Trimurti.id – Dulu, setiap pagi, nelayan-nelayan di Patimban, Kabupaten Subang, Jawa Barat, selalu pulang dengan perasaan gembira. Di kapalnya, ada tangkapan hasil laut yang menggunung. Segepok uang sudah ada di bayangan mereka, setelah menjual hasil tangkapan laut itu.
Tapi sekarang, semua itu tinggal kenangan, ikan dan hasil laut lainnya sulit didapat. Para nelayan enggan melaut, perahu-perahu mereka terparkir rapi di badan sungai yang melintasi pemukiman mereka.
Sebelum ada Pelabuhan Patimban, penghasilan Darna seorang nelayan yang tinggal di Dusun Terungtum, Desa Patimban, Kecamatan Pusakanagara, bisa mencapai lebih dari Rp100 ribu/hari. Sekarang tidak sampai setengahnya, kadang bisa menyusut hingga Rp15.000 /hari.
“Bulan depan angin barat, tapi ya sama saja kayak tahun-tahun kemarin, pasti sedikit (hasil tangkapan laut),” ujar kepada Trimurti Darna, Sabtu (31/8).
Dulu, musim paceklik hasil laut hanya terjadi pada musim angin timur. Sekarang, para nelayan sulit mendapat ikan sepanjang tahun.
Ia punya kenangan indah tentang panen udang rebon. Sebelumnya, udang rebon tidak susah dicari, mereka bisa ditangkap dengan mudah kalau hujan mengguyur Patimban. Tinggal tebar jaring sana-sini, udang-udang pada menyambut.
Darna bisa datang ke pelelangan dengan sumringah.
Kini, kakek dari lima cucu ini sering khawatir tidak bisa memberi makan keluarganya. Penghasilannya yang minim bisa habis hanya untuk membeli rokok. Di teras tempat Darna dan empat nelayan lain duduk tidak terlihat ada sebungkus rokok pun, hanya ada gelas-gelas kopi.
Ia bisa mendapat penghasilan tambahan pada hari Jumat. Para pekerja Pelabuhan Patimban menyewa perahu untuk antar-jemput dari pelabuhan ke pemukiman warga untuk ibadah salat Jumat dan membeli kebutuhan sembako untuk seminggu di pelabuhan. Jasa antar-jemput ini Rp50 ribu.
Tak hanya Darna yang menurun hasil tangkapan lautnya. Hampir semua nelayan di Patimban mengalami.
Akibatnya, tempat pelelangan ikan milik Koperasi Unit Desa (KUD) Mina Misaya Guna di Desa Patimban mati. Para pedagang ikan, seperti Dartum tak lagi berkumpul di KUD ini untuk mendapatkan ikan segar.
{Foto} Tempat pelelangan KUD Mina Misaya Guna yang terbengkalai (Trimurti)
“Hasil nelayan tidak banyak sehingga tidak bisa dijual di tempat pelelangan,” ujar Dartum kepada Trimurti, Jumat (20/9).
Sekarang warga setempat yang menjadi penjual ikan sekaligus pemilik bisnis pembuatan ikan kering (penggesakan) langsung menjemput ikan ke kapal-kapal nelayan. Aktivitas jual-beli langsung di perahu.
Jual-beli di perahu (Trimurti)
Daryono, karyawan KUD Mina Misaya Guna, menceritakan dirinya sudah tidak datang ke KUD sejak tiga tahun lalu. Sekarang, bangunan KUD itu kosong, tapi nama pengurus dan para pekerja masih terpampang.
Saat masih ramai, ia bertugas menawarkan ikan ke calon pembeli (bakul ikan). Tapi kini ia harus melakukan pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya.
“Sekarang saya fokus jaga warung kopi,” ujarnya, kepada Trimurti Sabtu (19/10).
Melalui , Pemda Kabupaten Subang memberitakan, pada tanggal 23 Agustus 2021, para nelayan memprotes pembangunan pelabuhan yang menyebabkan hidup mereka jadi lebih sulit. Mereka tergabung dalam Paguyuban Nelayan Patimban dan Paguyuban Nelayan Indramayu. Menurut dua organisasi nelayan itu, ada 1.000 nelayan yang terdampak Pelabuhan Patimban.
