Categories
Telusur

COVID-19 dan Mewabahnya Pelanggaran Hak-Hak Buruh

Trimurti.id, Bandung – Afif sudah resmi jadi pengangguran saat saya berkunjung ke rumahnya di Majalaya, Bandung Selatan, 24 Desember 2020 lalu. Tiga bulan lalu dia memutuskan untuk berhenti bekerja dari PT Sinar Sari Sejati (PT SSS) karena merasa ada yang tidak beres.

Ia sudah empat tahun bekerja di perusahaan tekstil itu, dengan status yang tidak pernah beranjak dari buruh kontrak. Hingga bulan terakhir ia bekerja, majikan hanya mengupahnya Rp2,6 juta/bulan. Jauh di bawah upah minimum Kabupaten Bandung yang pada 2020 ini menyentuh angka sedikit di atas Rp3,1 juta.

Afif memang sudah terlanjur gusar melihat kondisi kerja di pabrik yang semakin tidak menentu. Setelah pandemi Covid-19 menerjang Bandung Selatan, hari kerja berubah, dari enam hari menjadi tiga hari. Pada hari kerja, majikan sering meminta buruhnya kerja lembur. Disebut sebagai kerja lembur pun sebenarnya sulit, karena upah lemburnya tidak dibayarkan.

“Aturannya gak jelas. Sekarang disuruh lembur, terus besoknya diliburin. Nah, uang lemburnya hilang, dimasukkan dan ditukar. (Pihak perusahaan) bilangnya ditukar buat nutup yang diliburin kemarin,” ujar Afif. Singkat kata, karena hari kerja berkurang, majikan tak mengakui jam kerja panjang sebagai lembur.

Satu hal lagi yang membuatnya curiga, perusahaan berencana untuk menjalankan program pemutihan. Skemanya begini, perusahaan akan memberhentikan semua buruh kemudian meminta mereka untuk kembali melamar kerja. Berapapun masa kerja mereka sebelumnya, buruh-buruh itu akan diterima kembali di pabrik, dengan status sebagai buruh baru.

Menurut pihak perusahaan, pemutihan itu bersangkut-paut dengan pembagian warisan di keluarga pemilik perusahaan. Konon pula, kepemilikan perusahaan sudah berubah. Menurut desas-desus yang Afif dengar, pemutihan status kerja merupakan keinginan pemilik baru perusahaan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM RI per 6 Januari 2021, saham PT Sinar Sari Sejati dimiliki oleh Chan Cho Ming, sebesar Rp16,3 milliar, dan Sarwiyati, sebesar Rp16,3 miliar. Keduanya memiliki posisi sangat penting di PT SSS, Chan Cho Ming menjabat sebagai direktur utama sedangkan Sarwiyati menjabat sebagai komisaris utama.

Dalam Surat Pengesahan PT SSS tanggal 29 Februari 2019, PT SSS belum melakukan pembaruan kepemilikan perusahaan selama dua tahun, artinya belum ada peralihan kepemilikan. Baik Chan Cho Ming dan Sarwiyati masih menjadi pemilik saham terbesar, dan masih menduduki kursi jabatan penting di pabrik tekstil tersebut.

Agar proses pemutihan dapat dimulai, perusahaan harus terlebih dahulu melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 400 orang buruh, seluruh buruh bagian produksi di PT SSS. Jika mengikuti ketentuan undang-undang, PHK buruh mensyaratkan proses perundingan serta persetujuan dari serikat buruh.

Afif curiga, tanpa sepengetahuan buruh-buruhnya, perusahaan diam-diam sengaja merekayasa pembentukan serikat buruh. Ia sudah mengendus kejanggalan ketika program pemutihan hendak dimulai. Perusahaan meminta buruh-buruh untuk mengumpulkan salinan (fotokopi) Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK).

Perusahaan pernah meminta Afif melengkapi biodata dan membubuhkan tanda tangan di atas secarik formulir isian. Tanpa dijelaskan untuk keperluan apa formulir isian itu dilengkapi. Teman-temannya yang lain pun mengalami hal yang sama.

Kepala Afif dipenuhi berbagai pertanyaan. Jangan-jangan pengisian formulir itu ada kaitannya dengan program pemutihan. Saking penasaran, Afif memberanikan diri bertanya pada pihak manajemen.

