Trimurti.id, Bandung, 1 Desember 2023. Ribuan buruh menyemut di depan kantor pemerintahan provinsi Jawa Barat, Gedung Sate, Rabu, 29 November 2023. Mereka berbaris sambil membentangkan poster tuntutan dan mengibarkan beragam warna bendera serikat. Tepat di belakang barisan massa aksi, orator berteriak lantang di atas mobil komando menyeru ke semua orang.
“Tidak peduli serikat kita apa, upah kita sama-sama gak naik. Kita di sini berjuang untuk keluarga kita. Betul tidak kawan-kawan?”ujar orator perempuan berhijab merah tersebut.
“Betul, betul, betul!” sambut massa aksi bergemuruh.
Sudah dua hari para buruh melancarkan aksi protes mengepung Gedung Sate. Mereka menuntut kenaikan upah sebesar 15% sekaligus menolak ketetatapan kenaikan upah yang disodorkan Pejabat Gubernur Jawa Barat Bey Machmudin sebesar Rp. 2.057.495. Dibandingkan tahun sebelumnya upah minimum hanya merangkak naik Rp. 70.825 (3,75%).
Bagi kaum buruh, kenaikan upah tahun ini sangat tidak berarti saat harga-harga kebutuhan hidup naik meroket. Sandaran dari penetapan upah tahun ini adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan. Peraturan ini, turunan dari UU Cipta Kerja, tak kalah buruknya dari pendahulunya.
PP Nomor 51 Tahun 2023 sejak terbit sudah dikritik habis karena semata-mata menyerahkan kenaikan upah pada laju inflasi, pertumbuhan ekonomi, ditambah -yang teranyar- suatu indeks alpha yang misterius, yang cara menghitungnya hanya dapat dipahami oleh yang menulis peraturannya.
Sederhananya, pemerintah benar-benar mengabaikan biaya kebutuhan hidup buruh, dan malah memberi kelonggaran untuk para pengusaha untuk membayar upah buruh berdasarkan situasi ekonomi. Padahal, banyak dijumpai contoh, ketika upah merangkak naik sedikit perusahaan mengaku merugi dan memecat buruhnya, lantas secara ajaib membuka pabrik baru di wilayah yang upahnya murah.
Kita patut menduga bahwa pemerintah melepas tanggung jawabnya terhadap nasib kaum buruh. Peraturan pengupahan terbaru sudah jelas anti orang miskin dan dibuat untuk memastikan para pengusaha mendapatkan laba berlipat ganda.
**
Rio: Dibelenggu Kebutuhan Hidup
Tak bisa mengandalkan upah untuk memenuhi kebutuhan hidup, Rio (30) dan rekan-rekan sekerjanya rela berpanas berhujan menempuh perjalanan sejauh 81,8 Kilometer dari Purwakarta ke Bandung, untuk ikut aksi protes dan menuntut pemerintah agar menaikkan upah minimum.
Sejak mulai bekerja 10 tahun lalu, dari tahun ke tahun Rio menyaksikan momen penetapan kenaikan upah beserta perubahan regulasinya. Sejauh ini, dia tidak melihat ada perubahan yang berarti. Malahan kenaikan upah selalu beriringan dengan kenaikan harga barang-barang kebutuhan hidup.
Rio mahfum seluruh perubahan regulasi dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodir kebutuhan pengusaha. Mengikuti peratutan terbaru, pemerintah mensurvei sendiri kebutuhan hidup layak buruh. Dan, hasil survei tersebut bagi Rio jauh dari memuaskan.
“Contohnya kayak beras aja, buruh beli beras satu kilo seharga Rp 16.000 dengan kualitas bagus. Nah, Pemerintah biasanya gak akan ambil (harga) itu, mereka akan ambil angka yang paling rendah (Rp 10.000),” tutur Rio.
Survei Kebutuhan Hidup Layak ala pemerintah benar-benar tutup mata terhadap kondisi objektif buruh. Rio menduga, pemerintah mungkin melakukan survey harga barang kebutuhan hidup di pasar-pasar tradisional. Padahal, lanjut Rio, buruh tak jarang memilih berbelanja kebutuhan sehari-hari di minimarket dibanding pasar tradisional, pilihan yang praktis demi menghemat waktu di kala kelelahan mendera usai bekerja.
Sudah upahnya rendah, mereka terjerat hutang pula. Akibat upah tak mencukupi, dan buruh tak sanggup menutup kekurangan biaya hidup sehari-hari, mencari pinjaman adalah solusi yang mudah dan cepat. Rio memperkirakan, di pabrik tempatnya bekerja, sekitar 90% dari 5000 buruh menanggung hutang yang gundukannya sudah melebihi upah bulanan. Dari mulai hutang ke bank emok, rentenir, pinjaman bank (dia menyebut sebuah bank BUMN), dan pinjaman online.
“Total pendapatan (buruh) misalnya Rp 30 juta per-tahun. Hutangnya bisa ratusan juta,” tandasnya. Dari akrobat pinjaman itulah, buruh memastikan biaya pendidikan dan kesehatan keluarga terjamin, mencicil kendaraan roda dua, dan punya hunian layak.
Lebih malang lagi, karena upah kecil dan bosan miskin, banyak juga buruh terbius permainan judi online. Permainan itu menjerat kawan-kawan Rio yang tergiur hadiah besar. Tadinya hanya coba-coba, lalu menang judi kecil-kecilan, kemudian hasrat mendapatkan hadiah lebih besar makin tak tertahankan. Lalu mereka terperangkap dalam permainan itu, meski kekalahan dan kerugian sudah berada di depan mata.