Protes nelayan Patimban (sumber: Detik.com)
Pembangunan Pelabuhan Patimban
Pesisir Patimban dikenal sebagai penghasil udang rebon, ikan tetet, ikan lapan, dan ikan bilis. Jangan lupa, terasi yang enak juga berasal dari sini.
Paceklik hasil laut para nelayan di Patimban dan sekitarnya ini terjadi sejak ada pembangunan Pelabuhan Patimban yang berskala besar di Desa Patimban pada 2018. Dikutip dari laman Kementerian Perhubungan Republik Indonesia, pembangunan pelabuhan ini berstatus Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan nilai investasi Rp18,9 triliun.
Sementara itu, dalam publikasinya mengenai Pelabuhan Patimban dan Bandara Kertajati Tingkatkan Laju Perekonomian Jawa Barat Bagian Utara, Kementerian Perhubungan mengatakan, pelabuhan ini masuk dalam ambisi visi Indonesia Emas 2045 yang diusung Presiden Joko Widodo. Berdiri di atas tanah seluas 369 hektar dan mereklamasi pesisir dekat pantai seluas 40 hektar. Setelah rampung pembangunan tahap I, Pelabuhan Patimban beroperasi sejak 20 Desember 2020. Saat ini masih berlangsung pembangunan tahap II dan III.
Suranto dari Social Media Response Team (SMRT) Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Patimban, mengatakan Berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Patimban, proyek akan dibangun dengan konsep green port sejak dari pembangunan hingga operasionalnya.
Pelabuhan Patimban Internasional sudah mengantongi izin lingkungan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Nomor SK 136/Menlhk/Setjen/PLA 4/2/2017. Pembangunan ini membutuhkan reklamasi laut sebesar 10.300.000 m3 dan pengerukan dengan total volume 26.050.000 m3.
Suranto menegaskan Pelabuhan Patimban dibangun untuk mengakomodir perkembangan industri di daerah Subang, Purwakarta, Karawang, sampai Cikarang-Bekasi. Selain itu juga untuk mendukung industri otomotif dari Bekasi dan Karawang.
“Pelabuhan Patimban akan menjadi multiple gateway di samping Pelabuhan Tanjung Priok,” ujarnya, kepada Trimurti Senin (21/10).
“Keberadaan pelabuhan di Kabupaten Subang ini menjadi pusat baru perkembangan ekonomi di kawasan Subang dan sekitarnya, terutama Jawa Barat. Pertumbuhan ekonomi pada daerah Subang akan merangsang pertambahan penghasilan untuk masyarakat lokal sekitar Pelabuhan Patimban,” lanjut Suranto.
Merusak ekosistem pantai
Ahli kelautan, pesisir, dan kemaritiman, Muhamad Karim, yang juga dosen Universitas Trilogi di Jakarta mengatakan kegiatan pembangunan di pesisir berpotensi merusak habitat hidup ikan di laut tempat. Kerusakan ini bisa membuat ikan mati atau pergi menjauh.
Pembangunan pelabuhan juga bisa mengubah pola arus laut yang mengakibatkan sedimentasi di satu bagian dan erosi di bagian lainnya. Perubahan arus laut ini membuat perubahan suhu, pH lebih asam, dan ketersediaan makanan yang mendorong ikan bermigrasi.
“Kerusakan ekologi pasti ada akibat perubahan dari pembangunan pelabuhan di wilayah pantai,” ujarnya lewat whatsapp, kepada Trimurti Rabu (9/10).
Karim mengatakan reklamasi dan aktivitas pembangunan membuat air laut menjadi keruh yang bisa menyebabkan plankton mati karena tidak mendapat sinar matahari. Padahal plankton adalah makanan ikan dan biota laut lainnya.
Jika plankton mati maka ikan juga ikut mati atau pergi ke lokasi lain yang masih memiliki plankton berlimpah.
“Tempat pelabuhan berdiri itu banyak ikannya,” kenang Darna.
Semenjak Pelabuhan Patimban Internasional dibangun, berlayar ke pantai Patimban baginya merupakan aktivitas yang buang-buang waktu. Berlayar ke daerah Indramayu pun belum tentu dapat banyak ikan.
Selain mematikan kehidupan para nelayan, pembangunan Pelabuhan Patimban juga mengancam para petani dan petambak. Dengan diantar tukang ojek online, saya melihat kawasan pertanian dan tambak yang telah berubah.
“Ini semua dulunya sawah dan empang mas,” kata driver ojek online itu.
