Categories
Kabar Perlawanan

Guru Honorer, Nasibmu Kini

Menyambut Hari Guru Nasional ke 73.

Pengantar Redaksi:

Menyambut Hari Guru Nasional ke-73, diperingati setiap 25 November, minggu ini redaksi Trimurti.id menurunkan beberapa tulisan, dengan sorotan khusus pada guru honorer.  Skema tenaga honorer bidang pendidikan diterapkan pemerintah Indonesia, atas saran  Bank Dunia, untuk mengurangi beban keuangan negara. Mulai diterapkan sesudah krisis 1997-98, dan dampaknya terus terasa hingga sekarang, terutama pada guru honorer: tenaga pendidikan yang status kerjanya paling tidak aman, dan dengan upah yang keterlaluan rendah.

Selamat membaca, dan selamat memperingati Hari Guru Nasional.

 

Redaksi


Trimurti.id, Bandung—Selasa, 30 Oktober 2018. Ribuan buruh yang tergabung dalam Forum Honorer Kategori 2 Indonesia (FHK2I) melangsungkan aksi di depan Istana Negara, Jakarta Pusat. Mereka menuntut kepada Presiden Joko Widodo agar segera mengangkat para guru honorer, yang sudah bekerja belasan tahun, menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Massa yang terus membanjir memaksa polisi memberlakukan penutupan jalan, menyebabkan ruas jalan Merdeka Medan Barat lumpuh seharian penuh.

“Estimasi massa awalnya 50.000, tapi saya rasa lebih. Karena kami berasal dari seluruh Indonesia, [perwakilan dari] 34 Provinsi hadir di sini,” kata Titi Purwaningsih, Ketua Umum FKH2I saat ditemui di sela-sela aksi.

Tidak banyak orang awam yang paham, di lingkungan sekolah dikenal adanya guru pegawai negeri sipil (PNS) dan guru yang masuk kategori tenaga honorer Kategori 2. Sebagaimana tertera dalam PP No 56 tahun 2012, tenaga honorer Kategori 2 tidak diupah dari dana APBN maupun APBD. Artinya, mereka diupah oleh sekolah tempatnya bekerja.

Tenaga honorer sudah beberapa kali menyampaikan tuntutannya. Terhitung sejak 2014, aksi dengan tuntutan yang sama ini sudah berlangsung tujuh kali. Namun, aksi kali ini khususnya dipicu oleh kekecewaan para tenaga honorer terhadap terhadap Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) Nomor 36 Tahun 2018, tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan PNS dan Pelaksanaan Seleksi CPNS tahun 2018. Aturan tersebut dinilai diskriminatif karena menyisihkan guru-guru honorer Kategori 2, yang rata-rata sudah berusia 35 tahun ke atas, dalam seleksi CPNS.

(Lihat: cnnindonesia.com)

Mereka juga kecewa dengan solusi yang ditawarkan pemerintah melalui regulasi tentang Pegawai Pemerintah Perjanjian Kontrak (PPPK), yang merupakan turunan dari Undang Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Menurut Titi, solusi tersebut mengandung banyak masalah.

“Kami menolak, itu karena belum ada penawaran konsep PPPK secara utuh buat kami. Yang kami tahu, intinya tetep [bersandar pada] merit system melalui enam tahap. Tetap dites—yang ngga lulus, dikembalikan ke pemerintah daerah—dan tetep [perpanjangan] kontrak.  Jadi, sama juga dong artinya dengan outsourcing, dengan tenaga kontrak,” ujar Titi, yang sampai saat ini masih bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah sekolah di Banjarnegara, Jawa Tengah.

439 Ribu Honorer K2 Gagal Lulus seleksi CPNS 2013

Protes para guru honorer Kategori 2 bermula pada 2013, ketika Kemenpan-RB menyelenggarakan seleksi calon PNS untuk berbagai instansi pemerintah. Seleksi tersebut dilakukan melalui dua jalur. Yakni, jalur umum dan jalur tersendiri untuk tenaga honorer Kategori 2.  Menurut keterangan Setiawan Wangsaatmaja, Deputi Bagian Sumber Daya Manusia Kemenpan-RB, seleksi dibuka untuk mengisi 65 Ribu lowongan kerja. Persisnya, 25 Ribu lowongan di kementerian/lembaga tingkat pusat dan 40 Ribu selebihnya di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Jenis posisi yang dibutuhkan pun bermacam-macam. “Tapi, posisi seperti dokter, guru, dan tenaga teknis lainnya, masih menjadi prioritas,” katanya.

(Lihat: nasional.kompas.com)

Saat pengumuman hasil seleksi, 439 Ribu tenaga honorer Kategori 2 dinyatakan tidak lulus. Menurut Titi, kejadian inilah yang merupakan pangkal kekecewaan para tenaga honorer terhadap pemerintah. Dia menambahkan, semua persoalan ini seharusnya dapat diatasi melalui Peraturan Pemerintah (PP) 56 tahun 2012 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Pendapat ini disetujui pula oleh Syafruddin, Menteri PAN-RB, yang mengatakan bahwa secara hukum sebenarnya permasalahan buruh honorer K2 sudah selesai dan harus sudah diakhiri pada 2014 sebagaimana diatur dalam PP nomor 56 tahun 2016.

