Categories
Telusur

Korban Penggusuran Taman Sari: Mengungsi di Tengah Pandemi

Trimurti.id, Bandung—Silviana Indriani (38) menengadahkan kepalanya ke langit-langit Masjid Al-Islam, Tamansari, Bandung. Ia berusaha menahan air di ujung dua bola mata yang hampir menetes, saat menceritakan hari-hari penuh ketidakpastian yang dilalui di tempat pengungsian.

Saat ditemui Trimurti.id pada Rabu, 23 Desember 2020 lalu, sudah satu tahun lebih perempuan yang disapa akrab Lia ini, bersama keluarga dan belasan warga RW 11 Tamansari, mengungsi. Mereka tinggal di bawah atap bangunan masjid berlantai dua itu. Entah sampai kapan. Nasib mereka belum kunjung menemui titik terang. “Terus terang, saya sudah tidak kuat,” kata Lia dengan suara bergetar. Beberapa saat mulut perempuan berumur 38 tahun itu terdiam, hingga sanggup kembali melanjutkan ceritanya.

Foto sejumlah warga yang bertahan di Masjid
Foto sejumlah warga yang bertahan di Masjid/Trimurti.id

Sejak tiga tahun yang lalu, Lia menolak melepaskan lahan yang sudah ia tempati selama bertahun-tahun. Bertahan menolak melepas lahan selama tiga tahun bukanlah masa yang mudah baginya. Tapi sejak penggusuran terjadi pada Kamis, 12 Desember 2019,  Lia dan keluarganya serta 59 korban lainnya terpaksa mengungsi.

Masih segar dalam ingatan kejadian ketika Enjo (40 tahun) suaminya, berdebat dengan petugas kepolisian. Tangisnya meledak ketika tubuh suaminya limbung dan ambruk ke tanah akibat dihujani pukulan. “Saya dan anak-anak cuma bisa nangis melihat Bapaknya anak-anak digituin sama polisi,” ucapnya.

Pada hari itu, Lia dan seluruh warga RW 11 Tamansari, yang menolak pembangunan rumah deret di Tamansari memang sama sekali tak menduga penggusuran akan datang begitu cepat. Ia meyakini, Pemerintah Kota Bandung tidak berhak menggusur warga Tamansari karena lahan yang diambil alih adalah tanah warga. Ia meyakini pemerintah tidak memiliki bukti sertifikat atas lahan di Tamansari.

Lia dan warga Tamansari telah menempuh semua langkah, dari mulai menemui dan berbicara dengan para pejabat pemerintah, berdemonstrasi, hingga melancarkan gugatan ke pengadilan. Semua upaya itu rupanya tak cukup untuk menahan langkah pemerintah.

Ia mengaku tak bisa melupakan kejadian saat Pemerintah Kota Bandung mengerahkan aparat  mengusir warga yang masih bertahan di RW 11, Tamansari dan menggerakkan alat berat. Rumahnya rata dengan tanah. Ia menyaksikan peristiwa itu dari lantai atas Masjid Al-Islam, yang penuh kepulan gas air mata. Sejak hari itu, Lia dan belasan warga lainnya hidup di tempat pengungsian di ruangan masjid berukuran 16 x 6 meter itu.

Awalnya, Lia membayangkan bahwa hidup di tempat pengungsian tak akan terlampau sulit. Karena sesudah kejadian yang penuh kekerasan itu, solidaritas untuk korban penggusuran mengalir dari berbagai pihak. Mereka yang bersimpati mengulurkan bantuan makanan, pakaian, hingga  uang.

Relawan datang silih berganti, menyumbangkan tenaga untuk menggerakkan dapur umum, atau sekedar datang untuk menghibur para korban. Namun, memasuki Februari 2020, wabah COVID-19 merebak. Semua orang menahan diri untuk bepergian, sedapat mungkin tinggal di rumah. Relawan yang dulu biasa datang tak banyak lagi nampak karena pandemi yang terus meninggi.

