Trimurti.id, Bandung – Sesudah membereskan kuliahnya dan meraih gelar sarjana, Bakrie bingung bukan kepalang memikirkan pekerjaan apa yang dilakoni untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Di tengah lamunan tak berujung, Bakrie bangkit dan bergegas merengkuh gawainya, dan mencoba menghubungi teman-teman semasa kuliahnya yang telah lebih dahulu mengajar untuk meminta informasi lowongan pekerjaan.
Layar notifikasi gawai Bakie bergetar. Informasi-informasi lowongan kerja yang ia butuhkan sudah menepi. Tak ingin lama-lama menganggur, Bakrie mencoba peruntungannya dengan melamar pekerjaan di beberapa sekolah. Ikhtiarnya membuahkan hasil, Bakrie cukup beruntung sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta di kota Bandung bersedia mempekerjakannya sebagai guru honorer.
Di sekolah swasta itu, Bakrie mengajar mata pelajaran Bahasa Sunda sesuai dengan jurusan yang diampunya semasa kuliah. Kini sudah tujuh bulan ia mengajar, Bakrie tentu merasakan kisah suka dan duka selama menjadi guru. Bercengkrama dengan anak didik merupakan salah satu hal yang membuatnya bahagia. Namun, upah yang terlampau rendah membuatnya sering berniat untuk berganti pekerjaan.
Tapi niat itu urung dilakukan oleh Bakrie. Karena anak didiknya lah yang membuat Bakrie bertahan sebagai guru. “Melihat anak-anak tumbuh-berkembang itu menyenangkan. Ketawa-tawa, ngobrol bareng, dan selalu begitu: mereka datang lalu pergi,”ucap Bakrie. Ketika mengingat momen-momen indah bersama anak didiknya, Bakrie sejenak dapat melupakan persoalan tentang upah murah yang ia terima.
Bakrie menerima upah sebesar Rp 900.000,00 per bulan dari sang pemilik yayasan jasa pendidikan. Perolehan nominal itu dihasilkan dari jam mengajar Bakrie, jika dihitung Bakrie menempuh 26 jam kerja per bulan. Bakrie bisa mengajar dua bahkan tiga kelas dalam satu hari. Namun yang membuat Bakrie Janggal, ketika ia hanya mengajar pada pukul 10.00, sang pemilik yayasan memerintahkannya untuk datang ke sekolah pada pukul 08.00 hingga pukul 14.00 wib.
Memang tidak ada peraturan tertulis tentang jam masuk atau pulang mengajar. Tetapi pernah suatu waktu, Bakrie hanya datang ketika jam mengajar dan beringsut setelah mengajar. Karena ketidaktahuannya itu Bakrie mendapatkan sindiran sengit dari para guru lainnya.
Rupanya Lelaki tinggi kurus itu masih diberi keberuntungan, beberapa guru lainnya mengingatkan bahwa sikap Bakrie tidaklah profesional. Akhirnya, Bakrie mengikuti saran guru itu dengan besar hati agar tidak beringsut sebelum bel sekolah berbunyi.
Padahal seusai mengajar Bakrie dan para guru lainnya harus membuat bahan materi pengajaran yang sesuai kurikulum, membuat tugas tambahan, memikiran cara mengajar yang efektif dan menyenangkan hingga memikirkan cara penanganan masalah dalam kegiatan mengajar yang sudah tentu menguras waktu dan pikiran. Mirisnya, seluruh pekerjaan di luar jam mengajar ini tidak dihitung sebagai jam kerja.
Dengan upah pas-pasan, Bakrie harus piawai untuk mengelola keuangan pribadi. Ia sadar upah sebesar Rp 900.000,00 bukan angka yang layak untuk hidup di kota Bandung. Beragam siasat ia atur sedemikian rupa agar dapat bertahan hidup. Untuk urusan hunian, Bakrie menyisihkan uang sebesar Rp 300.000,00 untuk urunan sewa kontrakan bersama temannya. Sisanya Bakrie alokasikan untuk makan sehari-hari dan akomodasi seperti bensin motor, pulsa internet, dan lain sebagainya.
Sebagai anak muda penuh gairah, Bakrie bisa saja berfoya-foya menghabiskan upah hasil kerjanya dalam satu hari. Tapi Bakrie berpikir dua kali, dan memilih tidak melakukannya. Sebab ketika Bakrie melakukannya, niscaya ia akan berkeliling ke rumah sanak-saudaranya atau teman-temannya meminta makanan selama 29 hari ke depan. Tentu saja, hal itu akan membuat harga dirinya jatuh-sejatuhnya.
Beberapa waktu lalu, isu kenaikan upah bergema seiring aksi serikat-serikat buruh menuntut kenaikan upah layak kepada pemerintah. Bakrie berharap upahnya ikut naik, tapi ia sadar upah yang diterimanya bersandar pada wewenang pemilik yayasan jasa pendidikan. Bukan mengikuti aturan pengupahan pemerintah.
Kelakar Jokowi dan Mie Instan Penyelamat Hidup
Di tengah taman kampus yang lengang, Bakrie menengadahkan kepalanya, dan sesaat mengatur nafasnya kembali. Ia mengakui bahwa bekerja menjadi guru honorer memang bukan tanpa alasan, karena itu satu-satunya pilihan yang tersedia dibandingkan dengan menganggur.