Lokasi ini berada pada batas antara pemukiman warga dan area Pelabuhan Patimban. Alat berat terlihat sedang membangun jalan dan ramai hilir-mudik angkutan truk. Sesekali ada pekerja mondar-mandir pakai motor, mereka mudah dikenali karena ada helm proyek di kepalanya.
Lahan yang ditunjuk oleh tukang ojek itu sudah beralih rupa menjadi fasilitas penunjang pembangunan pelabuhan, seperti batching plant guna memproduksi beton siap pakai beserta cement silo (tempat menyimpan semen) dan belt conveyor (alat angkut berkapasitas besar).
Di back-up area ini juga terdapat kantor dari konsultan kontraktor dan joint operation (JO). Fasilitas ini bersifat sementara dan akan dibongkar setelah proyek selesai.
Tapi masih banyak lahan yang masih kosong karena belum dibangun. Semua itu dibeli dari aset desa dan tanah perorangan warga untuk dibangun kawasan penunjang pelabuhan.
Lahan padi kuning (Trimurti)
Lahan terbengkalai yang menguning padinya itu, dahulu adalah hamparan sawah. Sedangkan genangan-genangan air yang berwarna hijau itu adalah bekas tambak atau empang.
Seluruh pantai di Patimban yang terkenal dengan ikan Etong bakar itu, hanya tinggal menunggu waktu, untuk berubah menjadi infrastruktur pelabuhan.
“Belum ada sosialisasi, Mas. Gak tahu dananya belum ada atau gimana,” ujar kepada Trimurti Fendi.
Fendi merupakan warga Patimban yang sesekali dipanggil untuk mengisi kekosongan pekerjaan di pelabuhan.
Mencoba berlayar ke tengah
Para nelayan yang masih menggantungkan hidupnya di laut, rata-rata sudah berumur tua. Sementara generasi muda sudah tidak tertarik menjadi nelayan.
Para nelayan tua ini tidak bisa lagi diterima menjadi pekerja di pelabuhan. Tidak ada pilihan lain, mereka tetap harus menjadi nelayan meski harus berlayar lebih ke tengah karena ikan-ikan di sekitar pantai sudah menghilang.
Padahal para nelayan Patimban tidak terbiasa berlayar jauh dari daratan. Perahu mereka juga tidak dibuat untuk berlayar ke lepas pantai yang jauh.
Berlayar makin ke tengah pun menambah ongkos solar. Dulu, paling mahal Rp200 ribu, kini bisa Rp400 ribu.
Para nelayan juga harus hati-hati dan mencari tempat yang aman. Kapal besar yang melintasi pelabuhan bisa merusak jaring nelayan.
Tanpa perlengkapan keselamatan kerja yang memadai, Darna tetap harus berlayar jauh ke lepas pantai demi keluarga di rumah.
Pihak pelabuhan pernah mengadakan pelatihan singkat bagi para nelayan agar bisa mendapatkan Surat Keterangan Kecakapan Motoris/Nahkoda 30 hingga 60 mil, sehingga bisa berlayar ke tengah laut. Namun praktiknya, ini sulit dilakukan karena mayoritas nelayan Patimban merupakan nelayan tradisional yang berlayar dengan perahu kecil.
Dikutip dari Jawa Pos, 31 Oktober 2020, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, pernah berjanji memberikan kapal yang lebih besar bagi para nelayan agar bisa berlayar lebih jauh ke tengah laut. Kementerian Perhubungan memberikan bantuan perahu 15 GT.Perahu 15 GT pemberian Kementerian Perhubungan (Trimurti)
“Cuma koperasi nelayan aja yang dapat perahu,” sahut Saman, kepada Trimurti Sabtu (31/08) seorang nelayan Patimban.
Rincian bantuan kapal bagi koperasi nelayan itu adalah 2 unit untuk Mina Tanjung Mataram, 1 unit untuk Mina Sugih Mandiri, dan 2 unit untuk Mina Misaya Guna.
Namun banyak warga setempat mengatakan perahu pemberian Kementerian Perhubungan itu tidak pernah berlayar. Para nelayan enggan menggunakan perahu pemberian karena harus berebut dengan nelayan lainnya. Mereka lebih memilih memakai perahu milik sendiri.