Dugaan Afif benar. Pembagian formulir ternyata berkaitan dengan pembentukan serikat buruh. Perusahaan mengaku bahwa di PT SSS sudah terbentuk sebuah serikat buruh.

“Yang tanda tangan (formulir) pasti jadi anggota,” ucap Afif.

Setidaknya ada dua kejanggalan. Pertama, semua buruh yang menandatangani formulir, tanpa dimintai persetujuan, sekonyong-konyong menjadi anggota serikat buruh. Kedua, serikat buruh yang baru terbentuk itu dihuni oleh tiga orang pengurus: Aripin (kepala bagian engineering boiler) sebagai ketua, Rizwan T Sutawijaya (wakil kepala personalia) sebagai sekretaris, dan Iis (bendahara perusahaan) sebagai bendahara.

Susunan kepengurusan organisasi dapat dilihat dari lampiran SK Pembentukan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) periode 2020-2023. Di bawah nama-nama pengurus tercantum nama Kepala Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Bandung Rukmana sebagai pembina utama muda di kolom pengesahan.

Afif hampir sepenuhnya yakin. Perusahaan menjalankan program pemutihan agar semua orang berubah status menjadi buruh kontrak. Dengan penghapusan masa kerja, perusahaan akan terhindar dari kewajiban membayar pesangon yang besar. Terakhir, semua urusan ini akan berjalan lancar berkat persetujuan dari serikat buruh, yang tak lain dan tak bukan hanya boneka perusahaan.

“Karena untuk pelaporan (pemutihan) ke dinas, di perusahaan itu harus ada serikat, jadi tidak bisa perorangan, harus pakai serikat,” kata Afif.

Sepanjang yang dia dengar dari teman-teman yang masih bekerja, program pemutihan sudah dijalankan dan sudah diterima oleh semua buruh. Buruh yang setuju masa kerjanya diputihkan menerima kompensasi sebesar Rp700 ribu dari perusahaan untuk setiap 1 tahun masa kerja. Seterusnya, termasuk bagi yang sudah bekerja lebih dari tiga tahun, diterima kembali bekerja sebagai buruh kontrak.

Afif sudah tidak banyak mendengar lagi kabar dari bekas tempat kerjanya.  Mengundurkan diri dari perusahaan, Afif berhasil merundingkan pesangon sebesar Rp21 juta. Sebenarnya, mengikuti UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 pasal 156 ayat 2 huruf (e) tentang pembayaran pesangon, dia merasa berhak mendapatkan pesangon sebesar Rp27 juta. Majikan mengaku tidak sanggup membayar pesangon sebesar itu.

***

PT SSS tampak mengurangi operasinya pada masa pandemi, tapi tidak demikian dengan PT Nirwana Alabare Garment (PT NAG). Menurut penuturan Riza (bukan nama sebenarnya), salah seorang buruh PT NAG, meski pandemi masih merajalela, mesin pabrik terus menyala. Perusahaan tetap menuntut buruhnya untuk terus bekerja, bahkan selama 14-20 jam sehari, untuk mengejar target produksi.

Perusahaan ini mengoperasikan pabrik di kawasan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung. Di tengah pandemi, mereka terus memproduksi baju, jaket, dan rompi. Asal tahu saja, PT NAG memasok produk untuk merek-merek terkenal, seperti H&M, Avirex, Logo, Oxygen, dan DMC.

Di tengah target produksi yang tetap tinggi yaitu sejumlah 700.000 pasang baju, jaket, dan rompi per bulan, perusahaan mengutak-atik status kerja buruh-buruhnya. Mereka yang semula berstatus kerja kontrak, diubah menjadi buruh harian lepas dan buruh borongan. Merosotnya status kerja adalah persoalan serius, karena bersangkut-paut dengan upah.

Riza bilang buruh kontrak saja hanya diupah Rp2,5 juta per bulan. Kalau status diturunkan menjadi buruh harian lepas, buruh hanya diupah Rp 100 ribu per hari, tanpa menerima upah lembur.