Bakrie pernah beberapa kali mengirim lamaran pekerjaan ke sekolah negeri. Namun, upaya itu nihil, tak ada satupun sekolah negeri melakukan panggilan kerja. Angan-angan Bakrie menjadi guru berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) pupus sudah.
Sebuah kabar buruk menghampiri Bakrie bahwa sekolah negeri hanya menerima calon guru yang sudah mengantongi Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Bakire heran, menurutnya Dapodik bisa diperoleh ketika seorang guru sudah mengajar dan tempat mengajar yang nanti akan mendaftarkannya.
“Ini diskriminasi buat (pelamar) belum pernah mengajar dan mau daftar ke sekolah negeri,”pungkas Bakrie saat ditemui reporter Trimurti.id pada Jum’at, 27 Oktober 2023.
Sementara itu, pemerintah akan menghapus tenaga honorer selambat-lambatnya pada November 2023. Ketika honorer dihapuskan, berdasarkan Undang-undang (UU) Aparatur Sipil Negara No.5 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2018 status kerja guru hanya akan menjadi dua jenis: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah Perjanjian Kerja (PPPK).
Bakrie cukup gusar dengan kebijakan pemerintah tersebut. Karena aturan itu jelas tidak memperhatikan nasib pengajar honorer di sekolah swasta. Bakrie hanya pasrah, ia berharap data Dapodik dirinya segera didaftarkan oleh tempatnya mengajar, dan setelah itu ia berencana mencoba peruntungan kembali di sekolah negeri.
Memang bekerja di sekolah negeri tidak menjamin hidup sejahtera, tapi setidaknya Bakrie bisa mendapat upah lebih tinggi dari upahnya yang diterima saat ini.
Keinginan itu semakin kuat setelah Bakrie melewati hari begitu buruk. Singkat cerita, motor bebek yang mengantarnya pergi mengajar tiba-tiba mogok. Mau tak mau Bakrie harus memperbaiki kerusakan motornya itu ke bengkel. Sungguh sial Bakrie kala mengetahui harga service menguras lebih dari setengah upah yang diterimanya.
Dalam suasana hati yang bimbang, Bakrie memberanikan diri menghubungi orang tuanya untuk meminjam sejumlah uang untuk sekedar menutupi kekurangan biaya hidup.
“Betapa malunya aku saat itu, sudah mah dulu selama kuliah membebani, sekarang sudah lulus dan bekerja malah membebani lagi, seharusnya aku sebagai anak memberi bukan meminta,”ujar Bakrie dengan nada getir penuh penyesalan saat menceritakan hari buruk yang dilaluinya tersebut.
Hari sial itu membuat isi kantong Bakrie menjadi cekak. Ia hanya mampu membayar urunan biaya kontrakan sebesar Rp 150.000,00, beruntung teman satu kamar Bakrie mengerti dan bersedia menalangi sisa pembayaran sewa kamar kos. Tak mau merepotkan siapapun lagi, hampir satu bulan penuh, Bakrie menyantap mie instan untuk mengenyangkan perutnya yang keroncongan.
Bakrie tahu Mie yang ia santap jauh dari kata sehat dan layak jika dikonsumsi setiap hari. Tetapi mie instanlaj yang menjadi penyelamat hidupnya. Apa yang terjadi di hari sial itu, kini Bakrie jadikan sebagai candaan dan menjadi pengingat bahwa hidup menjadi guru honorer itu perih.
***
Sudah satu bulan pertemuan dengan Bakrie berlalu. Tepat 25 November lalu, peringatan hari guru Nasional dirayakan. Pada hari itu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo turut merayakan hari guru nasional bersama Persatuan Guru Republik Indonesia yang juga sedang merayakan hari jadinya ke 78 tahun.
Dalam pidatonya Jokowi mengaku kaget saat tahu guru termasuk profesi yang tingkat stresnya lebih tinggi ketimbang pekerjaan lainnya.
“Dari survei di Rand Corporation tahun 2022, kaget juga setelah baca bahwa tingkat stres guru itu lebih tinggi dari pekerjaan lainnya,” tutur Jokowi.
Jokowi menambahkan, dari hasil riset itu terdapat tiga faktor penyebab guru mengalami stres, yakni tingkah laku murid, perubahan kurikulum, dan perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, ia mengingatkan Mendikbud agar berhati-hati terkait perubahan kurikulum.
Walau demikian, Jokowi menilai wajah guru-guru di Indonesia tidak menunjukkan mereka sedang stres tapi tampak ceria. “Hanya, kalau saya lihat seluruh anggota PGRI tidak, saya liat ceria semuanya. Artinya, mungkin lembaga risetnya bukan di Indonesia,” imbuhnya.
Membaca pernyataan itu seketika penulis teringat kisah Bakrie. Barangkali Jokowi lupa bahwa penyebab faktor penyebab stres guru lainnya seperti beban kerja yang melelahkan, tingkat upah yang rendah, dan kecukupan gizi yang tak terpenuhi.
Oh, tunggu. Bukankah para guru yang selama ini mendidik orang-orang “hebat” seperti presiden, insinyur, seniman, pesepakbola bahkan konglomerat kaya raya di bangku sekolah? Sungguh terpujilah wahai engkau ibu-bapak guru (honorer), namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, namun sayangnya jasamu terus diabaikan negara.
*)Artikel ini telah mengalami penyuntingan atas permintaan dan demi keamanan narasumber.
Penulis: Dudi Nirwana
Editor: Anita Lesmana