Pemerintah Kabupaten Subang juga memberikan bantuan 10 perahu kayu yang mirip dengan milik para nelayan di Terungtum, Patimban. Perahu-perahu itu tidak dipakai oleh nelayan karena kondisi perahu sudah rusak dari sejak diberikan.
“Perahu (kayu) pemberian itu bubrah (rusak), tidak terpakai,” ujar Darna.
Tidak Ada Nelayan di Masa Depan Patimban
Bagi pemerintah Kabupaten Subang, nelayan sepertinya sudah tidak jadi prioritas lagi. Lihatlah isi Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Subang Nomor 38 Tahun 2021 tentang Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Perencanaan Kota Baru Patimban Tahun 2020 – 2040, yang hanya memberikan sedikit ruang kepada nelayan.
Kota Baru Patimban memiliki luas 5.967,19 hektar di Kecamatan Pusakanagara. Dalam Perbup itu, zona perikanan (IK) hanya seluas 1,37 hektar di blok A.3, A.10, dan A.13. Luasnya jauh dengan zona kawasan untuk industri (KPI) seluas 564.18 hektar di blok A.5, A.6, dan A.11.
Sumber: Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Perencanaan Kota Baru Patimban Tahun 2020 – 2040
“Pelabuhan Patimban melaksanakan sosialisasi serta memberikan pemahaman kepada nelayan sekitar, daerah mana saja yang aman untuk menangkap ikan,” papar Suranto.
Dalam wawancaranya dengan Trimurti, Peneliti dari Agrarian Resource Center (ARC) di Bandung, Ratu Tammi, mengatakan pemerintah sebagai pengelola Pelabuhan Patimban telah melakukan ocean grabbing.
“Masyarakat pesisir dirampas ruang hidupnya, akses mereka di laut dibatasi sehingga tidak bisa mencari ikan di laut dengan leluasa,” ujar Ratu Tammi, Senin (14/10).
Mayoritas masyarakat Patimban yang nelayan hanya disediakan ruang sangat kecil untuk menangkap ikan. Dengan demikian nelayan di Patimban jadi bukan mata pencaharian utama di masa depan.
Tammi mengingatkan banyak aktivitas ekonomi di kawasan pesisir yang ditopang oleh hasil tangkapan para nelayan. Jika pekerjaan nelayan terganggu maka imbasnya akan menimpa semua industri di pesisir.
Menurut Tammi, nelayan adalah Petty Commodity Production (PCP) atau mereka yang tidak bisa menghidupi dirinya dari hasil tangkapan atau panen semata (subsisten), melainkan harus terikat pada sistem pasar dari sebelum produksi, produksi, hingga konsumsi.
Begitupun nelayan Patimban yang harus menjual tangkapannya dan membeli kebutuhannya.
“Para nelayan yang kehilangan mata pencahariannya itu tidak bisa menjadi pekerja terampil dalam pembangunan Pelabuhan Patimban. Mereka hanya bisa menjadi buruh,” tambahnya.
Dalam dokumen Masterplan New City of Patimban, tanah seluas 528 hektar bakal digunakan untuk perkantoran, hotel, apartemen, masjid raya, hutan mangrove, hingga lapangan golf. Melansir Antara News 8 Januari 2021, Ridwan Kamil menganggap New City of Patimban akan menjadi kota maritim terbaik dan menjadi fasilitas pendukung bagi Pelabuhan Patimban yang tercanggih di Indonesia.
Dikutip dari dokumen Land Acquisition and Resettlement Action Plan Patimban Port (JICA)\, sebagian blok Pelabuhan Patimban sudah dimiliki PT Wahana Mitra Semesta yang hendak membangun apartemen dan taman wisata. Sementara itu, viva.co.id memberitakan bahwa proyek ini mendapat suntikan dana dari perusahaan gigantik milik Jusuf Kalla, yakni Kalla Group.
Sumber: Land Acquisition and Resettlement Action Plan Patimban Port (JICA)
Pelatihan untuk nelayan
Pembangunan Pelabuhan Patimban telah mengubah lanskap sosial. Sejak 2018 pemerintah mengadakan pelatihan bagi warga Patimban agar siap hidup di tempat tinggalnya yang berubah menjadi perkotaan.
Pelbagai keahlian yang diajarkan, antara lain wirausaha makanan, basic safety training, pengelasan, keamanan (security), pengoperasian forklift, kerja-kerja bongkar muat, layanan kebersihan (cleaning service), urban farming, dan budidaya lele.