Masjid yang awalnya ramai ditinggali 26 kepala keluarga (59 jiwa) menjadi lebih longgar karena sebagian meninggalkan tempat pengungsian. Saat ini tersisa 13 jiwa dari tiga keluarga yang bertahan  di lantai atas masjid. Keluarga Lia adalah salah satunya.

Lia sadar di tengah wabah yang belum kunjung reda, tetap tinggal di pengungsian sangatlah berisiko. Menjaga jarak, untuk menghindari persebaran virus cukup sulit. Ruang untuk tidur dan melepas lelah hanya tersekat tumpukan pakaian dan barang. Kondisi ini cukup berisiko buat pengungsi. Apalagi jumlah kasus COVID-19 di Bandung terus meningkat.

Tidak hanya jumlah kasus COVID-19 yang terus meningkat dan merisaukan Lia serta pengungsi Tamansari lainnya. Jumlah kematian yang tinggi juga merisaukan mereka.

Tak heran meski tidak mudah, sebagian memilih pindah.  Ada yang menumpang, tinggal di rumah kerabat, atau memilih kos. Sedangkan Lia dan beberapa keluarga memilih bertahan di masjid itu.

Dana sumbangan yang terkumpul sedikit demi sedikit mereka gunakan bertahan hidup dengan membuka usaha kecil-kecilan. Ada yang membuka warung kopi seduh, ada pula yang menjadi pengumpul dan penjual barang bekas. Demikian pula dengan Lia. Bersama dengan seorang teman, ia berjualan nasi dan ayam geprek di pelataran masjid.

Lia sadar, dia tak mungkin selamanya menggantungkan hidup dari dana sumbangan. Enjo, suaminya, belum berencana mencari pekerjaan baru, lantaran tak ingin pergi jauh dari Tamansari, mengantisipasi penggusuran lanjutan. Lantaran lahan untuk pembangunan rumah deret juga mencakup masjid. Dia tak mau istri dan kedua anaknya sendirian menghadapi situasi genting itu. Ia pun memilih membantu istrinya. “Saya khawatir jika sewaktu-waktu Pemerintah Kota Bandung menggusur masjid,” kata Enjo.

Tapi, membuka usaha di tengah wabah tidaklah mudah. Sudah beberapa minggu warung mereka sepi pembeli. Pendapatan mereka berkurang drastis. Selama ini mereka mengharapkan pengunjung dan pekerja di pusat pertokoan Balubur Town Square, yang letaknya hanya sepelemparan batu dari lahan parkir masjid, sebagai pembeli. Sejak pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), toko-toko banyak tutup, pengunjung pusat pertokoan banyak berkurang.

Malangnya, mereka tak memiliki kulkas untuk menyimpan bahan-bahan makanan agar tetap segar. Jika ada sisa dagangan, terpaksalah Lia sekeluarga menyantapnya sendiri untuk makan malam. “Kalau dipikir-pikir seringnya rugi. Kalau tidak laku kami harus harus ganti modalnya,” jelas Lia.

Ketika Trimurti menyambangi, dagangan Lia tampak lebih laris dari biasanya. Sejak siang hari, banyak orang berdatangan ke Tamansari. Pasalnya, Rabu, 23 Desember 2020 itu  merupakan penutup rangkaian acara yang dihelat untuk memperingati satu tahun penggusuran Tamansari.

Peringatan satu tahun penggusuran Taman Sari/Trimurti.id

Mereka berkumpul di sebuah lahan kosong di belakang masjid, di atas puing bangunan. Para pendukung perjuangan warga Tamansari bergantian angkat bicara di sebuah panggung sederhana. Mereka menyampaikan dukungan terhadap perjuangan warga Tamansari. Serta menuntut Pemerintah Kota Bandung untuk bertanggung jawab. Karena penggusuran tahun lalu itu menyebabkan warga mengalami luka-luka dan mengalami kerugian.