“Jadi buruh HL (harian lepas) sama borongan, jangan harap hak normatif bakal dipenuhi,” ucap Riza saat ditemui Trimurti.id pada Selasa, 5 Januari 2021. Hingga saat ini, 400 buruh bagian produksi di PT NAG berstatus buruh harian lepas.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM RI, per 6 Januari 2021, diketahui pula, saham PT Nirwana Alabare Garment dimiliki oleh Iwan Santoso sebesar Rp11,311 miliar, Sylvia Christiana Santosa sebesar Rp3,563 miliar, Syenni Santosa sebesar Rp3,563 miliar, dan Alex Ferdian Santoso sebesar Rp3,563 miliar.

PT NAG bernaung dalam Nirwana Group bersama lima anak perusahaan lainnya di wilayah Kabupaten Bandung. Mereka ialah PT Singa Global Tekstil, PT Soljer Abadi, PT Surya Santosa, PT Nirwana Abadi Santosa, dan PT Gunajaya Santosa. Alih-alih memenuhi hak buruh di PT NAG—seperti membayar upah secara layak, menetapkan status kerja buruh, dan jam kerja yang manusiawi–majikan justru memperpanjang jam kerja buruh dan membayar murah upah buruhnya di bawah ketentuan upah minimum Kabupaten Bandung (yang pada 2021 ada di angka Rp3.241.929,00).

Geram atas kondisi buruk di tempat kerjanya, buruh-buruh protes. Mereka menggelar demonstrasi pada 7 Desember 2020. Protes ditanggapi oleh perusahaan beberapa hari kemudian, 12 Desember 2020. Buruh-buruh yang terlibat protes dikirimi pemberitahuan bahwa mereka “dikualifikasikan mengundurkan diri.” Tapi, selain mengirimkan surat pemberitahuan itu, perusahaan menyelipkan secarik kertas tambahan berisi syarat-syarat untuk kembali diterima bekerja.

Menurut Riza, dengan mengirim surat seperti itu, perusahaan sedang menekan buruh-buruh yang memprotes kondisi kerja di pabrik. Riza melanjutkan, selain berkirim surat, cara lain yang lazim digunakan adalah dengan mengirim orang untuk menemui buruh di rumahnya masing-masing atau menghubungi anggota keluarganya.

Pada awal Januari 2021, PT NAG kembali mengirimkan surat pemberitahuan. Kali ini, sebelas orang buruh yang terlibat protes dikirimi surat pemutusan hubungan kerja (PHK). Surat itu dikirimkan ke alamat sebelas orang itu, dan harus segera ditandatangani. Karena takut kehilangan periuk nasi, menurut Riza, para buruh segera menerima berbagai syarat dari perusahaan agar dapat dipekerjakan kembali.

Intinya, untuk dipekerjakan kembali, para buruh diminta untuk mengabaikan kondisi kerja yang buruk. Para buruh diminta pengertian, bilamana perusahaan belum bisa memenuhi hak-hak para buruh.

Kalo mau kerja sok aja gapapa. Tapi harus ngerti sama kondisi perusahaan,” ujar Riza, salah seorang buruh PT NAG, menirukan ucapan pihak manajemen.

Hingga laporan ini diturunkan, sudah lima kali buruh-buruh PT NAG melancarkan demonstrasi. Perundingan dengan perusahaan sudah dua kali digelar. Namun demikian, titik permufakatan belum tercapai.

Saya kemudian menghubungi PT SSS melalui panggilan telepon pada 7 Januari 2021 sebanyak dua kali, dan diterima oleh pegawai administrasi perusahaan. Pada panggilan pertama, seperti administratur perusahaan umumnya, dia menanyakan nama, asal lembaga, dan keperluan yang hendak dituju. Setelah saya memperkenalkan diri dan memberitahukan keperluan wawancara pada pihak perusahaan, sang administratur perusahaan meminta saya menunggu hingga waktu istirahat selesai dan pihak manajemen perusahaan kembali ke kantor.

“Nanti telepon bapak lagi saja sesudah jam istirahat, ya,” ujar sang administratur.

Jarak 15 menit usai waktu istirahat, saya pun menghubungi ulang nomor kantor perusahaan itu. Lagi-lagi perempuan tersebut meminta saya menunggu. Kali ini, untuk memberitahukan panggilan telepon pada pihak perusahaan.

