Trimurti.id, Bandung — Ribuan buruh di Dhaka, Bangladesh, menggelar aksi protes menuntut upah layak. Mereka menyisir ratusan pabrik serta mengajak buruh-buruh berhenti beroperasi untuk kemudian turun ke jalan. Tindakan tersebut merupakan buntut dari kebijakan upah murah dan anti serikat buruh.
Dikabarkan melalui DhakaTribune, aksi menuntut kenaikan upah di Bangladesh telah dimulai sejak Senin, 22 Oktober 2023. Pada hari ketiga, Rabu, 25 Oktober 2023, buruh-buruh memulai aksi pada jam 11:30 waktu setempat dengan memblokade jalan raya Dhaka-Tangail dan beberapa kali di daerah Mouchak Telirchala.
Aksi yang mulanya diinisiasi oleh buruh di lima pabrik garmen di Kalikair, Distrik Gazipur, diikuti oleh buruh-buruh dari sektor lain, seperti buruh dari industri sepatu dan obat-obatan, di wilayah tersebut.
Sumber yang sama menyebutkan, buruh yang protes tersebut berasal dari sejumlah pabrik. Misalnya adalah Karim Textile dari Purbani Group, Logos Apparels Ltd, Hydroxide Knitwear Ltd, APS Apparels Ltd, dan Bay Footwear Ltd. Mereka semua menuntut kenaikan upah hingga 23.000 taka (setara Rp3.259.353).
Karena pemerintah dan pengusaha mengabaikan tuntutan, aksi terus berlanjut. Dikutip dari Detik.com, kepolisian setempat menyatakan bahwa aksi tersebut berlangsung selama dua minggu dan menyebabkan 100 lebih pabrik tutup di Ashulia, pinggiran Kota Dhaka.
Perusahaan pakaian ternama yang menerima pasokan dari Bangladesh ketar-ketir akibat protes buruh tersebut. Khawatir aktivitas produksi macet, sebagaimana dilansir CNN Indonesia, delapan belas jenama termasuk H&M, Levi’s, Gap, Puma, dan Abercrombie & Fitch, bersurat kepada Perdana Menteri Bangladesh. Mereka meminta pemerintah setempat untuk melakukan negosiasi upah secara damai serta menghasilkan nominal upah yang mencukupi kebutuhan buruh.
Barangkali karena tak mau kehilangan kepercayaan dari jenama-jenama besar, Dewan Pengupahan Bangladesh akhirnya memutuskan kenaikan upah pada 7 November 2023. Sumber yang sama menyebutkan jumlah kenaikan upah menyentuh angka $95/bulan (setara Rp1.400.000).
Sikap berbeda muncul dari Fazlul Hoque. Dalam pernyataan yang dikutip oleh Alinea.id, Direktur Pelaksana Plummy Fashions dan mantan Presiden Asosiasi Produsen & Eksportir Pakaian Rajut di Bangladesh itu mengatakan bahwa kenaikan upah tidaklah tepat.
“Industri sedang mengalami kesulitan, aliran pesanan lambat, pasokan energi tidak mencukupi, dan situasi ekonomi secara keseluruhan tidak baik. Dalam kondisi seperti ini, kenaikan gaji dalam jumlah besar tentu akan sulit. Namun bagi para pekerja, saya setuju dengan hal tersebut adalah permintaan yang sah,” kilahnya.
Ogah menanggung kewajiban ini sendirian, federasi industri garmen Bangladesh meminta merek-merek internasional yang menjadi pemesan untuk ikut memikul beban kenaikan upah itu dengan ‘membayar lebih’.
Sementara itu, mengetahui bahwa jumlah kenaikan upah yang diputuskan oleh pemerintah sangat jauh dari angka yang dituntut, buruh di Bangladesh mengatakan tidak senang.
“Peningkatan ini tidak cukup ketika harga semua barang dan harga sewa naik. Kami bekerja untuk bertahan hidup tetapi kami bahkan tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kami,” ujar Munna Khan, seorang buruh dari salah satu pabrik garmen setempat kepada Alinea. Protes pun berlanjut hingga melibatkan jumlah yang lebih besar dari buruh-buruh di sektor lainnya.
