Trimurti.id, Ambon– “Dong maso ke katong pung hutan adat seng pernah izin dari katong (Mereka, pihak Taman Nasional, masuk ke hutan kami tanpa pernah meminta izin kepada kami)” ujar Raja Tanah Negeri Manusela, Sepnat Amanukuany, saat ditanya tentang kehadiran Balai Taman Nasional Pada hari Jumat, (19/6/2024).
Ia mengatakannya setelah dirinya melakukan ritual adat makan sirih pinang bersama tamu yang datang ke Negeri Manusela di Rumah Adat Ama Lilinusa.
Raja Tanah adalah jabatan yang diemban oleh marga Amanukuany secara turun temurun. Ia mempunyai anggota yang disebut tua adat berjumlah 11 orang dari perwakilan 9 marga yang ada di Negeri Manusela.
Memakan sirih pinang adalah salah satu ritual adat yang dilakukan oleh Masyarakat Manusela untuk menjamu tamu yang baru pertama kali datang ke Negeri Manusela. Sebelum memakan Sirih Pinang, Raja Tanah melakukan doa kepada leluhur mereka menggunakan bahasa Sou upa.
Sou upa adalah bahasa daerah yang dipakai di seluruh negeri adat yang berada di jazirah pegunungan Seram Utara.
Setelah memakan sirih pinang barulah tamu ditanya apa maksud dan tujuan datang ke Negeri Manusela. Setelah itu proses dudu bacarita berjalan. Dudu bacarita adalah aktivitas ngobrol santai yang dilakukan oleh masyarakat di Negeri Manusela sambil ditemani kopi dan tembakau. Tema yang dibahas pada saat dudu bacarita adalah tentang kehadiran Taman Nasional Manusela yang berjarak sekitar 2 km di sebelah selatan kampung.
Sepnat Amanukuany, merasa gusar dengan kehadiran Taman Nasional Manusela. Menurutnya masyarakat Manusela mempunyai hak atas hutan disekitar Negeri Manusela karena Masyarakat sudah ada disini sebelum Taman Nasional lahir.
“Ini katong pung hutan jadi katong pung hak. Dari sebelum Taman Nasional ada katong su ada (Ini hutan kami, jadi kami punya hak. Kami sudah ada sebelum taman Nasional ada)”, ujarnya dengan suara besar.
Negeri Manusela adalah salah satu Negeri adat tertua di Maluku. Letaknya tepat di bawah Gunung Murkele, Gunung Hoale, Gunung Amelia. Menurut data Pemerintahan Negeri Manusela 2023, jumlah penduduk di Negeri Manusela 480 jiwa.
Kawasan Negeri Manusela dikelilingi hutan. Karena itulah, kehidupan masyarakat dekat dengan alam. Alam telah mencukupi segala kebutuhan Masyarakat mulai dari rumah, pangan, hingga obat-obatan.
Sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam, masyarakat Manusela menjadikan hutan sebagai bagian penting dari kehidupan yang mereka jaga hingga hari ini. Oleh karena itu mereka memiliki cara tersendiri dalam mengelola hutan untuk mengatur produksi dan konsumsi harian mereka.
Negeri Manusela dan Gunung Hoale pada sore hari
Ramon Lilihata, pemuda Negeri yang memilih pulang kampung setelah menyelesaikan pendidikan S1 di Universita Pattimura, mengatakan bahwa ada empat aspek kehidupan dalam masyarakat adat Manusela yang membuat mereka bisa bertahan hidup sampai sekarang. Empat aspek itu bisa juga dikatakan sebagai ruang kelola dalam produksi dan konsumsi (prosumsi) menjadi empat bagian. Antara lain, Lelah, Lawa, Soma, Kaitaho.
Lelah adalah kebun tempat mereka menanam sayur-sayuran seperti sawi, kacang panjang, tomat, cabai, bawang, singkong, keladi (umbi talas), pisang yang diperuntukan untuk konsumsi harian mereka. Ruang ini kepemilikannya secara pribadi atau per keluarga.
Lawa adalah kebun yang ditanami buah-buahan seperti langsa, durian, manggis, dan coklat. Ketika telah panen mereka akan menikmati hasilnya jika ada lebih mereka akan membagikan kepada tetangga-tetangga mereka di kampung. Dua ruang ini kepemilikannya secara pribadi atau per keluarga.