“Sebentar ya, pak,” ucapnya sambil mengaktifkan mode hold panggilan telepon.

Saya menunggu sekitar 3 menit lamanya. Dengan nafas yang cukup tersengal-sengal seperti orang habis berlari jauh. Sembari mengangkat teleponnya kembali, ia pun memberi kabar yang jauh dari harapan.

“Maaf, Pak, manajemen kantor sedang ada meeting di luar,“ ujarnya.

Mengetahui kabar tersebut, saya pun meminta nomor kontak pihak manajemen perusahaan. Administratur perusahaan yang tidak diketahui namanya itu enggan memberikan kontak pihak perusahaan dengan alasan akan mengganggu meeting pihak manajemen.

“Kan lagi pada meeting, ya, Pak. Jadi (pihak manajemen) gak bisa diganggu,” tegasnya.

Saya juga mencoba menghubungi PT NAG melalui pesan singkat pada 7 dan 8 Januari 2021 sebanyak dua kali dengan nomor ponsel PT NAG yang berbeda. Namun pesan singkat itu urung dibalas oleh pihak PT NAG. Hingga berita ini ditulis, kedua perusahaan tersebut tidak memberi tanggapan.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kabupaten Bandung Rukmana mengatakan bahwa dia sudah mengetahui persoalan yang terjadi di PT NAG. Rukmana mempercayai kedua belah pihak bisa menyelesaikan persoalan itu melalui perundingan bipartit.

“Selama kasusnya tidak masuk ke kita (Disnaker kabupaten Bandung), bisa diselesaikan secara bipartit, ya, bagus. Karena esensinya berkaitan perselisihan hubungan industrial itu bisa diselesaikan secara musyawarah mufakat di tingkat perusahaan,” ujar Rukmana pada Trimurti.id lewat sambungan telepon, 14 Januari 2021.

Dia menambahkan, jika kesepakatan urung tercapai, permasalahan antara buruh dan majikan bisa diselesaikan melalui perundingan tripartit.

Sementara soal pembentukan serikat buruh di PT SSS, Rukmana hanya mengatakan bahwa di perusahaan tersebut sudah terbentuk serikat buruh.

“Kalau serikat pekerja itu dia udah berserikat, serikatnya ada dan dibentuk. Dilaporkan ke kita dan kita mencatatnya,” jelasnya dari ujung telepon.

Soal pembentukan Serikat Buruh PT SSS, Ketua Dewan Perwakilan Cabang Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPC SBSI) Kabupaten Bandung Oman Suhamam angkat bicara.

Menurut Oman, pada suatu kesempatan dia pernah didatangi oleh sepuluh orang yang ingin membentuk serikat buruh di tempat kerjanya. Tanpa berlama-lama serikat buruh pun segera terbentuk di sana pada November 2020.

“Untuk kepengurusan (serikat) itu bebas-bebas aja asal sesuai dengan UU nomor  21 tahun 2001 tentang Serikat Pekerja, yang penting ada 10 orang (anggota),” ujar Oman.

Masalahnya, banyak buruh lain yang tidak tahu tentang serikat buruh baru itu. Namun mereka tercatat sebagai anggota. Oman bilang, saat itu memang ada kendala dalam hal sosialisasi keberadaan serikat buruh. Jumlah buruhnya banyak, sehingga sulit untuk melakukan sosialisasi.

Sementara, tentang pemutihan yang terjadi di PT SSS, Oman menjelaskan bahwa para buruh sudah bekerja kembali seperti biasa, dan buruh tetap menerima haknya. Ditanya tentang status kerja para buruh sesudah pemutihan, Oman menjawab, “Itu ‘kan saya juga belum tau nih sejauh mana dia menerima pemutihan, ada PB-nya (Perjanjian Bersama) atau gimana. Saya belum tindak lanjuti.”

Sebagai ketua DPC SBSI Kabupaten Bandung, Oman punya posisi tawar politik. Dalam pemilihan kepala daerah tahun ini, misalnya, serikatnya mendukung pasangan calon bupati dan wakil bupati Hj Nia Agustina dan H Hikman Sayogi JB. Alasannya, karena kedekatan serikatnya dengan Bupati Kabupaten Bandung periode sebelumnya, Dadang Naser, yang merupakan suami dari Nia Agustina.