Belum diketahui jumlah pasti buruh yang mengikuti aksi. Namun, setidaknya jumlah tersebut mencapai ribuan. Aljazeera menyebut jumlahnya mencapai 25.000 massa aksi, Detik.com menyebut angka 10.000. Sementara Reuters, IndustriALL Global Union, dan Okezone.com, menyebut jumlahnya ribuan.
Sudah barang tentu, pemerintah setempat meresponnya dengan mengerahkan aparat bersenjata. Parade kekerasan dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi buruh. Dikutip dari Aljazeera.com, ratusan orang kena gebuk baton serta tertembak peluru karet dan gas air mata. Puluhan lainnya ditangkap dan empat orang dinyatakan meninggal, salah satunya karena tertembak. Buruh membalas dengan melempar batu ke arah barikade polisi.
IndustriALL Global Union mengabarkan terdapat seorang buruh bernama Rasel Howlader, yang bekerja di pabrik garmen Design Express di Gazipur, ditembak mati saat protes berlangsung. Tiga korban lainnya yang meninggal belum diketahui identitasnya.
Sementara Amirul Islam, buruh di Columbia Garments, terluka dalam penembakan polisi. Sumber yang sama juga menyebutkan, selama beberapa hari terakhir sejak kabar ini dirilis pada 30 Oktober 2023, tiga inisiator aksi, Masud Rana dari BGTLWF, Mossarrof Hossain dari BMCGTWF dan Jewel Miya dari BIGUF, telah ditangkap.
Kabar terakhir menyebutkan, pada Senin 13 November 2023 aksi masih berlanjut akibat tuntutan buruh tak juga digubris oleh pemerintah Bangladesh. Sebuah video yang diunggah di X oleh Popular Front, menampilkan panser-panser militer yang dipersenjatai machine gun berjalan di ruas-ruas jalan di Kota Dhaka, dikawal oleh personil militer yang menenteng senapan laras panjang.
Lebih lanjut, Somoynews.tv mengatakan bahwa personil militer yang diterjunkan untuk mengepung Dhaka mencapai 152 pleton (setiap pleton terdiri dari 30-50 serdadu). Mereka berpatroli di beberapa wilayah kota seperti Aminbazar, Farmgate, Shahbagh, Moghbazar, Mohakhali, dan Badda.
Buruh Bangladesh Memperjuangkan Nasib di Bawah Ancaman Pemecatan hingga Pembunuhan
Aksi protes buruh di Bangladesh yang dimulai 22 Oktober lalu bukan kali pertama terjadi tahun ini. Pada 26 Juni 2023, 25 km dari Kota Dhaka, buruh-buruh garmen di Kota Gazipur menuntut keadilan atas terbunuhnya Shahidul Islam Shahid, Ketua Federasi Garmen dan Pekerja Industri Bangladesh (BGIWF), oleh preman suruhan perusahaan, sebagaimana disebutkan dalam rilis industriall-union.org.
Lebih lanjut, rilis tersebut menjelaskan Shahidul dibunuh preman pabrik karena menuntut pembayaran upah dan bonus festival bagi para buruh yang dipekerjakan di Prince Jacquard Sweater Limited. Para pemimpin serikat buruh, Mostafa Kamal, Ahmed Sharif, dan Akkas Ali, juga terluka dalam serangan tersebut.
Shahidul memobilisasi ribuan buruh untuk bergabung dengan serikat pekerja, memberdayakan mereka untuk menjadi pemimpin serikat buruh yang solid di tingkat pabrik. Sepanjang hidupnya, dia membantu ribuan pekerja dalam menerima tunggakan dan pesangon yang tidak dibayarkan oleh pemberi kerja mereka.
Dengan selalu mengingat kebutuhan pekerja, Shahidul dan tiga pemimpin serikat pekerja lainnya bertemu pada malam hari kematiannya untuk mendiskusikan penyelesaian damai atas perselisihan upah dan bonus Hari Raya Idul Adha.
Bagi pemerintah dan pengusaha lokal, aktivitas Shahidul tentu mengancam kantung-kantung bisnis mereka yang dikenal hidup dari mengupah murah dan mempekerjakan buruhnya dalam kondisi yang mengerikan.
Sebagai negara dengn status sebagai penghasil garmen terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, dengan hampir 3.500 pabrik yang mempekerjakan sekitar 4 juta pekerja, yang sebagian besarnya adalah perempuan. Bangladesh diketahui merupakan negara yang berada di urutan pertama dalam perlombaan mengupah murah buruhnya bersama Indonesia yang ada di peringkat kelima.
