Trimurti.id, Bandung – Senin, 28 Desember 2020 siang, empat buruh PT. Nirwana Alabare Garment (NAG) bersama Dewan Pimpinan Kabupaten Bandung Konfederasi Serikat Nasional (DPK – KSN Kab. Bandung) melakukan konferensi pers online untuk mengungkap pelanggaran hak perburuhan yang dilakukan oleh majikan di tempat kerja
Sebelum konferensi pers ini, sejak 7 Desember 2020 lalu, para buruh sudah menggelar tak kurang dari lima kali protes dan menempuh dua kali perundingan dengan majikan. Hasilnya, nihil. Perusahaan tetap mengelak dari tuntutan buruh untuk membayarkan upah sesuai UMK, menerapkan jam kerja sesuai aturan, memastikan status kerja.
Pada konferensi pers tersebut, empat perwakilan buruh PT. NAG, yakni Cepy, Nelis, Eli Komalia dan Asih, memaparkan bermacam pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan sandang yang beralamat di kecamatan Solokan Jeruk, kabupaten Bandung ini.
Menurut penuturan mereka, para buruh dituntut bekerja rata-rata selama 14-20 Jam perhari dengan alasan untuk memenuhi target produksi. Padahal, pandemi Covid-19 masih berkecamuk.
“Kami sangat terbebani dengan waktu kerja di perusahaan. Normalnya kami pulang setengah 5 sore atau setengah 6 sore, ini menjadi tidak tentu. Waktu istirahat dan bersosialisasi kami tersita oleh perusahaan,”Ujar Cepy yang bekerja di bagian jahit.
Terungkap pula, buruh di bagian pengemasan (packaging) pun harus bekerja selama 24 jam penuh. Lebih parahnya lagi, para buruh hanya diupah sebesar Rp. 100.000 perhari, tanpa mendapatkan upah lembur.
Sejak Juni 2020 lalu, perusahaan yang memproduksi kaos dan jaket bermerk H&M, DMC, Oxygen, Logo, dan Apirex ini sengaja melakukan mengalihkan status kerja buruh, dari buruh kontrak menjadi buruh harian lepas. Mengacu pada Kepmenakertrans 100/2004 pasal 10,status harian lepas hanya bisa dilaksanakan selama 21 hari berturut-turut dalam kurun waktu selama 3 bulan. Seharusnya, para buruh sudah diangkat menjadi buruh tetap. Selain itu, para buruh ini juga mengeluhkan tentang Tunjangan Hari Raya (THR) yang jumlahnya lebih kecil dari ketentuan.
Cepy menambahkan pula bahwa saat penandatanganan kontrak kerja, para buruh didesak untuk segera menandatanganinya tanpa sempat membaca dengan teliti. Sementara, mereka juga tidak mendapatkan salinan kontrak kerja. “Kesannya perusahaan seperti menyembunyikan sesuatu dari kami (para buruh),”
Reporter : Baskara Hendarto