“Saya juga melihat ada jasa dari Pak DN (Dadang Naser) untuk para serikat khususnya, ketika menggelontorkan dana hibah bagi serikat pekerja di Kabupaten Bandung,” jelas Oman. Dana hibah tersebut dicairkan tiap dua tahun sekali.

Menurut Oman, sepanjang dua periode masa jabatannya sebagai Bupati Bandung, Dadang Naser merangkul semua serikat pekerja. Para perwakilan serikat pekerja banyak dilibatkan dalam kegiatan pemerintahan daerah Kabupaten Bandung, seperti studi banding dan kunjungan kerja. Karenanya, Oman menekankan pentingnya menjalin hubungan baik dengan pemerintah Kabupaten Bandung dan Disnaker Kabupaten Bandung.

Saat ini DPC SBSI adalah salah satu serikat yang duduk di Dewan Pengupahan dan Lembaga Kerja Sama Tripartit Sabilulungan Kabupaten Bandung (LKS Tripartit Sabilulungan). Serikat lain yang ada di sana adalah SPSI, GASPERMINDO, dan SPN Kabupaten Bandung. Hanya serikat dengan keanggotaan besar yang dapat duduk di lembaga-lembaga tersebut. Berdasarkan verifikasi dari Disnaker Kabupaten Bandung, menurut Oman, jumlah anggota SBSI di Kabupaten Bandung adalah 11.000 orang.

Di pengujung wawancara, Oman mengatakan bahwa serikat anggota SBSI jarang sekali memiliki persoalan dengan perusahaan, apalagi membawa perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) maupun melapor ke Disnaker Kabupaten Bandung.

“Yang penting kita persuasif dengan pihak manajemen. Kalau hubungan emosionalnya terbangun dengan baik jadi enak beresin masalahnya,“ tegas Oman.

Bagi Oman, di saat krisis kesehatan Covid-19 ini, serikat buruh dan perusahaan harus tetap memikirkan agar perusahaan tetap eksis, sehingga pekerja tidak kehilangan pekerjaan dan tetap berpenghasilan.

COVID-19 dan Mewabahnya Pelanggaran Hak-hak Buruh_1/Trimurti.id

Buruh Murah dan Patuh, agar Ramah Investasi

Hermawan, Ketua Konfederasi Serikat Nasional (KSN), tak terkejut dengan persoalan yang terjadi di PT SSS dan PT NAG.

Menurutnya, persoalan perburuhan yang pelik memang sudah lama berlangsung di Kabupaten Bandung, terutama di wilayah penghasil tekstil dan sandang seperti Kecamatan Majalaya dan Solokan Jeruk.

Karena tingkat upah masih belum memenuhi kebutuhan, dia menganggap wajar jika setiap tahun selalu ada tuntutan kenaikan upah.

Hermawan bercerita, sesudah kenaikan upah tahun 2013-2014, para pengusaha mengancam hengkang dari Kabupaten Bandung dan hinggap ke negara-negara seperti Thailand dan Vietnam. Menanggapi hal itu, Bupati Bandung saat itu, Dadang Naser, segera berusaha meyakinkan para pengusaha untuk bertahan di Kabupaten Bandung. Dia menekankan pentingnya menciptakan kondisi ekonomi di Kabupaten Bandung tetap kondusif dan menguntungkan semua pihak, antara lain dalam sosialisasi kinerja Pemkab Bandung tahun 2013 dan sosialisasi program kerja tahun 2014 di Gedung Graha Wirakarya, Jalan Raya Laswi, Ciparay, Kabupaten Bandung, Rabu, 15 Januari 2014.

Tuntutan kenaikan upah bukan satu-satunya hal yang dikeluhkan pengusaha. “Selain upah terus naik, pengusaha mengancam hengkang karena (Kabupaten Bandung) sering banjir dan buruh yang sering protes,” jelas Hermawan, dalam wawancara dengan reporter Trimurti.id, Rabu, 6 Januari 2021.

Lebih lanjut Hermawan bercerita, usai ramai kabar pengusaha akan hengkang, pada tahun 2014 Pemkab Bandung membentuk sebuah forum bernama Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Sabilulungan Kabupaten Bandung yang akan berfungsi menjembatani pengusaha, pemerintah, dan serikat buruh, agar hubungan industrial tetap harmonis.