Peta Kawasan Taman Nasional Manusela, lokasi Negeri Manusela, dan Gunung Hoale
Sumber: Balai Taman Nasional Manusela
Soma adalah dusun sagu yang diperuntukan untuk pembuatan Papeda, atau sagu lempeng. Sagu lempeng adalah sagu yang dipadatkan dan umumnya berbentuk kubus dan bertekstur keras. Ruang produksi ini kepemilikannya per-marga dan digunakan untuk konsumsi harian masyarakat.
Terakhir adalah Kaitaho yang merupakan wilayah hutan dan sungai yang jaraknya lebih jauh dari kebun Lelah dan Lawa. Kaitaho terletak di gunung Hoale, di selatan Negeri Manusela. Di wilayah inilah masyarakat Manusela mencari daging untuk konsumsi harian mereka. Ruang Kaitaho dimiliki bersama per marga.
Menurut Akademisi Institut Agama Kristen Nasional (IAKN) Maluku, Ferry Rangi, ruang kelola dalam produksi dan konsumsi (prosumsi) yang diterapkan oleh Masyarakat adat Manusela mengartikan bahwa koneksi hubungan timbal balik mereka dengan alam sudah ada.
Sejak disahkannya SK penetapan Menteri Kehutanan Nomor 2583/Menhut-VII/KUH/2014, kawasan Gunung Hoale yang merupakan tempat masyarakat Manusela mencari daging terancam tak bisa diakses lagi. Hal ini dikarenakan di SK tersebut, Gunung Hoale telah ditetapkan sebagai wilayah Taman Nasional.
Penetapan Gunung Hoale sebagai Taman Nasional juga diperjelas melalui Peta Revisi Zonasi Taman Nasional Manusela. Dalam peta tersebut Gunung Hoale termasuk ke zona inti, dan zona rimba. Berdasarkan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang (RPJP) Balai Taman Nasional (TN) periode 2021-2030, zona inti merupakan zona perlindungan terhadap ekosistem asli yang masih tersisa dari gangguan atau kerusakan yang dapat mengakibatkan perubahan ekosistem baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Sedangkan zona rimba merupakan zona yang ditetapkan dengan tujuan perlindungan terhadap potensi sumber daya alam yang ada sebagai usaha untuk melestarikan habitat flora fauna, peningkatan keanekaragaman jenis flora fauna di Taman Nasional Manusela.
Selain akan mengganggu cara-cara hidup masyarakat setempat, penetapan wilayah gunung Hoale sebagai Taman Nasional juga menyampingkan adat yang telah turun temurun dirawat oleh orang Manusale. Pasalnya, wilayah tersebut merupakan tempat para leluhur masyarakat Manusela membangun pemukiman dan membangun keluarga sebelum akhirnya turun ke wilayah bawah gunung Hoale.
Meski demikian, Taman Nasional mengklaim bahwa pihaknya akan menjadikan masyrakat sekitar kawasan menjadi subjek dalam pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini dikatakan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Balai Taman Nasional Manusela, Oktoviana Eryana, saat ditemui di Kantor Balai TN Manusela pada hari Jumat (26/7/2024).
Menurutnya, salah satu kegiatan Balai TN Manusela yang melibatkan masyarakat sekitar adalah kemitraan konservasi. Kemitraan Konservasi adalah suatu bentuk kerja sama antara Balai TN Manusela dengan kelompok-kelompok masyarakat yang sudah tinggal di negeri-negeri sekitar kawasan TN. Manusela dari sebelum TN berdiri.
Peta revisi zona Taman Nasional Manusela, lokasi NegerI Manusela, dan Gunung Hoale
Sumber: Balai Taman Nasional Manusela
Negeri-negeri yang berada di sekitar Taman Nasional disebut Negeri penyangga. Kemitraan Konservasi diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Dirjen KSDAE) Nomor: P. 6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
Namun, Kemitraan Konservasi hanya bisa dilakukan oleh negeri penyangga yang letaknya berbatasan dengan zona tradisional dan zona pemanfaatan saja. Oleh sebab itu masyarakat Negeri Manusela tidak bisa menjadi mitra konservasi.