Bagi Lia, menjalani hidup di pengungsian dengan mengandalkan penghasilan tak seberapa dari berjualan ayam geprek, membuatnya sempat mempertimbangkan untuk melepaskan tuntutan dan menerima uang ganti rugi dari pemerintah. Hal yang tak kalah menjadi pikirannya, proyek pembangunan rumah deret saat ini sudah memasuki tahap pembangunan pondasi. Tapi, ada alasan lain, yaitu Azzam Malik Ikhwan (6 Tahun) dan Wimala Nathania (11 Tahun), kedua anaknya yang masih duduk di kelas 1 dan 5  bangku sekolah dasar. “Tahun ini, betul-betul berat,” sambil menyandarkan bahu di dinding Masjid sambil menarik nafas panjang.

Ia mengatakan, selama tinggal di pengungsian, kurang memberikan perhatian pada kedua anaknya. Ia pun tidak dapat mendampingi anaknya belajar secara daring karena harus berjualan. Mendapati anak-anaknya kehilangan semangat belajar, Lia kadang hilang kesabaran dan memarahi kedua anaknya. “Aku suka malu. Namanya di pengungsian, warga yang lain kadang liat,” tuturnya, “Saya sedih kalau anak-anak nanya, kapan pindah, kapan pulang ke rumah.”

Malam itu, pukul 22.00, Lia baru selesai menutup kios ayam gepreknya yang berukuran 2 meter persegi, dan merapikan peralatan. Tangannya masih basah, usai mencuci piring-piring kotor. Ia menyeka peluh di dahi dan beranjak menggendong Azzam yang sudah tertidur.

Dia mendaki tangga menuju lantai atas masjid. Di balik tumpukan pakaian dan beberapa barang miliknya, Lia, Enjo, Azzam dan Wimala serta warga pengungsi lainnya membaringkan badan. Melepas lelah dan sejenak melupakan pertanyaan yang tak kunjung terjawab tentang kepastian nasib mereka.

Tamansari, Rumah bagi Sambas Sadikin

Bah Geot’ adalah sapaan akrab pria berumur 60-an tahun ini. Lahir, tumbuh besar, dan menjalani masa tua di Tamansari. Kedua kaki Sambas Sadikin ibarat sudah tertanam di kampung itu. Baginya, Tamansari ada untuk selamanya. Suatu pagi buta pada Januari 2020, setelah semalam suntuk bekerja sebagai tenaga keamanan di salah satu tempat hiburan malam, Sambas berjalan kaki pulang.

“Dwaaak!,” tiba-tiba terdengar suara keras. Tanpa sadar kepala Sambas beradu dengan pagar seng pembatas yang dipasang pihak kontraktor mengitari reruntuhan Tamansari. Ia menceritakan suara benturan itu membuat orang-orang terjaga dari tidur. Bukan hanya mereka yang terkejut. Sambas juga demikian. “Astagfirullah,” ucap Sambas sambil menepuk jidatnya mengulang peristiwa itu.

Dia benar-benar lupa, rumahnya kini sudah rata dengan tanah. Jalan menuju rumahnya dulu sudah dipagari lembaran seng 3×2 meter. Ari Dermawan (22 tahun) saat itu sedang berada di tempat kejadian, segera menghampiri Sambas. Ari lalu mengantarnya sampai ke lantai atas Masjid-Al Islam, hampir tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Sedih, saya cuma bisa bantu sebisa saya,” ucap Ari mengingat kejadian pagi itu.

Ari cukup memahami kondisi Sambas. Sudah beberapa bulan mahasiswa ini bekerja sukarela membantu warga yang bertahan di tempat pengungsian. Apa saja dia kerjakan. Baginya, dalam kesusahan sesama rakyat harus saling membantu.  “Pemerintah sudah jelas berlaku sangat sewenang-wenang. Jadi saya kira sudah sulit untuk mengharapkan bantuan mereka. Lebih baik kita-kita ini yang bergerak membantu,” tegasnya.

