Trimurti.id, Bandung—Selasa sore, 26 Januari 2021, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara online meluncurkan laporan tahunan yang memuat pengamatan dan komentar mereka terhadap situasi hukum dan hak asasi manusia di Indonesia sepanjang 2020.
Berdasarkan kasus-kasus yang ditangani oleh 17 kantor Lembaga Bantuan Hukum yang dinaunginya, YLBHI menyorot situasi hak asasi manusia, khususnya pada lima rumpun hak, yaitu: hak sipil, hak politik, hak atas pekerjaan, hak hidup, dan hak atas peradilan yang adil.
Menyangkut soal perburuhan dan ketenagakerjaan, YLBHI menyorot banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan, baik di sektor ekonomi formal dan informal, sesudah mewabahnya Covid-19. Mengutip data dari Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker), laporan ini mengatakan, jumlah orang yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja dan dirumahkan setidak-tidaknya menembus angka 3,06 Juta orang (hingga 27 Mei 2020).
Laporan ini juga menyebutkan, dampak hilangnya pekerjaan terlihat baik di sektor formal dan informal. Dampak yang serupa juga menimpa calon buruh migran yang urung diberangkatkan, buruh migran yang diberhentikan dari pekerjaan dan dipulangkan ke Indonesia, serta buruh-buruh yang bekerja dalam skema pemagangan. Sudah barang tentu, hilangnya pekerjaan dan pendapatan menyebabkan merosotnya kesejahteraan keluarga buruh.
Bagian lebih menarik dari laporan ini adalah tentang alasan yang biasanya dikemukakan oleh perusahaan atau majikan untuk memberhentikan buruh. Alasannya berturut-turut adalah: efisiensi, buruh melakukan kesalahan, volume produksi berkurang, dan perusahaannya pailit. Lantaran kelima alasan itu, buruh kehilangan perusahaan. Dari seluruh kasus perburuhan yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukum YLBHI, 58% kasus mengindikasikan adanya pelanggaran atas hak atas pekerjaan.
Arip Yogiawan, Ketua Bidang Kampanye YLBHI, menyinggung pula tentang kasus-kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak oleh perusahaan. PHK jenis ini, adalah yang paling banyak terjadi, dan kerap dilakukan dengan menabrak prosedur serta mengabaikan proses perundingan buruh dengan majikan.
YLBHI mencatat, tahun 2020 merupakan tahun yang suram bagi perburuhan di Indonesia. Bukan hanya ditandai oleh pelanggaran atas hak atas pekerjaan, juga hak atas kesehatan, serta hak untuk berserikat.
Kondisi tersebut diperburuk dengan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja (UU CK) pada awal Oktober 2020. Pengesahan undang-undang ini, bagi Arip Yogiawan, merupakan pukulan berikutnya sesudah terbitnya Peraturan Pemerintah 78 (2015) tentang Pengupahan, yang lebih menyandarkan penghitungan upah pada tingkat produktivitas dan pertumbuhan ekonomi daripada mempertimbangkan kebutuhan hidup buruh.
Satu hal yang selalu pasti, menurut Yogiawan, adalah tidak dilibatkannya buruh dalam pembuatan aturan ini. “Buruh selama ini dianggap objek, bukan subjek dalam urusan ketenagakerjaan,” ujar Yogiawan pada peluncuran laporan ini.
Yogiawan menambahkan, dengan terbitnya Undang-undang Cipta Kerja, kepastian kerja meluntur. Majikan dapat mempekerjakan buruh dengan jam kerja lebih panjang, upah murah dan tanpa kejelasan status kerja. Padahal, kepastian kerja merupakan jaring pengaman yang menyangga buruh ketika mereka diterpa keadaan sulit.
Dalam bagian terakhir uraiannya Yogiawan kembali menegaskan, sesudah disahkannya UU Cipta Kerja, daya tawar buruh akan semakin melemah dan pemenuhan hak atas pekerjaan malah akan menjadi lebih sulit.
Reporter: Ilyas Gautama
Editor: Agus Saragih