Categories
Telusur

Buruknya K3 dan Dekatnya Maut di PT IMIP

Trimurti.id – Hari itu menjadi hari terakhir bagi Marjan Daud, seorang pria paruh baya asal Ampana, Sulawesi Tengah, yang sempat menjadi buruh di kawasan industri Morowali. Ia bekerja di PT Ocean Sky Metal Industry (OSMI), salah satu subkontraktor yang beroperasi di bawah jaringan PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), kawasan industri nikel terbesar di Indonesia. 

Sebagai anggota Divisi Molding, saat itu ia ditugaskan untuk membersihkan hot briquetted (HB), material logam yang sudah mengeras dan menyumbat londer—jalur aliran cairan nikel.  

“Sebenarnya HB tidak boleh diangkat oleh manusia,” ungkap Komang Jordi, Ketua Harian Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM), via telepon, Selasa (25/2/2025).

Sebelumnya terdapat crane yang biasa digunakan untuk mengangkat material berat itu, tapi dua tahun belakangan alat ini tidak lagi tersedia. Karenanya para buruh harus memindahkan material itu dengan tangan mereka sendiri. Biasanya dilakukan oleh tiga hingga empat orang.

Sayangnya, pada hari kejadian,  Minggu, 16 Februari 2025, Marjan bekerja seorang diri. Saat mencoba mendorong potongan HB ke ujung londer, posisi Marjan tidak ergonomis. Tubuhnya tersungkur dan HB seberat 150 kilogram itu jatuh menghantam sisi kanan wajahnya. 

“Karyawan di dalam kawasan itu tidak mungkin mengerjakan satu hal tanpa komando dari pengawasan itu sendiri. Kita mengerjakan suatu hal dalam pabrik itu atas dasar instruksi dan perintah,” tukas Jordi. 

Setelah kematiannya, produksi hanya berhenti selama beberapa jam dan segera kembali beroperasi. Mesin-mesin kembali bekerja seperti tidak ada yang terjadi. Seolah hanya satu nyawa buruh yang hilang dan bisa diganti oleh buruh lainnya.

Kematian Marjan Daud bukan yang pertama kali terjadi di kawasan industri IMIP. Pada 2023, ledakan tungku di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) menewaskan 21 buruh yang hangus terbakar. Sepanjang 2024, terdapat 38 kecelakaan kerja yang dilaporkan di sektor tambang dan smelter dengan total 120 korban—32 di antaranya meninggal.

Setiap hari buruh bekerja dalam kondisi yang mengabaikan kesejahteraan mereka demi kepentingan produksi. Beban kerja yang berlebihan menempatkan buruh dalam kondisi rentan terhadap kecelakaan dan kematian. Jam kerja panjang, minim waktu istirahat, dan target produksi yang tinggi menjadi penyebabnya.

Menurut Komang Jordi, pihak manajemen tidak pernah memberikan pernyataan yang jelas terkait insiden kecelakaan kerja. Namun, dari setiap rilisan resmi yang dikeluarkan setelah insiden terjadi, perusahaan selalu menggiring narasi bahwa buruhlah yang bersalah. 

“Kami menganggap bahwa pihak manajemen itu justru menyalahkan pihak buruh. Misalkan faktor kelalaian dari buruh itu sendiri,” ujarnya.

Narasi ini dilontarkan agar perusahaan terhindar dari tanggung jawab. Padahal, buruh tidak memiliki kendali atas kondisi kerja mereka. Mereka dipaksa bekerja dalam kondisi berbahaya tanpa jaminan keselamatan yang layak.

Karena kurangnya alat dan pengawasan yang memadai, kecelakaan kerja praktis bukan kelalaian individu, melainkan perusahaan yang lalai atas keselamatan buruhnya.

Industri Berisiko Tinggi, Regulasi yang Usang

Bekerja di industri nikel berarti menghadapi risiko tinggi setiap hari. Buruh dihadapkan pada panas ekstrem, bahan kimia berbahaya, mesin berat, serta potensi ledakan dari uap dan cairan logam. Situasi ini menuntut regulasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3) yang tegas dan relevan dengan kondisi kerja hari ini.

Di atas kertas, regulasi K3 seharusnya memberikan perlindungan bagi buruh. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, yang menjadi acuan utama, telah berusia lebih dari lima dekade. Seiring berjalannya waktu, kompleksitas dan teknologi dalam industri telah berkembang pesat, membuat banyak ketentuan dalam UU tersebut tidak lagi relevan. 

Misalnya, sanksi bagi perusahaan yang melanggar aturan keselamatan kerja hanya berupa denda maksimal Rp100.000. Jumlah itu tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi buruh di lapangan dan keuntungan yang diperoleh perusahaan. 

Kesadaran akan urgensi pembaruan untuk regulasi ini bukan hal baru. Pada tahun 2019, pemerintah memasukkan revisi UU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024. Pada 2024, Komisi IX DPR RI kembali mendorong pembahasannya. Namun, hingga kini tak ada tanda-tanda kemajuan. 

Berbagai produk hukum lain yang menguntungkan pengusaha dengan cepat diloloskan, sementara revisi yang bisa melindungi buruh dibiarkan terkatung-katung tanpa kepastian. 