Membangun Harapan di Antara Puing Reruntuhan

Namanya, Eva Eryani Effendi (50 Tahun). Rambutnya ikal. Wajahnya pernah sangat dikenal, karena foto dan videonya melawan penggusuran Tamansari, 12 Desember 2019, tersebar luas di media sosial. Salah satu foto dan video itu mengabadikan kejadian yang menggetarkan banyak orang. Eva mengacungkan tongkat di hadapan sekumpulan petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Apa yang dikehendaki Eva jelas terdengar dalam satu satu rekaman video. Dalam bahasa Sunda dia menghardik, “Buka bajuna! Gelut jeung aing! Bejakeun ka si Oded aing teu tarima imah aing digusur. Aing teu tarima usaha aing ngilu ancur. (Buka bajunya! Ayo berantem sama saya! Beritahu [wali kota Bandung] Oded. Saya tidak terima rumah saya digusur. Saya tidak terima usaha saya ikut hancur)”

Mendengar itu, wajah salah seorang petugas nampak kecut. Meski dihujani makian, pasukan berseragam coklat itu tetap membongkar rumah warga. Tamansari, pemukiman yang sudah dihuni warga sejak 1961. Kejadian hari itu tak akan mudah hilang dari ingatan Eva dan seluruh warga yang digusur.

Eva lahir di Bandung. Dia baru berumur tiga tahun ketika orang tuanya pindah ke Tamansari dan tinggal bersama kakeknya. Masa kecil dan sekolah dilaluinya di Tamansari. Memasuki usia dewasa, dia merintis usaha konveksi rumahan.

Ditemui pada 1 Januari 2021, dia menggali sedikit kenangan tentang usaha konveksinya. “Kalau jam segini mah, saya biasanya masih cuting (memotong) bahan. Pas di pojok itu, tuh,” ujarnya, sambil menunjuk sebuah area lahan, yang saat ini pondasi bangunnya sudah tertimbun batu bata, tanah, dan sampah plastik.

Bangunan tempat usaha Eva dahulu berdiri di lahan itu. Di tempat itu, Eva biasa begadang hingga larut malam untuk menuntaskan pesanan pelanggannya. “Pernah sekali mah saya ketiduran di situ, sangking dikejar-kejar pesanan,” lanjutnya.

Foto Tempat Konveksi Eva/Trimurti.id

Usaha konveksinya sempat besar dan mampu mempekerjakan beberapa orang. Tapi sepanjang 2017-2019, usahanya terus merosot, karena perkembangan pembangunan rumah deret di Tamansari. Apalagi sejak rumah digusur, usaha konveksi ikut hancur.

Saat penggusuran terjadi, ia kalang kabut di bawah tembakan gas air mata, dan asap membumbung di atap rumahnya. Api mulai menjalar ke dalam rumah. Ketika warga akhirnya berhasil memadamkan kebakaran itu, gulungan kain bahan produksi dan tumpukan pakaian jadi siap kirim semua sudah menjadi abu.

Tidak hanya itu, barang-barang pribadi hancur, raib entah kemana. Termasuk mesin-mesin jahit dan lima unit monitor komputer. Kerugian yang harus ia tanggung akibat barang yang rusak dan hilang mencapai Rp40 juta. Kerugian tersebut belum termasuk dengan rumah yang hancur.

Sesudah usaha konveksinya hancur lebur, Teh Eva –begitu dia biasa dipanggil- sesekali bekerja sebagai pemotong kain di pabrik konveksi milik seorang teman. Jadwalnya tak menentu, kadang seminggu sekali. Namun, sudah lebih dari seminggu dia tidak menerima panggilan untuk bekerja. Menurut temannya, usaha konveksi sedang sepi karena pandemi.

Eva sebisanya berkebun di lahan-lahan kosong di antara reruntuhan bangunan untuk mencukupi kebutuhan makan. Sejak pertengahan COVID-19, tahun lalu, dia menanam beberapa jenis sayuran seperti kangkung, bayam, dan pakcoy. Tanaman jagung, sempat rimbun, belum lama ini punah. Mati karena ceceran semen dari proyek pembangunan rumah deret pada 17 Desember 2020 lalu.

Siang itu, selagi bersantai di bangunan darurat yang didirikan di tengah puing reruntuhan, Eva mendengar suara bising. Ia mendapati kebun jagungnya sudah tertutup semen. Ia pun sempat memrotes. Tapi tak ayal, sejak itu beberapa tangkai jagung mulai menguning layu. Selebihnya roboh tertimpa debu semen dan bebatuan. Tanahnya berubah warna menjadi abu-abu, dan mengeras.