Dari keenam negara penyuplai garmen dunia, Statista.com mengungkap bahwa Bangladesh mematok upah buruh sebesar $95 USD atau setara dengan Rp1.473.212.
Menurut Industriall-union.org, selain upah murah, buruh juga dilecehkan karena aktif di serikat. Pelakunya adalah pengusaha, preman, politisi lokal, dan tentunya aparat kepolisian.
Kira-kira begini pembagian tugasnya: preman lokal akan bertindak atas nama pengusaha. Secara rutin, mereka akan mengancam dan menyerang fisik para pemimpin serikat buruh yang berbasis di pabrik. Sementara manajemen perusahaan atau pabrik bertugas untuk memaksa para pemimpin serikat buruh untuk mengundurkan diri dengan imbalan upah yang kecil. Jika taktik ini gagal, maka para pemimpin serikat buruh akan dipecat.
Kontrol di dalam pabrik rupanya tak cukup menjinakan buruh. Entah bagaimana caranya, pemilik kontrakan yang disewa oleh buruh juga ikut andil. Mereka tidak mengizinkan para pekerja untuk mengadakan perkumpulan belajar.
Terakhir, siapa lagi yang tangannya paling banyak berlumur dosa selain polisi? Di Bangladesh, aparat juga ikut andil. Mereka mengganggu pertemuan-pertemuan umum yang diselenggarakan para pemimpin serikat buruh. Bukan hanya mengganggu, aparat juga pernah membunuh buruh yang aksi menuntut upah sejak 22 Oktober 2023.
Zona Pengolahan Ekspor Bangladesh (BPZ): Surga Bagi Merek Pakaian, Neraka Bagi Buruhnya
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, upah murah bukan satu-satunya fasilitas kemudahan yang disediakan pemerintah setempat kepada brand-brand besar. Pengekangan aktivitas buruh, pemberangusan serikat dan kelonggaran pajak juga ikut disertakan dalam penawaran bisnis kepada Levi’s, GAP, Zara dan H&M serta perusahaan pakaian besar lainnya.
Menurut laporan dari National Garment Workers Federation (NGWF) tahun 2017, di Bangladesh terdapat 5.500 pabrik yang mempekerjakan 4,2 juta buruh. Dari ribuan pabrik tersebut, ratusan di antaranya datang karena daya tarik Zona Pengolahan Ekspor Bangladesh atau Bangladesh Export Processing Zone (BEPZ).
Laporan yang sama menyebut, sejak didirikan pada tahun 1980an, terdapat sembilan zona pengolahan ekspor (EPZ). Salah satunya wilayah Dhaka, tempat protes buruh berlangsung.
Nama | Lokasi |
Zona Pengolahan Ekspor Adamjee | Siddhirganj, Narayanganj |
Zona Pengolahan Ekspor Chittagong | South Halishahar, Chittagong |
Zona Pengolahan Ekspor Cumilla | Cumilla |
Zona Pengolahan Ekspor Dhaka | Savar, Dhaka |
Zona Pengolahan Ekspor Ishwardi | Ishwardi, Pabna |
Zona Pengolahan Ekspor Karnaphuli | North Patenga, Chittagong |
Zona Pengolahan Ekspor Mongla | Mongla, Bagerhat |
Zona Pengolahan Ekspor Uttara | Nilphamari |
Otoritas Zona Pengolahan Ekspor Bangladesh | Mirsharai, Chittagong |
Sumber: ilo.org
Di sembilan zona tersebut, terdapat 417 pabrik garmen yang mempekerjakan 461.513 buruh dengan jumlah buruh perempuan mencapai 295.358 orang dan laki-laki berjumlah 166.145 orang. Mereka yang bekerja di zona ini, dilarang bergabung dan mendirikan serikat.
Laporan tahun 2004 dari International Confederation Of Free Trade Unions (ICFTU), mencatat bahwa pemerintah setempat pernah setuju untuk mengizinkan keberadaan serikat di EPZ. Tentu itu bukanlah bentuk kepedulian mereka terhadap nasib buruh. Keputusan tersebut muncul karena Bangladesh khawatir kehilangan pasar Amerika Serikat dan Kanada yang terkenal memiliki gimmick pahlawan hak asasi manusia.
