Trimurti.id, Jakarta – Pada Sabtu 25 Juni 2022 kemarin, bertempat di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), berlangsung konferensi pers mengenai kondisi Buruh Migran asal Indonesia selama masa penahanan di lima pusat tahanan dari Sabah hingga Nunukan yang dipaparkan oleh Tim Pencari Fakta (TPF).
Konferensi pers itu diselenggarakan oleh Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) yang terdiri dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (SPAM), Makassar Solidaritas Perempuan (SP), Jakarta Perpustakaan Jalanan Nunukan, Bernafas Baik Makassar, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Inisiatif Sosial Untuk Kesehatan Masyarakat (SAFETY) Bandung, dan Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS).
Belakangan ini, KBMB melakukan pemantauan terhadap 100 deportan di rumah susun yang dikelola oleh UPT BP2MI Nunukan (Unit Pelaksana Teknis Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) di Nunukan. Tim Pencari Fakta berhasil mengungkap buruknya kondisi buruh migran dan keluarga buruh migran yang sedang menjalani penahanan oleh petugas imigrasi Malaysia sebelum dideportasi ke tempat asalnya.
Dari seluruh pemantauan yang dilakukan Tim Pencari Fakta KBMB selama dua tahun terakhir, temuan yang paling mengerikan adalah tingginya angka kematian di dalam pusat tahanan imigrasi yang dialami oleh buruh migran asal Indonesia dan keluarganya. Kasus kematian di dalam pusat tahanan imigrasi terjadi secara terus menerus di kelima Depot Tahanan Imigrasi (DTI) di Sabah.
Abu Mufakir memaparkan bahwa Timnya telah menemukan data dari Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta, bahwa warga negara Indonesia yang meninggal di seluruh pusat tahanan imigrasi di Sabah pada tahun 2021 sebanyak 101, dan 2022 (Januari – Juni) sebanyak 48 orang. Itu artinya dalam 1,5 tahun saja, ada 149 warga negara Indonesia yang meninggal di pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia. Jumlah ini telah menunjukan betapa tragisnya peristiwa kematian yang terjadi di bawah otoritas Depot Tahanan Imigrasi tersebut.
Jumlah kematian yang tinggi pada Buruh Migran asal Indonesia di Sabah merupakan tindakan pembiaran dari otoritas Malaysia atas hak kesehatan para buruh migran yang tidak dipenuhi. “Seharusnya angka kematian yang tinggi tersebut dapat dicegah, hal ini menunjukkan otoritas di Sabah dengan sengaja dan terus menerus tidak memenuhi standar kesehatan yang semestinya Kondisi ini akan terus membahayakan keselamatan seluruh tahanan imigrasi bahkan menghadapkan mereka pada resiko kematian.” ujar Abu Mufakir.
Selain fakta tentang banyaknya kematian akibat buruknya fasilitas kesehatan di pusat tahanan Sabah Malaysia, KBMB juga menyorot tentang banyaknya tindakan penangkapan paksa dan deportasi massal. Sepanjang Maret 2021 hingga Juni 2022 telah terjadi 10 kali deportasi dari 5 pusat tahanan imigrasi di Sabah, Malaysia menuju Nunukan, Kalimantan Utara. Pada periode itu, terdapat 2191 buruh migran dan keluarganya yang dideportasi. 1765 (80 persen) diantaranya adalah migran laki-laki dan 426 (30 persen) adalah perempuan. Sebanyak 1996 atau 91% orang merupakan deportan dewasa; dan 195 atau 9% adalah anak-anak berusia 18 tahun, diantaranya sebanyak 57 anak-anak berusia di bawah 5 tahun (balita).
Ditangkap Sewenang-wenang & Disiksa Berkali-kali
Abu Mufakir juga menyampaikan dalam proses penangkapan, otoritas sabah tidak menerapkan prosedur yang melindungi hak tersangka dan berprinsip keadilan bagi tersangka, seringkali buruh migran yang ditangkap diberikan hukuman yang tidak sesuai.
Semisal sejak awal proses penangkapan, hampir seluruhnya berlangsung dengan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Biasanya mereka semua langsung dibawa ke kantor polisi terdekat, tanpa dijelaskan apa alasan penangkapannya; tanpa ditanya apakah mereka memiliki dokumen resmi atau tidak.
“Kami menyimpulkan tidak ada satupun prinsip peradilan yang adil dan jujur dipatuhi oleh otoritas penegak hukum di Sabah. Proses peradilan berlangsung secara cepat, seringkali tidak lebih dari lima menit. Tidak ada satupun tersangka yang didampingi pengacara. Mereka hanya perlu mengakui kesalahan serta memohon keringanan hukuman pada hakim.” tukas Abu.
Setelah melewati penangkapan yang jauh dari prinsip keadilan, para buruh migran asal indonesia juga mengalami penyiksaan yang sangat tidak manusiawi. Bagi mereka yang ditangkap pihak imigrasi dengan pelanggaran keimigrasian, dengan kategori laki-laki berusia antara 19 sampai 50 tahun, akan mengalami hukuman cambuk rotan di bokong. Jumlah cambukan berbeda dari satu tahanan ke tahanan lainnya, ada yang satu kali, dua kali, bahkan ada yang enam kali.
“Beberapa tahanan yang tak kuat menahan sakit jatuh pingsan pada cambuk. Oleh petugas mereka biasanya akan disiram air supaya sadar untuk melanjutkan cambukan kedua. Banyak yang setelah cambukan kedua tidak bisa berdiri dan harus dipapah untuk berjalan.” ujar Abu.