Foto Pembangunan Rumah Deret/Trimurti.id

Surat Kepemilikan Pemerintah Kota Bandung Tidak Sah

Proyek rumah deret Pemerintah Kota Bandung, saat ini sudah memasuki tahap pembangunan pondasi. Pengendara yang melintasi Jalan Layang Pasupati akan dapat melihat crane yang terpasang melintang antara lahan penggusuran dan wilayah pemukiman Kebon Bibit.

Pembangunan rumah deret terus berjalan. Pemerintah Kota Bandung Bandung telah mengantongi surat Nomor 0001/Ling.Pem/Vll/2018/DPMPTSP tentang izin lingkungan pembangunan rumah deret di Tamansari dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bandung sejak 19 Juli 2018.

Izin itu terbit, sesudah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung tidak mengabulkan gugatan warga atas Surat Keputusan Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3) Nomor 5382/1352A/DPKP3/2017 tentang Penetapan Kompensasi Bangunan, Mekanisme Relokasi, dan Pelaksanaan Pembangunan Rumah Deret Tahun 2017.

Tapi, menurut Kuasa Hukum warga Tamansari, Riefqi Zulfikar, proses keluarnya izin tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan. Karena itu, pada 7 Desember 2019, warga Tamansari bersama Tim Advokasi kemudian kembali melayangkan gugatan. Kali ini terhadap izin lingkungan yang sudah diterbitkan.

Tidak hanya menyalahi aturan. Proses penerbitannya pun dianggap tidak partisipatif, tanpa bertanya kepada warga. “Izin tersebut menyalahi aturan, melanggar asas-asas pemerintahan yang baik. Secara prosedural, izin tersebut menimbulkan dampak yang buruk bagi warga yang masih tinggal di wilayah Tamansari,” kata salah seorang anggota Tim Advokasi, Heri Pramono Staf Riset dan Kampanye LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Bandung saat diwawancarai pada 25 Desember 2020.

Dalam putusan PTUN Nomor 19/G/LH/2019/PTUN.BDG tanggal 19 Desember 2019, majelis hakim menyatakan tidak menerima gugatan warga. Mereka menyatakan bahwa pembangunan rumah deret sah sesuai prosedur. Putusan itu menyebutkan  bahwa izin lingkungan yang diterbitkan telah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, di  antaranya, sudah mencantumkan Keterangan Rencana Kota dan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).

Heri Pramono menilai majelis tidak konsisten melihat aturan. Izin lingkungan seharusnya mengacu kepada surat sertifikat tanah. Ia meyakini sesuai Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1950, yang menjadi dasar kuat kepemilikan tanah adalah sertifikat hak milik.

Sedangkan surat yang dikantongi Pemerintah Kota Bandung saat ini adalah Soerat Djoeal Beli Tanah No. 10/38 Tanggal 25 Februari 1938 dari dari Nana Soekarna seluas 835 tumbak persegi; Surat Zegel Tanggal 16 April 1930 berasal dari Nji Oenti seluas 592 tumbak persegi; dan Surat Zegel tanggal 17 Februari 1930 dari Aswadi seluas 422 tumbak persegi. Surat-surat itu dahulu itu dimiliki Gementee Bandoeng atau Pemerintah Kota Bandung pada Zaman Kolonial Belanda. “Surat Jual Beli Tanah dari Gementee Bandung yang disebut Pemerintah Kota Bandung sebagai bukti kepemilikan lahan itu tidak mencerminkan bukti hak milik pemerintah,” kata Heri.

Heri menambahkan, segala aset pemerintah yang masih berlandaskan pada hukum kolonial telah dihapuskan semenjak berlakunya Undang-Undang (UU) Pokok Agraria Tahun 1950. “Sementara itu, warga secara rutin membayar Pajak Bumi Bangunan (PBB), warga menunjukkan itikad baik untuk dalam menduduki dan menggarap lahan tersebut,” ujarnya.

