Trimurti.id, Bandung – Bau menyengat tercium ketika saya dan Deden melintas menggunakan motor di sepanjang jalan sisi selokan yang airnya bermuara ke Sungai Citarum. Saat itu malam sekitar pukul 10, jalanan yang saya dan Deden lalui sudah sepi. Hanya ada gemerisik air selokan dan bau yang menyengat.
Deden bercerita bahwa bau ini berasal dari air limbah buangan CV Sandang Sari Textile ke selokan yang sedang kita lalui.
Jarak pabrik dengan pemukiman warga hanya sekitar lima meter saja. Area pabrik membentang dari RT 01 hingga RT 03, RW 09, Sindangjaya, Kecamatan Mandalajati, Kota Bandung. Hanya sebuah selokan yang memisahkannya dengan pemukiman. Selokan itulah yang digunakan oleh pihak pabrik untuk membuang limbah cair yang bau.
Deden (40) adalah warga setempat yang sejak tahun 2011 hingga sekarang memprotes sejumlah dampak buruk dari CV Sandang Sari Textile. Soal warga setempat yang tidak beroleh kesempatan bekerja di pabrik, misalnya. Atau soal polusi asap, polusi suara, dan bau limbah pabrik yang menyengat. Terbukti, pabrik yang Deden protes termasuk kategori pabrik “nakal”.
Tanggal 9 Februari 2018, pabrik ini didatangi Kasubdit Sanksi Administrasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Turyawan Ardi. Ia menyambangi CV Sandang Sari Textile membawa mandat penghentian sementara aktivitas produksi pabrik.
“Penghentian sementara selama 30 hari ke depan dan perusahaan harus menghentikan produksi. Selama penghentian perusahaan harus memperbaiki instalasi pengolahan limbah (Ipal),” ujar Turyawan, sebagaimana dikutip TribunJabar.id, 9 Februari 2018.
Fakta di lapangan menunjukkan, penghentian itu tidak sekedar 30 hari melainkan tiga bulan. Kedatangan Turyawan pun ditandai dengan pemasangan plang dari KLHK di dua gerbang pabrik. CV Sandang Sari Textile dihentikan sementara akibat limbah cair yang dihasilkannya mencemari lingkungan.
Turyawan mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan uji laboratorium terhadap sampel limbah cair CV Sandang Sari. Kemudian hasilnya menjunjukkan bahwa empat parameternya—COD, BOD5, Tss, dan Ph—telah melebihi baku mutu.
“Satu saja parameternya melebihi baku mutu,” lanjut Turyawan, “sudah pelanggaran, apalagi empat parameter sekaligus.” Karenanya, KLHK melalui Turyawan, terpaksa menghentikan aktivitas produksi CV Sandang Sari Textile.
Andreas, pemilik perusahaan, mengakui bahwa perusahannya tidak mempunyai instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang memadai. Menurutnya, hal itu terjadi karena kapasitas produksi yang semakin meningkat.
Pihaknya kini tengah mengupayakan pengadaan IPAL baru di tanah kosong belakang pabrik. Namun, upaya itu terkendala oleh warga setempat yang masih belum menyetujui dibangunnya IPAL tambahan.
Deden yang tengah mengemudikan motor berboncengan dengan saya, mengangkat tangan kiri seraya mengarahkan jari telunjuknya ke arah tanah lapang di samping kami. Senada dengan apa yang diungkapkan Andreas, Deden berkata, “Nah, tanah inilah, Ga, yang akan dibangun IPAL pabrik, tapi warga tidak menyetujuinya karena akan menutup akses jalan warga dan diprediksi bakal menimbulkan banjir. Belum ada perluasan areal pabrik saja banjir sudah kerap terjadi akibat luapan air selokan saat hujan deras.”
Deden mengutarakan hal tersebut sembilan bulan setelah peristiwa penghentian sementara aktivitas produksi pabrik oleh KLHK. Selama itu, CV Sandang Sari masih tidak memiliki IPAL yang memadai.
Sehingga tidak mengherankan jika bau menyengat terus hadir hingga saat ini. Aroma tidak sedap menyambangi relung-relung terdalam hidung warga Kelurahan Sindangjaya, tempat Deden bermukim. Meskipun tidak memiliki IPAL yang memadai dan plang KLHK terpampang di dua gerbang perusahaan milik Andreas, aktivitas produksi CV Sandang Sari terpantau tetap berjalan normal.
Belum ada tindakan lanjutan apa pun dari instansi yang berwenang terhadap bau tak sedap yang dihasilkan CV Sandang Sari Textile. Termasuk dari KLHK sendiri.
“Awal tahun ini, pabrik pernah ditutup oleh KLHK, tapi kok bau limbah masih saja ada? KLHK ke mana? Kita sebagai warga sekitar pabrik sudah sangat tidak nyaman dengan bau limbah pabrik,” keluh Deden.
Reporter: Yoga Zara
Editor: Dachlan Bekti