Dari penelusuran Trimurti, urban farming dan budidaya lele tidak ditemukan.
Menurut Darna, program itu diperuntukkan untuk anak muda. Beberapa pelatihan terbilang berat untuk bapak-bapak yang sudah tua; seperti kerja bongkar muat hingga kuli konstruksi.
“Sudah dari sekolah dasar kelas tiga saya jadi nelayan, ya yang saya bisa cuma nyari ikan,” ujar Darna.
Bagi Darna dan Saman yang sudah menginjak usia lebih dari 55 tahun, mempelajari keterampilan baru bukan perkara mudah. Umumnya pelatihan itu hanya diminati para generasi muda.
“Tubuh kami ini sudah gak kuat,” tukas Darna.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk Patimban selalu didominasi oleh kelompok 55+ (ke atas). Pendataan terakhir Pusakanagara Dalam Angka 2021 tercatat kelompok usia 55+ tahun di Patimban terhitung selalu lebih banyak.
“Tetap orang-orang muda terpilih yang dipanggil kerja di pelabuhan, kita yang sudah tua mana bisa punya kesempatan,” tukas Saman.
Sebagai nelayan tua, Saman kebingungan, karena hasil laut sudah hancur. Sementara lowongan kerja seperti bongkar muat hingga kuli konstruksi terlalu berat bagi dirinya.
Sementara itu, lowongan kerja yang tersedia di pelabuhan tidak sebanyak jumlah nelayan yang terdampak. Ibaratnya, dari sepuluh orang hanya satu yang bakal diterima.
Generasi muda Patimban pun memiliki kerentanan yang sama. Meneruskan kerja seperti leluhurnya, mencari ikan dilaut, sudah tidak bisa diandalkan untuk menopang hidup.
Di sisi lain, menjadi pekerja di pelabuhan juga sulit. Walaupun sudah mendapat pelatihan, kemungkinan untuk diterima sangat kecil karena terkendala dengan jenjang pendidikan.
“Orang sini cuma tamatan SD, Mas, yang diterima pelabuhan minimal SMA,” tukas Saman.
Pusakanagara Dalam Angka 2017-2022 menunjukan anak-anak di Patimban tidak pernah melanjutkan jenjang pendidikan ke tingkat SMA/SMK. Di tingkat SMP pun terdata menurun setiap tahun.
“Pada pergi jadi TKI anak mudanya,” ujar Darni, seorang perempuan di Patimban.
Banyak generasi muda warga Patimban mesti pergi ke kota untuk mencari kerja. Bahkan tak jarang menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke mancanegara.
Supendi, ketua Forum Keluarga Buruh Migran Indonesia (FKBMI) Kabupaten Subang mengatakan kepada Trimurti banyak buruh migran berasal dari Subang dan Indramayu, Sabtu (31/8).
Menurut Tammi, cukup sulit mencari solusi mengenai nasib nelayan dan masyarakat Patimban dalam gempuran Proyek Strategis Nasional ini.
Namun transformasi kontrol dari sumber daya, produksi, konsumsi dan distribusi yang diserahkan kepada masyarakat, harus jadi solusi yang diupayakan.
Tammi juga mengatakan harus ada dorongan kepada negara untuk menjamin akses masyarakat Patimban terhadap transformasi kontrol tersebut.
Selain itu, Tammi juga mengusulkan riset secara mendalam mengenai kebutuhan dan bantuan yang cocok dengan praktik sosial masyarakat Patimban.
Perempuan di Patimban
Dulu, warga Patimban tidak pernah berurusan dengan utang. Hasil laut sudah lebih dari cukup untuk menutupi kebutuhan keluarga di rumah. Nyaris tidak ada tawaran pinjaman datang dari bank atau rentenir yang menghampiri warga Patimban.
Tetapi sekarang, para ibu rumah tangga terlilit utang karena pendapatan suaminya tak menentu. Mereka terpaksa berutang karena butuh uang cepat untuk memenuhi kebutuhan anak-anak.
Warga sering saling pinjam uang, tapi sayangnya justru membuat mereka tidak rukun. Ada pula yang utang dari bank resmi dan bank keliling yang menebar pinjamannya di Patimban.
“Saya sama tetangga dulu gak pernah pinjam ke bank, tapi sekarang kita semua terlilit utang,” kata Darna.