Ia pun menekankan, selama ini Pemerintah Kota Bandung belum mendaftarkan lahan tersebut ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini tertera pada Surat Keterangan Tindak Lanjut No. 1595/2.32.73/XI/2018 BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kantor Pertanahan Kota Bandung.

Dalam surat yang diterbitkan pada 1 November 2018 tersebut, BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kantor Pertanahan Kota Bandung menyebut permohonan hak atas kepemilikan tanah di RW 11 Tamansari, baik yang diajukan oleh warga maupun yang diajukan oleh Pemerintah Kota Bandung belum dapat ditindaklanjuti. Hal ini lantaran sebidang tanah tersebut belumlah clean and clear atau masih dalam sengketa di pengadilan.

Hal ini juga diperkuat dengan keterangan dari Didin Saripudin yang ketika itu menjabat sebagai Kepala Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kantor Pertanahan Kota Bandung. Keterangan ini ia sampaikan ketika warga Tamansari demonstrasi di Kantor Pertanahan Kota Bandung pada 26 Desember 2019 silam.

Dalam video dokumentasi warga tersebut, Didin menyampaikan pihaknya sampai saat ini belum mengeluarkan suatu hak apapun, baik warga maupun hak milik bagi Pemerintah Kota Bandung. “Proses sertifikasi tersebut harus clean and clear, tidak ada sengketa dan tidak ada permasalahan,” ungkap Didin di hadapan warga.

Lihat postingan ini di Instagram

Sebuah kiriman dibagikan oleh @tamansarimelawan

Namun kerika Trimurti mencoba mengkonfirmasi ulang perihal pernyataan ini via telepon dan pesan singkat, pihak BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kantor Pertanahan Kota Bandung tidak menjawab. Hingga tulisan ini diterbitkan belum ada tanggapan dari pihak terkait.

Dikutip dari cnnindonesia.com, yang dipublikasi pada Selasa, 14 Januari 2020, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Yulia Jaya Nirmawati mengatakan Kementerian ATR tak kunjung menerbitkan sertifikat lahan tersebut, baik untuk warga Tamansari maupun Pemerintah Kota Bandung.

“Kami enggak tahu, kami kan baru tahu ini,” ujarnya.

Namun, dalam siaran pers Pemerintah Kota Bandung yang dipublikasi lewat laman resmi humas.bandung.go.id, terdapat keterangan yang berbeda. Siaran pers yang diterbitkan tanggal 18 Januari 2020 itu menyatakan bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyebut sebagian besar lahan di Kelurahan Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan merupakan milik Pemerintah Kota Bandung.

Siaran pers itu menyebut bahwa pernyataan dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyoal tanah di Tamansari diperoleh dari siaran pers yang dikeluarkan oleh kementerian terkait. Namun, ketika Trimurti mencoba menelusuri laman atrbpn.go.id tak ditemukan siaran pers yang dimaksud oleh Pemerintah Kota Bandung.

Sementara itu, selain menggugat SK Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan (DPKP3), warga juga mempersoalkan dampak materil dan immateril dari peristiwa penggusuran Desember 2019. Selain kehilangan harta benda dan mengalami luka-luka, peristiwa kekerasan tersebut mengakibatkan trauma.

Dalam surat permintaan audiensi yang dilayangkan ke pihak pemerintah pada 22 Januari 2020 dan dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung pada 22 Februari 2020, warga menjelaskan bahwa penggusuran menyebabkan kerusakan dan kehilangan barang, penurunan tingkat sosial ekonomi serta penurunan kesehatan. “Kami sudah melakukan audiensi ke Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan juga Sekretariat (Sekda) Kota Bandung. Namun mereka masih enggan untuk menyanggupi tuntutan warga,” ungkap Deti Sopandi dari Human Right Defender, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Jawa Barat, salah satu tim advokasi warga, saat diwawancarai pada 1 Januari 2021.

Infografis upaya hukum yang ditempuh warga Tamansari/Trimurti.id

Saat audiensi dengan pihak pemerintah kota, warga Tamansari menyampaikan beberapa tuntutan. Yaitu menghentikan pembangunan rumah deret hingga lahan dinyatakan  clean and clear, melakukan sosialisasi, dan tidak menutup-nutupi informasi terkait pembangunan rumah deret. Selain itu, pemerintah kota seharusnya tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan benturan antara warga yang bersetuju dan yang menolak proyek pembangunan rumah deret tersebut.