“Ya gitu, alasan iseng-iseng berhadiah. Tapi namanya judi itu gambling kan. Daripada menangnya lebih banyak kalahnya. Bahkan sampai ada yang habis (duit) gede,”ujar Rio.
**
Dua tahun lalu, Rio mempersunting Adinda untuk menjadi teman hidupnya. Dua sejoli itu bertemu di pabrik alas kaki tempat mereka bekerja hingga kini. Saat ini mereka telah dikarunia seorang anak laki-laki berumur 4 bulan.
Rio buruh pabrik biasa. Bukan pangeran Romeo yang hidup bergelimang harta. Sebelum meminang Adinda, dia sudah menyadari bahwa dia harus bekerja sangat keras sekuat tenaga mengumpulkan uang untuk menggelar pernikahan.
Sebetulnya Rio hanya berencana menggelar pesta pernikahan yang sederhana. Namun, pihak keluarga menginginkan pesta pernikahan yang lebih meriah, dan Rio mau tak mau mengikuti keinginan keluarganya. Biaya pernikahan pun membengkak menjadi Rp 50 Juta. Padahal, upahnya saat itu hanya Rp 3,5 Juta per bulan. Alhasil, untuk menutupi kekurangan biaya, Rio meminjam uang ke sanak-saudaranya.
“Mau minjem sama sodara juga tetep aja harus dibayar,”ujar Rio sambil tergelak.
Sesudah berumah-tangga, beberapa masalah keuangan membayangi. Tahun 2022 seakan menjadi saksi kedua pasangan suami-istri ini bertahan hidup. Terutama saat kelahiran sang buah hati mereka. Rio dan Adinda masih dapat bernafas lega, karena biaya persalinan ditanggung oleh BPJS.
Rio dan Adinda sempat kelimpungan mengelola rumah tangga mereka. Upah mereka berdua, jika digabungkan besarnya Rp. 10 Juta, tak cukup untuk menutupi kebutuhan hidup. Selalu saja ada pengeluaran tak terduga.
Sama-sama bekerja di pabrik pembuatan alas kaki, suami istri ini sering terpaksa kerja lembur hingga tak memiliki waktu untuk sekedar memasak atau berbelanja. Rio memahami keengganan Adinda memasak hidangan rumahan. Sesudah kelelahan bekerja, Adinda masih harus bekerja merawat si bayi.
Tak punya waktu untuk sekedar berbelanja, Rio dan Adinda menyiasati dengan berbelanja online. Namun tak disangka, pengeluaran malah membumbung tinggi.
“Banyak banget pengeluaran tak terduga, kaya beli popok sama baru-baru ini beli motor buat berangkat kerja ke pabrik. Biar lebih praktis.,” ujar Rio.
Rio tak percaya kalau kalang-kabutnya keuangan keluarga disebabkan oleh ketidakmampuan mengelola keuangan keluarga atau karena gaya hidup mewah. Upah yang terlalu rendah sungguh menyulitkan mereka untuk hidup selayaknya sebagai keluarga. Sementara, sepatu yang mereka buat dijual dengan harga setara upah bulanan lima orang buruh di Purwakarta.
Sudah semestinya, kenaikan upah secara rasional mengikuti kenaikan biaya hidup. Dan, pemerintah seharusnya bergerak untuk menurunkan harga pangan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya.
***
Mendung semakin gelap di atas langit Bandung saat Pejabat Gubernur Barat Bey Machmudin mengetuk palu untuk menetapkan Upah Minimum Propinsi Jawa Barat untuk 2024, pada Kamis, 30 November 2023. Artinya, tuntutan 15% kenaikan upah tidak digubris. Pengurus publik itu hanya menaikan upah minimum ala kadarnya. Lebih aneh lagi, menjelang penetapan upah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mengeluarkan surat edaran yang kurang lebih berisi ceramah hukum -yang tidak diminta- tentang illegalnya aksi mogok untuk menuntut kenaikan upah.
Tak puas dengan Penetapan Upah Minimum Provinsi 2024, menjelang sore para buruh bergerak memblokade akses menuju gerbang tol Pasteur. Untuk beberapa lama, kemacetan melumpuhkan Bandung.
Selanjutnya, mudah ditebak, negara merespon kekecewaan buruh dengan mengerahkan aparatnya untuk membubarkan blokade. Massa aksi buruh bertahan menjelang petang, hingga langit menggelap dan hujan deras mengguyur seluruh kota.
Dalam perjalanan pulang di tengah hujan deras, saya teringat pesan dari Rio tentang aksi pengupahan tahun ini.
“Perlawanan buruh tak hanya tentang geruduk kantor pemerintah. Tapi yang paling penting adalah memperkuat akar perlawanan di pabrik. Karena musuh kita yang punya pabrik.”
Rio dan rekan-rekan sekerjanya bermimpi, suatu hari negosiasi buruh tak melulu soal upah. Lebih dari itu, mereka ingin memiliki saham dari pabrik pembuatan alas kaki tersebut dan menjalankan pabrik dengan sistem swakelola pekerja.
“Imajinasi kita harus lebih dari soal upah dan hak normatif,” tegas Rio.
Reporter: Baskara Hendarto
Editor: Suyatno