Rupanya pengusaha dari bagian dunia lain yang menanam uang di EPZ tak terima. Sebanyak 22 perusahaan Korea Selatan yang berbasis di EPZ Chittagong mengajukan petisi ke Pengadilan Tinggi pada Desember 2003 untuk menentang perubahan status yang diusulkan.
Mereka kalah. Akhirnya undang-undang yang mengizinkan pembentukan serikat pekerja di zona tersebut disahkan pada Juli 2004 dan resmi diberlakukan pada November 2006.
Itu yang tertulis di atas kertas. Faktanya, sebagaimana dikutip dalam laporan NGWF tahun 2017, buruh-buruh di EPZ masih dilarang berserikat. Di bawah kontrol kebijakan anti serikat, buruh-buruh garmen di Bangladesh mesti menghadapi kondisi melemahnya daya tawar kolektif di hadapan perusahaan. Situasi ini dimanfaatkan oleh taipan bisnis garmen untuk memaksa buruh bekerja dengan upah murah dan kondisi yang jauh dari kata layak.
Asia Floor Wage Alliance, organisasi yang dipimpin oleh para pekerja di Asia, dalam sebuah studinya, dikutip oleh Newagebd.net mengungkapkan bahwa buruh garmen di Bangladesh mengkonsumsi lebih sedikit kalori daripada standar kalori tingkat kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Lebih lanjut, laporan tersebut mengatakan buruh yang bekerja di RMG di Bangladesh mengkonsumsi 1.950 kalori per hari dengan biaya 120 taka (dari upah yang mereka peroleh, 10.521,25 taka). Jumlah ini di bawah konsumsi kalori per hari rata-rata pekerja garmen di Indonesia sebesar 2.148 kkal.
Mudah menebak bahwa ketidakmampuan buruh mengakses pangan yang layak disebabkan upah yang mereka peroleh tak cukup untuk bahkan sekadar menyambung hidup. Ini dibuktikan dari studi lain berjudul Towards a Woman-Centred Living Wage Beyond Borders dari lembaga yang sama, yang menemukan bahwa total pengeluaran buruh garmen untuk keluarga lebih tinggi daripada pendapatan mereka.
Dari total upah pokok yang diperoleh sebesar 10.521,25 taka, keluarga buruh di Bangladesh bahkan perlu mengeluarkan 10.725 taka untuk kebutuhan pangan mereka. Sementara untuk pengeluaran nonpangan angkanya bisa mencapai 13.619 taka. AFWA juga merilis data perbandingan pendapatan dan pengeluaran buruh untuk pangan dan nonpangan di enam negara lainnya.
Data Perbandingan Pendapatan dan Pengeluaran Pangan dan Non-pangan
Data tersebut menunjukkan bahwa upah buruh garmen di Bangladesh bahkan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Sebagaimana dibahas sebelumnya, buruh di Bangladesh juga dipaksa bekerja di bawah kondisi yang jauh dari kata layak karena lemahnya daya tawar mereka di hadapan para pemilik pabrik akibat kontrol ketat yang diberlakukan.
Dengan kondisi yang mengerikan tersebut, sudah bukan waktunya lagi untuk mempertanyakan apakah respons yang dilakukan belakangan oleh buruh Bangladesh wajar atau tidak. Buruh-buruh di Bangladesh memang sudah seharusnya mengamuk atas tindakan pemerintah, pengusaha, dan aparat, yang memaksa mereka hidup dalam kondisi yang mengerikan.
Berlebihan? Tidak. Bertahun-tahun yang lalu, Kota Dhaka yang jadi titik api berlangsungnya aksi menuntut upah layak, pernah kehilangan 1.100 nyawa akibat kompleks bangunan pabrik yang runtuh. Peristiwa yang terjadi pada 2013 tersebut menjadi perhatian dunia. Lalu sebagaimana lazimnya tabiat-tabiat negara di belahan dunia manapun, pemerintah setempat lantas berpura-pura peduli terhadap nasib buruh. Sementara jenama-jenama besar seperti H&M, Zara dll, sibuk mencuci dosa. Tapi kita tahu kini, mereka semua tak segan mengancam dan membunuh buruh yang mengusik profit para pebisnis.
Reporter: Ilyas Gautama
Editor: Dachlan Bekti