Kala itu Hermawan menduga bahwa lembaga tersebut akan mempengaruhi militansi serikat buruh dalam memperjuangkan hak-hak buruh. Benar saja, sejak LKS Sabilulungan dibentuk, momen-momen penting dalam sejarah perjuangan buruh seperti May Day, malah diisi kegiatan memancing, bakti sosial, tumpengan, dan kegiatan-kegiatan keagamaan.

Pada 2 Mei 2019, sehari setelah Hari Buruh Internasional, LKS Sabilulungan menggelar kegiatan keagamaan di Dome Balerame Sabilulungan. Sebagaimana dilansir Bandungkita.id, acara tersebut dihadiri 2.500 buruh dari dua belas organisasi buruh. Organisasi-organisasi itu di antaranya ialah SPSI, KSPN, SPTSK-SPSI, Gaspermindo, FSBI, PPMI, SBSI-Gaspermindo, SPPP, dan SP-KEP. Mereka tetap menyampaikan aspirasi tentang Peraturan Pemerintah (PP) No. 78 tahun 2015 tentang pengupahan dan pengawasan ketenagakerjaan yang bermasalah.

Namun bagi Dadang Naser, acara semacam itu lebih baik dan positif terhadap iklim investasi di Kabupaten Bandung. Lebih lanjut Dadang mengatakan, “Tadi ada deklaratif, tapi daripada demo menutup jalan, deklaratif seperti ini lebih diterima.”

Kata “menjaga iklim investasi” dan “keamanan” merupakan prioritas utama Pemkab Bandung, sebagaimana termaktub dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bandung. Hal itu ditunjukkan dengan meningkatnya tren angka realisasi investasi di Kabupaten Bandung.

Menurut data yang dihimpun Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bandung, pada tahun 2016 realisasi investasi di Kabupaten Bandung berkisar pada Rp8,1 triliun. Kemudian jumlah itu meningkat hingga mencapai Rp23,3 triliun pada 2020, naik tujuh kali lipat. Menurut Dadang, sebagaimana diberitakan Rmoljabar.id, banyak faktor yang berkontribusi pada perbaikan tren investasi di daerahnya. Salah satu di antaranya, kondusifitas yang tetap terjaga.

Berkaca pada kasus yang Afif alami di PT SSS, Hermawan menyoroti pengaturan tentang serikat buruh/serikat pekerja yang termuat di Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 3 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dalam pasal 75 ayat 4 dinyatakan, “Pekerja/Buruh  yang  akan  mendirikan Serikat Pekerja/Serikat Buruh  harus terlebih dahulu memberitahukan kepada Perusahaan.”

Menurut Hermawan, selain menyulitkan buruh dalam pembentukan serikat, pasal tersebut dapat menjadi celah bagi majikan agar membentuk serikat sendiri untuk memperlemah perundingan dengan buruh.

“Itu tindakan preventif mereka (pemerintah dan pengusaha), supaya tidak ada organisasi buruh yang gerak (baca: menuntut haknya),” ujar Hermawan.

Pendapat serupa sempat dikemukakan Redaksi MajalahSedane.org dalam artikel berjudul Privatisasi, Fleksibilisasi, dan Pemberangusan Serikat Buruh”, 10 Mei 2010. Pembuatan serikat-serikat versi manajemen untuk memperlemah kekuatan buruh dan perundingan, disebut redaksi majalah itu sebagai “membuat serikat boneka”. Serikat boneka ini umumnya dikendalikan penuh oleh manajemen, termasuk orang-orang yang menjadi pengurusnya.

Menurut Redaksi Majalah Sedane, cara untuk mengenali serikat model ini sangat gampang. “Biasanya mereka mendapatkan kemudahan dalam menjalankan aktivitasnya, sementara serikat sejati selalu dihambat saat akan melakukan aktivitas,” tulis redaktur media yang fokus pada masalah perburuhan tersebut.

Tak hanya itu, Hermawan juga mengamati praktik pemberian surat pemberitahuan “dikualifikasikan mengundurkan diri” dan surat PHK kepada buruh sebagai bentuk peredaman protes dan penaklukan buruh.