Kebijakan Hutan Tidak Berpihak ke Masyarakat Adat
Selain berhadapan dengan TN Manusela, masyarakat Manusela juga berhadapan dengan kebijakan kehutanan yang tidak berpihak kepada mereka. Dilansir dari Kukuh.menlhk.go.id wilayah Negeri Manusela dihimpit oleh Wilayah Taman Nasional dan Wilayah Hutan Lindung.
Jika Masyarakat Manusela pergi ke Ibu Kota Kecamatan Seram Utara, yakni Negeri Wahai, maka mereka akan berjalan melewati Wilayah Hutan Lindung, Kawasan TN Manusela dan Wilayah Hutan Produksi Tetap.
Pendiri Yayasan Skola Rakyat (Kora) Maluku, Zulkarnain Tihurua, mengatakan bahwa karena penetapan Kawasan TN Manusela dilakukan pada tahun 1980-1990-an, maka regulasi kehutanan yang dipakai adalah UU Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Padahal dalam UU ini sistem pengelolaan kehutanan di Indonesia belum mengenal hak-hak Masyarakat Adat. Jadi tentu dalam proses pengukuhan kawasan TN Manusela tidak melibatkan Masyarakat Adat.
Peta jenis wilayah hutan di sekitar Negeri Manusela
Sumber: kukuh.menlhk.go.id
Ia pun menambahkan, masalah muncul ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan Judicial Review beberapa pasal dalam UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hasil putusan MK mengakui adanya hak masyarakat adat untuk hutan adat. Namun menurutnya, belum ada respon dari pemerintah perihal pengaturan hak tersebut.
Selain itu Ferry Rangi, mengatakan dalam melihat kebijakan hutan di Indonesia saat ini, kita harus melihat hasil perundingan internasional yang diadakan dalam Conference of the Parties (COP). Hasil dari COP terdapat dua keputusan penting dan mempengaruhi kebijakan nasional, yakni Protokol Kyoto, dan Perjanjian Paris.
Protokol Kyoto adalah salah satu hasil perundingan perubahan iklim yang menyepakati bahwa Negara Industri dianggap bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim dan wajib menurunkan emisi karbonnya. Hal ini diperhitungkan sejak revolusi industri. Dimana negara industri mendesain pertumbuhan ekonominya dari sektor industri, yang padat konsumsi energi fosil sebagai penghasil emisi karbon.
Ia pun menambahkan, karena pertimbangan industri sebagai jantung pertumbuhan ekonomi negara industri, protokol Kyoto memberikan alternatif penyelesaian tanggung jawab negara industri untuk tidak mengganggu aktivitas industri di negaranya dengan cara membiayai proyek penurunan emisi karbon di negara lain.
Proyek tersebut akan diukur keberhasilannya dengan tanggung jawab biaya pada negara-negara industri, skema inilah yang kemudian dikenal sebagai perdagangan karbon. Sebab itu ia menegaskan kebijakan Hutan di Indonesia bertujuan untuk perdagangan karbon.
Selain itu ia mengatakan, implikasi dari kebijakan ini adalah ruang-ruang hidup masyarakat, tempat mereka berburu, berkebun diambil ahli dan diklaim oleh Negara.
Upaya-Upaya Masyarakat Manusela Mempertahankan Ruang Hidupnya
Masyarakat adat Manusela mempunyai tradisi adat untuk menjaga empat ruang kelola prosumsi yang bernama Sasi. Sasi adalah larangan mengambil sumber daya alam tertentu sampai batas waktu yang ditentukan.
Di Negeri Manusela terdapat 2 jenis Sasi yakni Sasi Anapoha dan Seli. Sasi Anapoha adalah larangan mengambil hasil kebun. Sasi ini dilakukan oleh perorangan, dan durasi waktunya terbilang pendek. Sasi ini dilakukan oleh masyarakat pada ruang kelola prosumsi Lelah, dan Lawa.
Tanda Sasi Anapoha yang dilakukan oleh Masyarakat Manusela
Sumber: Youtube BAMM Project
Sedangkan Seli adalah larangan mengambil hasil sagu. Selain itu juga Sasi ini juga larangan untuk mencari udang di sungai, dan berburu daging di hutan. Sasi ini dilakukan oleh tiap-tiap marga. Sasi ini dilakukan oleh marga pada ruang kelola prosumsi soma, dan kaitaho.