Ia enggan mengatakan dari mana dapat utang. Tetapi ia mengaku jumlah utangnya cukup besar dan itu menjadi tanggungan keluarga.
“Iya banyak yang berutang, alhamdulilah saya tidak,” ujar Darni, perempuan di Patimban.
Seperti ibu rumah tangga lainnya di Patimban, ia mencari uang tambahan dengan membuat ikan asin dan terasi. Mereka mengolah ikan laut hasil tangkapan suaminya di teras-teras rumah.
Kini ketika hasil tangkapan ikan dari para nelayan menurun drastis, para ibu rumah tangga seperti Darni harus bekerja ekstra untuk mendapat uang tambahan lebih. Mereka harus bekerja di tempat penggesekan ikan agar bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Di sekitar Patimban terdapat beberapa pabrik rumahan penggesekan (metode pengawetan tradisional dengan menggunakan garam) ikan. Mereka mengerjakan ibu-ibu yang membutuhkan uang tambahan.
“Waktu hasil ikan masih melimpah, ibu-ibu jarang kerja di sana, sekarang banyak ikut kerja buat penghasilan tambahan,” ujar Darni.
Di penggesekan ikan, para perempuan itu bertugas membersihkan jeroan dan sisik ikan dengan upah Rp2.500- Rp3.000/kg. Setiap hari, Darni biasa menggesek 20-30 kg ikan agar mendapat upah Rp50.000 lebih.
“Biasanya ibu-ibu ngambil delapan sampai sepuluh kilo saja, karena pasti lelah,” ujar Darni.
Demi menekan ongkos hidup, Darni sering memasak ikan kering hasil olahannya sendiri. Hidangan favorit keluarga, daging ayam, baru bisa dibeli jika hasil tangkapan ikan suaminya banyak.
Darni juga harus berhemat untuk membiayai sekolah anaknya yang berusia tujuh tahun. Ia memprioritaskan bekal untuk anaknya ketimbang kebutuhan lain.
“Ya buat anak, Mas. Anak kalo udah biasa dikasih sepuluh ribu sehari gak bisa kurang. Saya menghemat buat anak,” tukas Darni.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, mengatakan para istri nelayan memikul beban ganda yang lebih berat setelah hasil tangkapan ikan para suaminya menurun. Para perempuan harus harus mengurus rumah tangga dan bekerja di penggesekan ikan.
“Ini adalah bentuk kekerasan dan diskriminasi gender akibat dari relasi kuasa,” tegasnya kepada Trimurti,d Rabu (2/10).
Budaya patriarki menempatkan kerja domestik sebagai tugas kodrati perempuan. Ini menjadi penyebab para perempuan mengalami kelelahan badan dan sering masih mendapat stigma ‘tidak becus mengurus anak’.
Armayanti melihat UU No.7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan menyempitkan pengakuan perempuan sebatas ibu rumah tangga nelayan. Hasil kerja perempuan yang mengalami beban ganda seperti Darni sama sekali tidak diakui.
Armayanti membandingkan pembangunan Makassar New Port di Makassar, Sulawesi Selatan, yang juga berdampak pada nelayan. Perempuan di sana banyak beralih profesi menjadi pemulung, buruh harian lepas, dan buruh migran.
Beban ganda terhadap istri serta tekanan ekonomi ikut memicu konflik rumah tangga. Armayanti mengingatkan konflik ini bisa berujung pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Kecamatan Pusakanagara yang didominasi desa Patimban dengan luas 20,65 Km2 memiliki data peningkatan perceraian setiap tahunnya. Sejak tahun 2017, perceraian mencapai angka 70 keluarga, sedangkan pada tahun 2023 menuju 100 keluarga.
Namun data yang Trimurti dapatkan dari kantor kecamatan Pusakanagara menunjukan angka yang lebih besar untuk wilayah Patimban. Perceraian di Patimban mengalami peningkatan dengan jumlah kasus yang melebihi angka 100 keluarga.
Setelah berjalan beberapa tahun, Pelabuhan Patimban terbukti merugikan masyarakat pesisir, terutama para nelayan tua dan perempuan. Kehadiran PSN ini juga merenggut masa depan nelayan di Pesisir Patimban. Nampaknya, di masa depan tak akan ada lagi nelayan lagi di Patimban.
***
Reporter: Rokky Rivandy
Editor: Dedi Muis