“Yang kemarin dikirim surat itu ‘kan kerja lagi. Hal itu sengaja dilakuin supaya buruh  datang ke pabrik mohon-mohon buat diterima kerja lagi,” pungkas Hermawan.

Pandemi Bukan Alasan

Bagi Hermawan pelanggaran hak buruh akan selalu terjadi tanpa memandang kondisi apapun, baik itu saat situasi normal atau situasi pandemi Covid-19. Sebab, menurutnya, buruh dan pengusaha berbeda kepentingannya. Jika buruh mengidamkan kondisi kerja yang baik sedangkan pengusaha akan selalu mementingkan keuntungan untuk kocek pribadinya.

“Mau ada (pandemi) atau enggak, pelanggaran hak terhadap buruh tetep ada kok. Cuma kalau lagi pandemi gini makin keliatan liciknya pengusaha,” ujar Hermawan, 19 Januari 2021.

Hermawan menilai, pemenuhan hak buruh yang makin buruk saat kondisi pandemi disebabkan oleh regulasi pemerintah yang bermasalah, seperti Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Tentang Tunjangan Hari Raya tahun 2020.

Menurut Hermawan, poin nomor 2 (dua) dan 3 (tiga) surat Menaker tentang THR tahun 2020 yang membolehkan pembayaran tunjangan hari raya (THR) dapat dicicil secara bertahap dan menunda pembayaran THR sampai dengan jangka waktu tertentu yang sudah disepakati; dapat menjadi celah pengusaha untuk tidak membayar uang THR buruh.

Kondisi buruh tergambar sangat jelas saat pandemi mengepung kawasan industri wilayah Majalaya dan Solokan Jeruk. Ribuan buruh pabrik ketakutan hilang mata pencaharian dan mengalami ketidakpastian menghadapi masa depan seakan-akan kabut gelap menyelimuti kota dolar—sebutan kolonial Eropa pada 1930 karena Majalaya terkenal dengan kualitas industri tekstilnya.

“Pas awal rame-rame covid 19 kemarin, selain THR gak dibayar, banyak buruh (di Majalaya & Solokan Jeruk) yang dirumahkan gak dibayar upahnya dan gak dipanggil kerja lagi,” ujar Hermawan.

Menurut pengamatan Hermawan, saat wabah mulai merebak di wilayah Kabupaten Bandung, ribuan buruh di belasan pabrik terkena dampaknya. Berdasarkan data yang ia punya, setidaknya ada 8 pabrik merumahkan buruh-buruhnya tanpa kejelasan pemenuhan hak buruh, 5 pabrik meliburkan buruh-buruhnya dengan ketentuan pemenuhan yang berbeda di setiap perusahaan, dan 3 pabrik memecat buruhnya.

COVID-19 dan Mewabahnya Pelanggaran Hak-hak Buruh_2/Trimurti.id

Pandemi pun dijadikan kesempatan untuk bertindak sewenang-wenang. Bukti terlihat ketika PT Sinar Sari Sejati (PT SSS) melakukan pemutihan masa kerja terhadap 400 buruhnya dengan hanya membayar kompensasi pemutihan sebesar Rp700 ribu untuk setiap 1 tahun masa kerja. Program pemutihan masa kerja dilakukan untuk mempertahankan status kontrak buruh. Selain itu, majikan menukar pembayaran uang lembur dengan hari libur. Akal-akalan serikat boneka, yang kepengurusannya dihuni oleh kepala bagian dan manajemen, dibuat untuk memperlemah perundingan dan daya tawar buruh.

Lain halnya dengan PT NAG, di tengah pandemi yang makin mengganas, majikan justru memperpanjang jam kerja buruh menjadi 14 hingga 20 jam kerja. Majikan pun menurunkan status kerja 400 buruhnya dari buruh kontrak menjadi buruh harian lepas. Tak hanya itu, para buruh hanya diupah Rp100 ribu/hari, dan hingga kini majikan belum membayar uang THR buruh.

Jika itu terus terjadi, buruh macam Afif dan Riza-lah yang bakal menjadi korbannya.

Reporter : Rinaldi Fitra Riandi

Editor: Dachlan Bekti