Menurut Deti, bukannya mendengarkan tuntutan warga, pihak pemerintah kota malah mengalihkan pembicaraan ke soal besaran uang penggantian sebagaimana tercantum dalam SK DPKP3 tahun 2017, yang sudah ditolak oleh warga.

Berbeda dengan yang disampaikan oleh tim advokasi warga, menurut Idris Kuswandi, Kepala Bidang Penegakan Produk Hukum Daerah, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung, mengatakan telah dua kali lembaganya bertemu dengan warga. “Permintaan Eva cs (Warga tamansari yang masih  bertahan) itu  bukan ranah kami untuk mengabulkannya,” kata Idris menjelaskan, saat diwawancarai 14 Januari 2021 via telepon.

Ia bersikukuh tindakan yang dilakukan pemerintah sesuai aturan dan telah mengantongi izin mendirikan bangunan (IMB). “Kalau masih menghalangi pembangunan, itu yang wajib dipertanyakan,” kata Idris.

Sementara itu, hingga tulisan ini diterbitkan Wakil Walikota Yana Mulyana belum kunjung memberikan keterangan ketika berusaha di hubungi oleh Trimurti. Adapun Humas Kota Bandung Suhendro Drajad mengatakan bahwa pihaknya belum bisa memberikan keterangan karena harus meminta data dari DPKP3 (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan Kota Bandung). “Kan harus ada data dari DPKP3 sebagai leading sektornya,” ungkap Suhendro saat dihubungi Trimurti via pesan singkat Rabu 27 Januari 2021.

Lain halnya dengan Humas Kota Bandung, Dadang Darmawan selaku Kepala Dinas DPKP3 (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan Kota Bandung), beliau tidak menjawab panggilan telepon ketika dihubungi oleh Trimurti.

Warga Tamansari telah menempuh jalan terjal berliku yang panjang dan meletihkan. Sementara itu, di atas lahan yang disengketakan, pihak kontraktor pembangunan rumah deret membongkar pagar seng pembatas. Isyarat bahwa pembangunan rumah deret akan diteruskan.

Pembongkaran terjadi pada 13 Januari 2021. Eva dan Deti, yang saat itu berada di tempat kejadian, berusaha menghentikannya. Berulang-ulang mereka berkata, pihak kontraktor tidak berhak melakukan pembongkaran. “Pasang lagi! Pasang lagi!” kata Deti  kepada pekerja kontraktor. Tapi para pekerja tersebut tak menggubrisnya.

Trimurti mencoba menghubungi Rendiana Awangga Anggota Komici C DPRD Kota Bandung untuk menanggapi perihal pembongkaran yang dilakukan oleh pihak kontraktor. Namun, hingga Sabtu 30 Januari 2021, anggota Fraksi Nasdem ini belum kunjung bersedia untuk diwawancarai.

Sore itu pembongkaran seng tetap dilakukan. Jika terus berlanjut, pembangunan akan menjamah ke lokasi tenda darurat tempat warga bernaung. Menjelang petang, pukul 18.00, gerimis turun dan pembongkaran seng dihentikan. Pekerja proyek bergegas menuruni tumpukan batu beton untuk kembali ke pos mereka. Di sudut yang lain, Eva dan Deti tampak memindahkan barang-barang yang basah oleh tampias hujan.

Mengusir lelah, Eva melolos sebatang rokok di meja dengan jarinya. Sejenak ia menengadahkan kepala menghembuskan asap yang mengepul di langit-langit tenda. Tamansari sore itu diguyur hujan hingga malam. Suara hujan menghujam atap seng dari bangunan semi permanen di reruntuhan, bersahutan dengan suara dentaman logam, deru mesin dan teriakan para pekerja bangunan. Pembangunan rumah deret masih terus berjalan, sementara nasib warga tak kunjung jelas.[]

Reporter: Ilyas Gautama

Editor: Dachlan Bekti