Categories
Orasi

Tapera adalah Vampir Penghisap Upah Murah

Di dunia ini tak ada satu pun negara yang tak memalak rakyatnya. Indonesia mewarisi sejumlah pungutan dengan sebutan yang beragam; huistak, landrent stelsel, upeti, pajak, bea, dan lain-lain. Kemudian, berbagai pungutan itu dibelanjakan untuk membangun segala jenis jalan, bangunan, rel kereta, dan seluruh “fasilitas” untuk menopang bisnis besar lainnya.

Pemerintah Indonesia kini sedang gemar memungut uang dari rakyat dengan menyebutnya sebagai “Tabungan”. Gimmick semacam itu bukan barang baru. Pemerintah era Soeharto pernah memungut uang dari gaji PNS melalui Tabungan Perumahan (Taperum). Sementara Jokowi memungutnya dengan nama Tabungan Perumahan Rakyat, atau Tapera. 

Jangan kira bahwa Tapera adalah hasil rogohan uang dari saku celana ketika buruh hendak melempar tumpukan pakaian kotor ke ember cuci. Bahkan sebelum masuk ke kantong celana, upah buruh sudah dipotong 2,5% (0,5% selebihnya dibayarkan oleh pengusaha). Tapera akan memotong upah buruh yang besarnya saja hanya bisa dilihat melalui mikroskop. 

Belum lama berurusan dengan malapetaka sosial bernama Omnibus Law, kaum  buruh kini menghadapi vampir penghisap upah berbentuk Tapera. Di hadapan mikrofon, Menteri Basuki, Ketua Komite Badan Pengelolaan Tapera, menyebut bahwa kegaduhan yang terjadi adalah akibat ketidaksiapan kebijakan Tapera ini. [Kontan.id]

Pernyataan yang jelas tidak sopan itu adalah bukti rencana perampokan besar dari uang buruh. Uang hasil kerja buruh yang murah dan tak layak. Dengan segala mantra, pemerintah menyebut Tapera digunakan untuk pembiayaan perumahan. Padahal, ada contoh membiayai perumahan melalui Tapera adalah hampir muskil. 

Kisahnya begini. Seorang anak pensiunan PNS yang sudah 30 tahun ikut program Taperum (dan selanjutnya menjadi Tapera) mencuit tentang pencairan tabungan ibunya. Tabungan itu besarnya Rp 8 Juta, tapi yang bisa dicairkan hanya Rp 3 Juta rupiah saja. Konon karena proses pencairan bukan dilakukan langsung oleh sang ibu. [harianjogja.com].

Kekusutan itu ada asal-usulnya. Ceritanya, pada 2016 negara melikuidasi aset Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) untuk dilebur menjadi Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Kemudian, pada 2020 Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 24/2020 yang menjadi roh jahat Tapera ini. 

Sederhananya, uang ibu pensiunan PNS -yang dulu terdaftar sebagai anggota Taperum- itu dirampok kemudian menjadi aset Tapera. Uang Rp 3 Juta yang berhasil dicairkan itu berasal dari pemotongan upah sejak 2016, bukan sejak ibu pensiunan itu tercatat di Taperum. 

Itu juga yang membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan bahwa ada 124.960 pensiunan PNS yang belum mendapat pencairan dana, yang jumlahnya totalnya mencapai 

Rp 567 miliar. [CNN Indonesia]. Laporan itu muncul pada 2020, persis tahun yang sama dengan pembentukan tim likuidasi aset Taperum ke Tapera. 

Tidak mustahil bahwa seperangkat undang-undang lainnya akan menjadi alat perampokan besar dari upah buruh. Lima, sepuluh, dua puluh, atau lima puluh tahun ke depan Tapera akan berganti nama, dilikuidasi, dirampok berdasarkan undang-undang yang sah. 

Tentu, Tapera bukanlah tabungan sukarela celengan ayam yang sewaktu-waktu dan sesuka hati bisa kita bongkar sendiri. Tapera ditabung dengan susah-payah tapi sulit dicairkan. Dan, penyebab rumitnya penarikan uang Tapera adalah undang-undang Tapera itu sendiri. Dengan syarat yang rumit, Tapera baru bisa (kemungkinan kecil) diambil.

Kita bisa melihat keriuhan soal Tapera ini di media sosial. Netizen menyoroti soal Tapera dan menabur meme untuk menyatakan keberatannya.  Tak berhenti di situ, Tapera ini juga dikaitkan dengan kebutuhan mendesak pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan. Deru nafsu pembangunan Jokowi tak surut setelah proposal pembiayaan IKN tak diminati investor asing. Netizen menaruh curiga bahwa Jokowi hendak merampok uang buruh untuk IKN. 

Sementara itu, serikat-serikat buruh taringnya telah tumpul semenjak para elitnya lebih doyan duduk dengan pengusaha dan pemerintah dalam satu meja. Kalau kali ini upah digerogoti oleh Tapera, bukan tak mungkin di masa datang upah buruh dirampas berkali-kali melalui cara-cara lain. Perampokan uang buruh mestinya terus menjadi perhatian, dan tak boleh dicopot dari agenda perjuangan buruh. 


***

Penulis: Dedi Muis

Editor: Sentot