Catur Widi, seorang peneliti Rasamala Hijau, menyoroti bagaimana regulasi keselamatan kerja di Indonesia masih bersifat preventif, bukan represif. Artinya, aturan yang ada lebih menekankan pada langkah pencegahan, tapi tidak memiliki mekanisme sanksi yang keras. Regulasi ini tidak memberikan tekanan yang cukup agar industri benar-benar memastikan keselamatan buruhnya.

Alih-alih demikian, yang terjadi justru sebaliknya. Tidak ada penghentian produksi, tidak ada audit independen yang melibatkan serikat buruh, tidak ada pencabutan izin.

Catur menegaskan bahwa pemerintah selama ini hanya melihat IMIP dari sisi keuntungan ekonomi tanpa memikirkan nasib buruh yang bekerja di dalamnya. 

“Pemerintah ngomongin prostrat (program strategis) hanya sampai nilai yang dihasilkan, gak ngomongin tentang manusianya,” ujarnya, Jumat (27/2/2025).

Regulasi yang usang dan sistem pengawasan yang lemah dapat memperpanjang daftar korban. Satu-satunya hal yang pasti bagi buruh ialah ancaman kecelakaan kerja, kalau tidak nyawa terenggut, dan hanya bertengger dalam data laporan tahunan.

“Kalau ada ‘pengusaha lalai’ bisa dipidana, bisa dicabut izinnya. Agar perusahan besar bisa menghargai nyawa setinggi-tingginya,” ujar Catur Widi.

Kompensasi Tidak Mungkin Seharga Nyawa

Ketika seorang buruh kehilangan nyawanya di tempat kerja, sering kali kematian ini menjadi pukulan telak bagi keluarga yang mereka tinggalkan.

IMIP dan perusahaan subkontraktornya kerap mengklaim bahwa mereka telah memberikan kompensasi bagi keluarga korban yang ditinggalkan. 

“Uang kompensasi itu tanggung jawab minimal dalam kecelakaan kerja. Seberapa besar kompensasinya, tidak akan seharga nyawa.” ujar Catur.

Kasus Marjan Daud menjadi salah satu contoh bagaimana pemberian kompensasi lebih banyak bergantung pada tekanan publik ketimbang mekanisme yang adil dan transparan. 

Setelah kematiannya, SPIM menggelar kampanye besar-besaran, termasuk tekanan melalui media dan aksi massa. Setelah kasus Marjan Daud banyak diberitakan, barulah IMIP memberikan kompensasi sebesar Rp600 juta kepada keluarga Marjan. 

Di sisi lain, kematian seorang buruh lainnya di bulan Januari 2025, tidak mendapat sorotan luas. “Ini masih simpang siur dan belum saya pastikan, tapi kompensasi itu tidak diberikan,” ungkap Jordi. “Kalau ter-blow-up di media, baru ada kompensasi. Kalau tidak, ya, sudah, tidak ada,” lanjutnya.

Bahkan ketika uang kompensasi diberikan, jumlahnya tetap tidak sebanding. Meskipun uang yang diberikan berkisar ratusan juta rupiah, tidak menjamin keberlanjutan hidup keluarga yang ditinggalkan.

Bagi buruh yang mengalami kecelakaan kerja tapi masih bisa selamat, tak kalah miris. Mereka sering kali harus berjuang sendiri untuk mendapatkan hak-hak dasar, seperti biaya pengobatan, rehabilitasi, dan pendampingan keluarga. Catur mengungkapkan banyaknya biaya tersembunyi yang jarang diperhitungkan oleh perusahaan. 

“Korban luka justru butuh biaya yang tidak sedikit. Misalnya, uang jalan, uang tunggu, yang harus ditanggung keluarga,” jelasnya.

Selain beban finansial, akses terhadap layanan kesehatan di kawasan IMIP pun sangat terbatas. Kuota layanan di klinik perusahaan hanya untuk 300 orang per hari, jumlah yang jauh dari cukup untuk menampung ribuan buruh di kawasan industri. 

Jika kuota penuh, buruh harus mencari pengobatan di luar dengan biaya sendiri. Risikonya lebih besar, buruh yang sakit ringan seringkali ditolak oleh klinik perusahaan, dan tanpa surat keterangan sakit resmi dari klinik internal, mereka bisa dianggap mangkir kerja. Akibatnya, mereka berisiko kehilangan tunjangan kehadiran, mengalami pemotongan upah, atau bahkan diberhentikan dari pekerjaan.

Di balik rangkaian kecelakaan kerja yang terus terjadi, tidak pernah ada penetapan tersangka atas insiden yang merenggut nyawa buruh. Sulit juga menagih pertanggungjawaban dari pihak manajemen, pengawas, atau pemerintah.

Buruh tidak mungkin dengan sengaja menempatkan dirinya dalam bahaya. Jam kerja panjang, tekanan produksi, dan minimnya perlindungan merupakan faktor utama yang membuat kondisi kerja dibayangi mara bahaya.

Reporter: Olivia A. Margareth

Editor: Rokky Rivandy