Terserang Penyakit & Meninggal di Pusat Penahanan
Belum selesai penderitaan yang dialami buruh migran asal indonesia beserta kerabat atau keluarganya, setelah ditempatkan di pusat penahanan di sabah Malaysia, kondisi tempat penahanan yang jauh dari layak membuat penyakit dan masalah kesehatan menjadi terror selanjutnya.
Riris yang merupakan salah satu koordinator Tim Pencari Fakta KBMB menyampaikan bahwa mereka selalu menemukan berbagai persoalan kesehatan yang dialami deportan. Pada deportasi Maret 2022, satu orang deportan bahkan meninggal di RSUD Nunukan hanya 6 jam setelah sampai di pelabuhan. Tidak jarang ditemukan deportan yang harus menggunakan kursi roda karena tidak kuat untuk berjalan. Pada tiga deportasi terakhir (Maret-Juni 2022) setidaknya ada 14 deportan dengan gejala kelumpuhan dan beri-beri yang dirujuk ke fasilitas kesehatan di Nunukan.
Nyaris seluruh deportan terkecuali yang berasal dari DTI Sandakan menderita penyakit kulit, mulai dari yang ringan sampai parah. Baik bayi, anak-anak, orang dewasa dan lanjut usia menderita penyakit kulit, terutama skabies (kudis).
Penyakit lain yang umum diderita oleh deportan adalah diare hebat. Selain itu banyak deportan menderita demam, radang tenggorokan, batuk, sakit maag, dan berbagai persoalan saluran pencernaan. Hal lumrah sekali terlihat deportan yang menunjukan gejala dehidrasi dan kekurangan kadar garam. Begitupun dengan gejala malnutrisi, terutama pada deportan perempuan khususnya yang sedang menyusui.
Deportan perempuan juga mengalami gangguan menstruasi sejak berada di DTI. Hampir seluruh tahanan mengalami gangguan tidur. Deportan dari DTI Papar Kimanis di Blok K mengatakan hanya bisa tidur paling banyak 2 jam dalam satu hari. Penyebab utama sulit tidur adalah rasa gatal yang konstan, kondisi yang berisik, orang yang terus berlalu lalang, bau busuk dan nyamuk yang ganas.
Para deportan selama masa penahanan juga tidak mendapatkan jatah makanan yang layak dan bergizi. Seluruh deportan bercerita dengan geram soal betapa buruknya kualitas makanan yang disajikan. Bukan saja porsi-nya yang tidak cukup dan seringkali telat diantar, kualitas makanannya pun dinilai buruk: seringkali basi, mentah, berbau, dan hambar. Selain itu, makanan juga disajikan dalam sebuah wadah yang kotor karena tidak dicuci dengan baik. Tidak ada makanan tambahan bagi ibu hamil dan menyusui. Dengan kondisi seperti itu, Tim Pencari Fakta KBMB menyatakan bahwa makanan yang disajikan selain tidak higienis juga memiliki kadar nutrisi di bawah standar.
Tidak ada blok khusus anak-anak, mereka semua ditahan di blok orang dewasa. Tahanan yang berusia di bawah 14 tahun akan ditempatkan bersama orang tuanya. Setidaknya Tim Pencari Fakta KBMB menemukan tiga orang anak yang orang tuanya meninggal di pusat tahanan imigrasi. Dua kakak-beradik laki berusia 5 dan 9 tahun, bapaknya meninggal di Blok 9 DTI Tawau. Satu anak perempuan berusia 7 tahun ibunya meninggal di DTI Sandakan. Ketiga anak itu tidak pernah ditransfer ke fasilitas lain di luar tahanan imigrasi. Ketiganya tetap ditahan sampai akhirnya proses deportasi dilakukan.
Perempuan deportan juga menceritakan persoalan-persoalan mereka terkait kesehatan reproduksi. Terbatasnya air bersih membuat mereka selalu kesulitan ketika menstruasi. Sehingga sulit bagi mereka untuk menjaga higienitas dan membuat mereka rentan terkena berbagai infeksi. Beberapa menyebutkan persoalan menstruasi yang tidak teratur. Bahkan ada beberapa yang selama berbulan-bulan di tahanan imigrasi tidak pernah lagi mengalami menstruasi. Setiap tahanan perempuan hanya diberikan dua buah pembalut ketika masuk ke tahanan imigrasi.
Semua orang yang menjalani semua bentuk penahanan dan pemenjaraan harus diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat kemanusiaannya, dan berlandaskan nilai- nilai kemanusiaan. KBMB dalam pemaparan faktanya juga memberikan rekomendasi yang tegas bagi Pihak berwenang di Sabah Malaysia yang diantaranya:
- Menghindarkan penangkapan yang sewenang-wenang.
- Memperbaiki keadaan dan perlakuan terhadap tahanan di fasilitas penahanan imigrasi.
Selain kepada pihak pemerintah Malaysia KBMB juga menyampaikan rekomendasi kepada Perwakilan Republik Indonesia di Sabah, Malaysia, untuk:
- Menyediakan lebih banyak tenaga yang memberikan layanan informasi dan bantuan hukum, guna memastikan dipenuhinya hak-hak legal dari migran asal Indonesia yang ditangkap dan ditahan.
- Memastikan agar pihak keluarga mengetahui keberadaan dan keadaan dari migran asal Indonesia yang ditangkap, ditahan, dan mengalami kematian di dalam tahanan.
- Bekerjasama dengan pihak berwenang di Sabah, Malaysia, untuk pemulangan segera warga yang dideportasi dari Sabah, Malaysia.
Reporter: Riefki Zulfikar
Editor: Rokky Rivandi
Sumber Foto: Unsplash.org