Google pernah mengucap semboyan, “Jangan culas.” Sesuai semboyan itu, maka kami mendirikan serikat buruh.
_
Parul Koul and Chewy Shaw
Ketua dan Wakil Ketua Serikat Buruh Alphabet.
4 Januari 2021
Pada 1 November 2018, tepat jam 11.10 pagi, 20 ribu buruh Google ramai-ramai mogok kerja. Dari berbagai kota, buruh-buruh dari Waymo, Verily, sesama anak-anak perusahaan Alphabet, juga bergabung dalam pemogokan. Seminggu sebelum pemogokan itu, sebagaimana diberitakan di harian New York Times, Google baru mengeluarkan uang puluhan juta dolar untuk membayar pesangon dua orang petingginya. Keduanya hengkang dari perusahaan sesudah dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap sesama rekan kerja kami. Terhadap kasus pelecehan tersebut, Google bungkam. Kedua terduga pelaku dipersilakan mundur, tanpa diminta untuk bertanggung jawab.
Pada pemogokan pagi itu, buruh-buruh angkat bicara, mengungkap pengalaman mereka menjadi korban pelecehan dan diskriminasi selama bekerja di perusahaan. Di San Fransisco, seorang buruh perempuan memampangkan plakat berbunyi, “Saya yang mengadu, dianya malah terima uang.” Ada juga plakat bertulisan, “Makan tuh 90 juta dolar, enyahkan pelecehan seksual,” dan “Tanpa keadilan di tempat kerja, tidak akan ada platform yang adil.”
Kami kenyang dengan ketidakadilan di Google.
Kami berdua adalah buruh perancang perangkat lunak, dan baru saja terpilih sebagai ketua dan wakil ketua Serikat Buruh Alphabet. Kami mendirikan serikat, jumlah anggotanya saat ini lebih dari 200 orang, dengan keyakinan bahwa perusahaan harus berubah.
Sudah terlalu lama petinggi perusahaan mengabaikan keluh-kesah kami, ribuan buruh yang bekerja di Google dan anak-anak perusahaan Alphabet, induk perusahaan dari Google. Sementara itu, para petinggi Google malah bekerja sama dan mendukung pemerintah represif di banyak negara di dunia. Mereka mengembangkan teknologi kecerdasan buatan untuk Departemen Pertahanan AS dan meraup untung besar dengan memajang iklan dari kelompok-kelompok yang menyebarkan kebencian. Mereka juga lalai dalam menghentikan ketidakadilan terhadap orang-orang kulit berwarna.
Kejadian yang terakhir menimpa kawan kami Timnit Gebru, peneliti terkemuka kecerdasan buatan, dan satu dari sedikit perempuan kulit hitam di bidang tersebut. Timbit Gebru menyatakan, dia dipecat dari Google karena upayanya untuk memerangi bias. Apa kesalahan dia? Dia mengecam model kecerdasan buatan skala besar dan mengkritik minimnya upaya perusahaan untuk mendorong keberagaman dan pelibatan (kelompok minoritas). Menanggapi pemecatan terhadap Timnit Gebru, ribuan kami sesama buruh menuntut penjelasan dari perusahaan. Kami berdua menerima banyak keluhan dari buruh yang kami temui. Ada buruh yang baru bekerja dan ada yang sudah bekerja belasan tahun. Banyak buruh menganggap bahwa Alphabet bukan lagi pilihan, bagi mereka yang ingin bekerja sesuai dengan hati nuraninya.
Bukan kali ini saja buruh bergerak memprotes kengawuran perusahaan. Sebelumnya, buruh pernah mendesak petinggi perusahaan agar menghentikan Project Maven, program pengembangan kecerdasan buatan untuk Pentagon, dan proyek Dragonfly, yang berencana meluncurkan mesin pencari (search engine) tersensor untuk pengguna internet di China. Berkat tekanan buruh pula, para subkontraktor (buruh yang tidak bekerja langsung untuk Google) dibayar minimal 15 dolar per jam, berhak atas cuti melahirkan dan asuransi kesehatan. Sesudah pemogokan pada November 2018, buruh penuh-waktu (bukan kontraktor) boleh melayangkan aduan kalau ada kejadian pelecehan seksual. Dan, beberapa bulan kemudian, Google mengumumkan bahwa ketentuan itu berlaku untuk semua buruh.