Apabila masyarakat Manusela ada yang melanggar kedua Sasi ini, maka diwajibkan untuk membayar denda kepada masyarakat atau marga yang sedang melakukan Sasi.
Pada penghujung tahun 2015 Raja Negeri, Raja Tanah dari Negeri-negeri di Pegunungan Seram Utara difasilitasi oleh Gereja Protestan Maluku (GPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Maluku berkumpul di Negeri Manusela untuk melaksanakan musyawarah adat masyarakat adat pegunungan Seram Utara.
Dilansir dari sinodegpm.id, musyawarah ini dilakukan untuk menyikapi pengrusakan dan penyerobotan hutan di Seram Utara dan perampasan hutan adat oleh negara. Musyawarah ini menghasilkan menghasilkan petisi adat menolak penyerobotan, pengrusakan hutan adat, dan transmigrasi nasional ke Seram Utara serta menitahkan seluruh pemilik petuanan untuk tidak menjual tanah.
Musyawarah adat diawali dengan pemberian materi falsafah hidup Nusa Ina, oleh Pendeta Elifas Maspaitella, perwakilan dari GPM. Kemudian penguatan hak masyarakat adat oleh Yanes Balubun perwakilan dari AMAN Wilayah Maluku.
Setelah itu pertemuan raja-raja dan Saniri Negeri untuk memperkuat komitmen dengan membaca petisi dan memakan sirih pinang. Pada akhir acara dilakukan pembacaan sumpah adat oleh Raja Tanah di lapangan Negeri Manusela.
Perwakilan Raja Tanah Manusela membacakan Sumpah Adat pada 2015
Sumber: Youtube BAMM Project
Apolos Maloy, mengatakan setelah kegiatan musyawarah adat masyarakat di Negeri Manusela lebih sering membuka lahan untuk bercocok tanam. Selain itu menurutnya orang tatua di tiap marga selalu mengingatkan untuk menanam kalau tidak nanti tanah akan dikapling oleh pihak balai dan kehutanan.
“Anak muda setelah musyawarah adat dong sudah membuka lahan, bercocok tanam. Karena katong pung orang tua-tua tiap marga bilang tanah ini jang kastinggal akang kosong kalau seng samua dikapling oleh balai deng kehutanan (Anak muda setelah musyawarah adat mereka membuka lahan untuk menanam. Karena leluhur mi di tiap marga mengatakan jangan biarkan lahan kosong nanti dikapling sama pihak balai, dan kehutanan)”, ujarnya.
Enam tahun setelah musyawarah adat, Yosis Lilihata dan masyarakat Manusela membuat sekolah adat yang bernama sekolah adat Patanata Manusela. Yosis mengatakan alasan didirikan sekolah adat agar generasi muda mengetahui bahwa mereka adalah bagian dari alam, maka mereka bisa mencintai dan melindungi alam dan melestarikan tradisi, adat, dan budaya yang ada di Manusela.
Sekolah Adat Patanata Manusela mengajarkan beberapa hal yang mencerminkan adat Manusela. Hingga saat ini, ada tujuh hal yang menjadi fokus dalam sekola adat, yaitu pelajaran menganyam membuat sayur kering, mengenal obat herbal alam, memasak tradisional, pelajaran sejarah Negeri Manusela, nyanyian tradisional, dan pelajaran bahasa Sou Upa.
Kegiatan Belajar-mengajar tentang Sou Upa oleh seorang guru sekolah adat patanata Manusela
Sumber: Yosis Lilihata, anggota Masyarakat Adat Negeri Manusela
kebudayaan dan adat Manusela serta nilai-nilai luhur yang melekat, menjadi hal yang sangat dibutuhkan bagi seluruh siswa sekolah adat. Sebab, adat bukan hanya sesuatu yang dilakukan secara terus-menerus.
Namun, lebih dari itu ada makna filosofis yang harus dihidupkan dan dipahami oleh generasi muda karena hal itu merupakan warisan yang penuh kebaikan.
Di akhir wawancara, Yosis Lilihata menambahkan kebaikan bukan hanya untuk kehidupan generasi muda sendiri, namun juga untuk lingkungan Negeri Manusela.
Artikel ini didukung oleh Aji Indonesia – Deutsche Welle bertema “Let’s Talk About Climate, Training Program for Journalists”
Reporter: Muhammad Zulfadly Tawainella
Editor: Ilyas Gautama