Categories
Kabar Perlawanan

Siaran Pers: Tolak KTT G7 dan Siasat Tambal Sulam Utang Indonesia

Sejak Ahad kemarin hingga 28 Juni 2022, para pemimpin negara dunia pertama (Amerika Serikat, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Prancis dan Inggris) yang tergabung dalam G7 (Group of Seven) sedang melakukan pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kastil Elmau, Jerman. Pertemuan KTT G7, yang diselenggarakan setiap tahunnya, turut membahas berbagai persoalan global terkini seperti invasi Rusia di Ukraina, krisis ekonomi, krisis pangan global, dan perlindungan iklim.

Berbeda dari sebelumnya, pertemuan KTT G7 kali ini diadakan di tengah kondisi dunia yang belum lepas dari cengkraman pandemi covid; ketegangan dan peperangan yang mengancam jutaan nyawa manusia tak berdosa; serta krisis iklim yang melanda berbagai negara di seluruh dunia.

Tidak hanya anggota permanen G7, KTT tahun ini akan dihadiri pemimpin dari negara-negara tamu, yakni Argentina, India, Senegal, Afrika Selatan dan juga Indonesia. Indonesia yang diwakili Presiden RI Joko Widodo mendapat undangan sebagai salah satu negara mitra G7.

Bertolaknya Jokowi ke Jerman mewakili Indonesia ini pun tak lepas dari sorotan media dan publik. Dalam pelbagai pemberitaan, ia dikabarkan akan mendorong negara-negara G7 untuk bersama-sama menjaga perdamaian di Ukraina dan juga secepat-cepatnya mencari solusi dalam menghadapi krisis pangan dan krisis energi yang sedang melanda dunia.

Namun, alih- alih penyelesaian masalah yang diperoleh dari pertemuan tahunan tersebut, warga dunia justru merasakan sebaliknya. Respon atas krisis yang datang dari negara – negara anggota G7/G20 sangatlah tidak memadai, bersifat jangka pendek, dan hanya menambah tumpukan utang atas nama pembangunan atau kepentingan pertumbuhan ekonomi. Tak lebih sekedar solusi palsu dan omong kosong.

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Akibat model pembangunan kapitalistik pasca kolonial hingga gempuran pandemi Covid-19, banyak negara-negara dunia ketiga terlilit hutang lebih besar dari sebelumnya: lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi tumbal dari solusi palsu tersebut. Pasalnya, pelaksanaan itu hanya melahirkannya agenda kebijakan yang akan memiskinkan rakyat, menggusur rumah-rumah hingga menghancurkan alam secara sistematis dan dengan skala yang masif.

Terlepas dari misi mulia yang Indonesia usung lewat Jokowi. Faktanya, Indonesia masih tak bisa lepas dari jerat hutang negara-negara pertama maupun lembaga-lembaga keuangan internasional. Dilansir dari cnbcindonesia.com, per akhir Februari 2022, posisi utang pemerintah sebesar Rp 7.014,58 triliun atau setara 40,17% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Perlu diketahui, seluruh aliran uang dari hutang tersebut telah digunakan untuk stimulus pemulihan ekonomi dan pemenuhan ekonomi domestik. Terutama untuk pembangunan infrastruktur yang mangkrak akibat krisis covid-19.

Untuk urusan pembiayaan infrastruktur, dalam Laporan Dirhantoro di Geotimes (2015) yang berjudul ”Seluruh dana pembangunan infrastruktur dari luar negeri”, menyebut seluruh proyek pembangunan infrastruktur yang dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) rezim Jokowi saat itu akan dibiayai oleh hutang luar negeri. Setidaknya, terdapat 9 kreditur luar negeri yang berkomitmen membiayai proyek infrastruktur dengan realisasi hutang mencapai US$ 4,666 miliar atau sekitar Rp. 584 triliun.

Di tahun-tahun selanjutnya pembangunan infrastruktur RPJMN yang dananya diperkirakan lebih dari Rp 5.542 triliun, berfokus pada empat bidang, salah satunya adalah perumahan rakyat. Rencananya untuk proyek pembangunan perumahan rakyat, pemerintah akan membangun 5.257 blok kembar rusunawa.

Dokumen RPJMN yang jadi cetak biru pembangunan infrastruktur dan ekonomi tentunya mensyaratkan adanya perampasan lahan dan perusakan lingkungan. Ambil contoh, berdasarkan data dari LBH Jakarta, sepanjang Januari-September 2018 terdapat 79 titik penggusuran di Ibu Kota. Dari total titik penggusuran tersebut, beberapa diantaranya diperuntukan untuk proyek ambisius ini.

Sejumlah utang yang didanai untuk proyek infrastruktur ini juga ikut mengalir kepada beberapa perusahaan BUMN, salah satunya adalah PT Wijaya Karya (WIKA). Dalam Penyertaan Modal Negara (PMN) tahun 2022 yang berjumlah Rp 38 Triliun, PT. WIKA termasuk perusahaan BUMN yang disetujui oleh Komisi VI DPR untuk mendapatkan kucuran dana dari pemerintah.

Perlu diketahui, perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi ini, tercatat merupakan salah satu perusahaan yang menggarap sejumlah proyek hunian yang akan menggusur lahan warga di Bandung. Di Jl. Anyer Dalam, Kecamatan Batununggal, PT. WIKA ikut digaet oleh PT. KAI bersama PT. Waskita Karya untuk membangun mega proyek bernama Laswi City Heritage. Konsekuensinya, beberapa bangunan warga sudah rata dengan tanah, sedangkan sisanya akan terancam dirobohkan. Kini, warga Anyer Dalam masih melakukan perlawan terhadap rencana pembangunan tersebut.

Bergeser ke wilayah utara Bandung, rekanan PT. WIKA dalam proyek apartemen the MAJ yaitu PT. Dago Inti Graha, baru-baru ini memenangkan persidangan Peninjauan Kembali (PK) di tingkat Mahkamah Agung melawan warga Dago Elos. Proyek apartemen yang akan menggilas 6,3 hektar lahan penduduk ini masih mendapat perlawanan sengit dari warga Dago Elos.

Sementara itu, orang-orang di wilayah Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dan banyak tempat lainnya, masih senantiasa berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari upaya perampasan dan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif batubara, nikel, dan geothermal – yang tak luput mendapat kucuran dana utang internasional.

Merespon KKT G7 di Jerman tahun ini, dan amatan terkait kondisi ekonomi-politik di Indonesia, KRuHA menilai upaya ini tak lebih dari tambal sulam hutang yang akan memperdalam krisis sosial dan ekologis serta memperbesar kesenjangan antara negara dunia pertama dan negara dunia ketiga.

Maka dari itu, selain mendelegitimasi dan memboikot penyelenggaraan KTT G7, kami menawarkan ajakan dan seruan untuk menuntut para pemimpin di negara-negara dunia pertama dan lembaga keuangan internasional untuk segera melakukan:

  1. Pembatalan utang segera untuk membantu memungkinkan orang menghadapi berbagai krisis;
  2. Mengakhiri eksploitasi masyarakat dan perusakan lingkungan melalui pinjaman;
  3. Menghentikan ketergantungan yang berlebihan pada pinjaman; dan
  4. Perubahan dalam sistem keuangan dan ekonomi untuk menghentikan akumulasi utang yang tidak berkelanjutan dan tidak sah, dan untuk membangun masyarakat yang lebih adil, dan melampaui pembangunan berbasis emisi karbon.

Bandung, 27 Juni 2022

Tertanda 

KRuHa (Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air)

Sumber Foto: Dokumentasi KRuHA Aksi tolak G-7 di Bandung