Untuk mereka yang meremehkan serikat buruh, atau yang beranggapan bahwa perusahaan teknologi akan lebih inovatif jika tidak ada serikat buruh, kami ingin menekankan bahwa persoalan yang kami kemukakan di atas, dan persoalan lain yang lebih besar, memang nyata adanya. Diskriminasi dan pelecehan masih berlangsung. Alphabet masih terus membungkam mereka yang berani bicara jujur mengemukakan permasalahan peka yang penting untuk diketahui oleh orang banyak; seperti persoalan antitrust dan kuasa monopoli dari perusahaan. Bagi para eksekutif yang diupah mahal, lingkungan kerja yang diskriminatif dan menabrak etika ini memang sengaja diciptakan. Dan yang menanggung akibatnya adalah mereka yang lemah: buruh-buruh yang berkulit hitam dan sawo matang, queer, trans, disabilitas, dan buruh perempuan. Setiap kali buruh berhimpun dan menuntut perubahan, eksekutif perusahaan Alphabet hanya obral janji, hanya melayani tuntutan yang minimum sekadar untuk meredam kemarahan buruh.
Kami ingin mengakhiri semua itu. Maka, sesudah beberapa tahun mengorganisir diri, sekarang kami mencoba menyusun suatu struktur resmi bagi buruh-buruh Google. Sampai saat ini, 226 dari kami menandatangani kartu keanggotaan Serikat Buruh Komunikasi Amerika (Communications Workers of America, CWA) sebagai langkah awal agar kami dapat berunding dengan perusahaan (menurut perundang-undangan Amerika). Singkat cerita, kami mendirikan serikat.
Kami, para buruh, adalah yang membangun Alphabet. Kamilah yang bekerja merancang perangkat lunak, membersihkan kantor, menyediakan makanan, mengendarai bus, menguji kendaraan tanpa pengemudi, dan melakukan semua pekerjaan agar perusahaan raksasa ini berjalan. Kami bergabung di Alphabet dengan impian untuk mengembangkan teknologi yang berfaedah untuk dunia. Namun, berulang-ulang perusahaan lebih mementingkan cari untung daripada mendengarkan kami. Semua buruh yang bergabung dalam serikat ini—buruh tidak tetap, pemasok, kontraktor, dan buruh penuh-waktu—ingin menyatukan tuntutan kami. Kami ingin di Alphabet pendapat kami diperhitungkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kami maupun yang bersangkut-paut dengan masyarakat luas.
Sebagaimana anggota serikat, kami telah memilih pengurus dan perwakilan kami, dan menetapkan iuran anggota. Serikat kami membuka pintu bagi semua buruh Alphabet, apa pun status pekerjaannya. Setengah dari mereka yang bekerja di Google adalah buruh tidak tetap, pemasok atau kontraktor. Dibandingkan buruh penuh-waktu, mereka diupah lebih rendah, menerima tunjangan lebih kecil, dan kepastian kerjanya lebih rendah. Padahal, jenis pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari sama saja dengan buruh penuh-waktu. Lebih besar kemungkinan, mereka adalah buruh kulit hitam atau sawo matang. Sistem pilih-kasih semacam ini membuat separuh tenaga kerja terperosok sebagai warga kelas dua. Serikat kami akan berjuang untuk mengakhiri ketidakadilan ini.
Semua yang bekerja di Alphabet—dari supir bus sampai pemrogram (programmer), dari tenaga pemasaran sampai tenaga kebersihan—berperan penting dalam mengembangkan teknologi. Untuk saat ini, segelintir eksekutif memutuskan apa yang diproduksi dan bagaimana perusahaan memperlakukan buruh. Bukan perusahaan macam itu yang kami ingin bangun. Kami sangat mempedulikan apa yang kami hasilkan, dan tidak bisa menutup mata, untuk apa produk itu digunakan. Kami bertanggung jawab terhadap teknologi yang kami bangun dan hadirkan. Dan kami menyadari bahwa teknologi yang kami hasilkan dampaknya jauh melampaui dinding perusahaan.
Serikat kami akan berusaha agar buruh memahami apa yang sedang mereka alami; agar buruh dapat bekerja dan menerima upah yang adil, dan bebas dari ketakutan akan tindakan pembalasan dan diskriminasi dari perusahaan. Ketika Google menjual sahamnya ke publik pada 2004, perusahaan ini berjanji untuk “melakukan hal-hal yang baik bagi dunia, sekalipun harus kehilangan keuntungan jangka pendek.” Waktu itu Google mengucap semboyan, “Jangan culas.”
Kami akan mengusung semboyan itu. Alphabet adalah perusahaan besar berkekuatan raksasa, yang lengannya menggerakkan internet. Penggunanya miliaran orang di seluruh dunia. Maka, Alphabet haruslah mengedepankan kepentingan publik. Alphabet bertanggung jawab terhadap ribuan buruh dan miliaran penggunanya di seluruh dunia, agar dunia menjadi lebih baik. Kami, buruh Alphabet, ingin membangun dunia yang seperti itu.**
—
Pembentukan Serikat Buruh Google diumumkan di harian The New York Times, Senin, 4 Januari 2021, melalui opini berjudul “We Built Google. This Is Not the Company We Want to Work for.” Trimurti.id menerjemahkan dan memuatnya kembali untuk pembaca.
Penerjemah: Agus Saragih
Editor: Dachlan Bekti
Ilustrasi : Unsplash.com