Sebagai tenaga administrasi di sebuah rumah sakit, Ayu (bukan nama sebenarnya) tergabung dalam grup percakapan Whatsapp di tempat kerjanya. Selain urusan pekerjaan, di grup ini teman-teman biasa saling menyapa dan berbagi kabar keluarga atau percakapan ringan lainnya. Ada juga teman yang sering membagikan kata-kata mutiara, ucapan pembangkit semangat dan ceramah agama, ungkap perempuan berumur 35 tahun itu.
Tapi, yang membuat Ayu jengkel, ada saja anggota grup baik perempuan dan laki-laki yang membagikan pesan atau gambar mesum. Maksudnya, untuk melucu. Bagi Ayu, lelucon murahan itu sama sekali tidak lucu dan membuatnya marah sekaligus risih. Lagipula, dia tidak ingin pesan tersebut terbaca oleh kedua anaknya yang masih di bawah umur. Maklumlah, kedua anaknya sering memakai telepon genggam Ayu untuk bermain game.
Ayu juga pernah mendengar keluhan dari seorang teman perempuan, yang berkali-kali menerima pesan tidak senonoh dari teman laki-laki sekantor. Ayu sampai sekarang masih bertanya-tanya, bisakah kejadian tidak menyenangkan semacam itu disebut sebagai kekerasan seksual?
Meskipun hanya mengikuti beritanya sambil-lalu, Ayu paham bahwa Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah disahkan. Namun, sebagai orang yang awam hukum, Ayu tidak begitu paham tentang seluk-beluknya.
UU Nomer 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan 12 April 2022. Memang benar, UU TPKS layak dicatat sebagai salah satu undang-undang yang maju, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, dan memihak pada kepentingan korban. Jelas sekali, undang-undang ini menghendaki terwujudnya lingkungan yang bebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
Kelahiran UU TPKS merupakan berita baik bagi semua buruh, menciptakan kesempatan bagi buruh untuk mempersoalkan kejadian-kejadian kekerasan seksual di tempat kerja. Walaupun undang-undangnya sudah disahkan, para buruh tetap saja harus memperjuangkannya di tempat kerjanya masing-masing.
Karena berbagai ketentuan dalam undang-undang perlu untuk diketahui, Trimurti.id merangkumnya untuk pembaca.
**
Bukan hanya perkosaan dan pencabulan. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya memuat tindak pidana pemerkosaan dan pencabulan, itu pun dengan berbagai keterbatasan. Lebih lengkap dari KUHP, UU TPKS mencantumkan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual, yakni:
- pelecehan seksual nonfisik;
- pelecehan seksual fisik;
- pemaksaan kontrasepsi;
- pemaksaan sterilisasi;
- pemaksaan perkawinan;
- penyiksaan seksual;
- eksploitasi seksual;
- perbudakan seksual; dan
- kekerasan seksual berbasis elektronik.
Berorientasi pada korban. Korban kekerasan seksual umumnya enggan untuk mengadu. Penyebabnya adalah proses penanganan kasus, dari tingkat kepolisian sampai pengadilan, yang ruwet, melelahkan, dan tidak berpihak pada korban. Selain memikul beban pembuktian yang menyulitkan, korban harus pula menghadapi sikap tidak profesional dari aparat yang menghakimi dan merendahkan korban. Sikap-sikap seperti itu secara tegas dilarang oleh UU TPKS.
Penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi dan kepentingan terbaik korban menjadi asas yang harus dijunjung tinggi oleh aparat dalam menangani kasus kekerasan seksual. Agar penyidik, penuntut umum, dan hakim memiliki integritas dan kompetensi, mereka diharuskan mengikuti pelatihan terkait penanganan tindak pidana kekerasan seksual.
Hak-hak korban diatur secara rinci dan komperehensif. Undang-undang ini mengatur secara rinci hak-hak korban, sejak terjadinya kekerasan seksual; dari mulai penanganan, perlindungan, hingga pemulihan. Jika korban adalah penyandang disabilitas, mereka berhak mendapatkan kemudahan akses dan akomodasi yang layak pula.
Hak Restitusi. Salah satu kelebihan dari undang-undang ini adalah ketentuan tentang hak restitusi dan layanan pemulihan. Hak restitusi atau ganti rugi diberikan bilamana tindak kekerasan menyebabkan korban kehilangan kekayaan, penghasilan atau mengalami suatu penderitaan. Selain itu korban juga mendapat penggantian biaya perawatan medis dan psikologis.
Kemudahan dalam pembuktian. Salah satu kesulitan dalam melaporkan dan menangani kasus kekerasan seksual adalah dalam pembuktiannya. Jika berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pembuktian terbatas hanya dengan empat alat bukti. UU TPKS menambahkan beberapa macam alat bukti. Salah satunya adalah visum psikiatrum atau pemeriksaan psikologis korban, termasuk untuk saksi/korban difabel. Selain itu, ketentuan tentang kekuatan alat bukti saksi juga diubah. Sebelumnya, berdasarkan KUHAP, kekuatan saksi baru sah apabila minimal ada 2 (dua) orang saksi. Dalam UU TPKS ketentuan ini dipermudah. Keterangan Korban cukup untuk membuktikan terjadinya kekerasan seksual jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya.
Pelindungan dari ancaman PHK dan Mutasi. Salah satu bentuk pelindungan bagi korban adalah pelindungan dari kehilangan pekerjaan, mutasi pekerjaan, pendidikan, atau akses politik.
Dalam lingkungan kerja, jika pelaku kekerasan adalah atasan, korban umumnya tidak mau melapor karena takut kehilangan pekerjaan atau kena mutasi. Dengan ketentuan ini, korban seharusnya tidak ragu untuk melawan.
Pelindungan dari ancaman kriminalisasi. Ada banyak kejadian, ketika korban melaporkan kejadian kekerasan seksual, dia malah dituntut balik oleh pelaku. Contoh yang cukup mutakhir adalah kasus Baiq Nuril. Guru sekolah ini berusaha mengungkap kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah atasannya sendiri. Bukannya mendapatkan keadilan, Baiq Nuril malah dilaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik. Konyolnya lagi, Baiq Nuril kemudian dijatuhi hukuman, dianggap melanggar UU ITE, oleh Pengadilan Negeri Kota Mataram.
Agar kejadian semacam itu tidak berulang, UU TPKS secara tegas menyatakan bahwa demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri, seorang korban tidak dapat dipidana. Perlindungan ini juga berlaku bagi pendamping dan keluarga korban.
Ruang untuk partisipasi masyarakat dan buruh. Untuk sekedar diketahui saja, naskah lebih awal dari UU TPKS semula hendak menetapkan ketentuan untuk mencegah kekerasan seksual di korporasi, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, asosiasi penyalur tenaga kerja, dan/atau pihak lain. Sayangnya, ketentuan-ketentuan tersebut kemudian dihapus. Namun demikian, undang-undang ini tetap memberikan ruang partisipasi yang memadai bagi masyarakat, termasuk organisasi buruh, untuk mensosialisasikan UU TPKS dan mencegah kekerasan di tempat kerja, serta melakukan pendampingan dan pemulihan terhadap korban.
Penulis: Hirson Kharisma
Editor: Sentot