata.co.id (2023, 18 April) Tren Jumlah Pengguna GoTo Gojek dan Grab, Siapa Paling Cepat? https://katadata.co.id/desysetyowati/digital/643e43ec9803e/tren-jumlah-pengguna-goto-gojek-dan-grab-siapa-paling-cepat
Syarif Arifin. Indoprogress.com (2022, 4 November) Di Balik Kenikmatan Kita Menikmati Transportasi Online
https://indoprogress.com/2022/11/di-balik-kenikmatan-kita-menikmati-transportasi-online/
Althusser, Louis. (2014). On the Reproduction Of Capitalism. Verso Books. London.
https://legalform.files.wordpress.com/2017/11/althusser-on-the-reproduction-of-capitalism.pdf
Gandini, Alessandro. (2018) Labour Process Theory and The Gig Economy. Human Realtion, Journal. King’s College, London, UK.
https://www.researchgate.net/publication/327735549_Labour_process_theory_and_the_gig_economy
Keban et.al. Desember (2021). Menyoal Kerja Layak dan Adil Dalam Ekonomi Gig di Indonesia. IGPA Press, Yogyakarta.
Penulis: Ilyas Gautama
Editor: Anita Lesmana