Lihat: www.tribunnews.com

“Namun ternyata [pengangkatan memakai PP 56 Tahun 2016] itu juga tidak berlaku. Yang tua justru banyak yang tidak lulus. Terus kemudian, ada kecurangan lagi. Honorer K2 kan jelas nih ditata-aturannya sangat jelas. Namun yang dinyatakan lulus, itu bukan masuk honorer K2,” kata Titi.

Aroma kecurangan dalam seleksi calon PNS tahun 2013, sebagaimana dikatakan Titi, juga terendus oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), organisasi yang tergabung dalam Konsorsium LSM Pemantau CPNS (KLPC).  ICW mencatat, sepanjang September hingga 6 Januari 2014 terdapat 154 pengaduan kecurangan pada seleksi calon PNS 2013. Berdasarkan jalur seleksinya, dilaporkan ada 59 kasus kecurangan pada jalur honorer dan 95 kasus pada jalur umum.

Lihat: antikorupsi.org

Kecurangan terutama terjadi pada proses pendaftaran dan seleksi administrasi. Sebab pada tahap itulah calo dan joki lebih berkesempatan untuk menawarkan jasanya. Bentuk kecurangannya, sebagaiman dirangkum dalam laporan KLPC, antara lain adalah:  upaya menyembunyikan informasi waktu tentang pendaftaraan, kelambanan situs web pendaftaran yang mempersempit kesempatan untuk melamar, manipulasi dokumen administrasi, hingga lolosnya peserta yang sebenarnya tidak lulus seleksi administrasi.

Antara Regulasi, Kondisi Kerja dan Upah

“Makna hari guru bagi ibu sih, penghargaan tinggi dari pemerintah. Penghargaan bagi ibu [sebagai guru] mah berarti diakui keberadaannya,” ujar Yani, guru honorer asal Bandung. kepada Trimurti.id pada Jumat, 16 November 2018. Seperti banyak guru honorer lainnya, Yani terpaksa mengajar di beberapa sekolah, karena upah yang kecil.  Dipekerjakan secara berkepanjangan sebagai tenaga honorer, usia Yani saat ini sudah melebihi 35 tahun. Artinya, dia tak berkesempatan lagi untuk mengikuti seleksi calon PNS.

Selain statusnya yang lemah, soal lain yang juga penting adalah upah. Titi Purwaningsih, ketua FHK2I, mengaku hanya menerima upah sebesar Rp. 865.000,- dari kerja mengajar di Banjarnegara. “Dari Pemerintah Daerah Rp. 715.000, kalau honor ngajar Rp. 150.000 dari sekolahan.”

Upah yang minim itupun diperoleh melalui perjuangan yang sangat gigih dan lama, bukan semata-mata karena kebaikan pemerintah daerah. Sejak hanya diupah Rp. 50 Ribu hingga sekarang, “kami menekan terus. Meminta pemerintah untuk terus mengusahakan kenaikan upah kami, karena kami mengabdi, kami membantu.”

Karena itulah, bagi Titi, pengangkatan honorer K2 menjadi PNS adalah tuntutan yang penting. Selain tuntutan upah yang layak, persoalan status merupakan perbincangan penting di kalagan anggota FHK2I.

“Tuntutan kami ya sebenarnya dua: status dan juga kelayakan [upah]. Selama ini kami ngomong terus, karena terus terang, kami tuh orang kelaparan. Karena belum sesuai upahnya dengan apa yang sudah kami kerjakan,” katanya.

Memberikan wawancara untuk tirto.id, Abdul Fikri Faqih, Wakil Ketua Komisi X DPR menengarai bahwa persoalan upah yang murah terjadi karena mekanisme pengupahan yang sangat rumit. Sesuai Pasal 16 UU 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, upah guru honorer seharusnya dibebankan pada pemerintah daerah melalui APBD. Faqih juga menunjuk pada bagian keterangan Bab V Poin 9 Peraturan Mendikbud Nomor 7 Tahun 2017. Menurut ketentuan ini, untuk menjalankan Standar Pelayan Minimal, sekolah negeri dapat menggunakan maksimal 15 persen dana Bantuan Operasional Sekolah – Nasional (BOSNAS) untuk membayar upah. Sementara sekolah swasta dapat menggunakan maksimal 20 persen dari sumber pendanaan yang sama.

Faqih juga menyorot ketentuan selanjutnya, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Guru honor pada sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib mendapatkan penugasan dari pemerintah daerah dan disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Sekretaris Jenderal berdasarkan usulan dari dinas pendidikan provinsi dengan menyertakan daftar data guru hasil pengalihan kewenangan yang meliputi jumlah guru, nama guru dan mata pelajaran yang diampu, dan sekolah yang menjadi satuan administrasi pangkalnya.

“Peraturan tersebut bermasalah karena hanya guru sekolah pemerintah yang bisa mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah, padahal SK tersebut mutlak menjadi syarat guru honorer mendapatkan upah,” ujar Faqih.

Tak luput Faqih menggarisbawahi persoalan pencairan dana BOSNAS yang sering telat. Akibatnya, pembayaran upah akan telat pula. Sementara, menurutnya, tidak semua sekolah mempunyai cadangan dana untuk membayar upah mereka dan APBD tidak bisa diandalkan karena proses politik yang rumit dalam pengesahannya.

(lihat: tirto.id)

 

Reporter: Syawahidul Haq

Editor: Dachlan Bekti