Categories
Montase

Palagan di Kota Kembang: Warga Bandung Tuntut TNI Kembali ke Barak

Trimurti.id – Ketika kebijakan pemerintah mengusik nalar, gelombang kegelisahan kembali berdenyut di Bandung, kota yang tak berhenti bergerak sejak masa kolonial.
Ruang publik di kota ini kembali menjadi panggung untuk menyuarakan kritik. Slogan protes terpampang di mana-mana, dan ketidakpuasan mengalun dalam lagu dan teriakkan.
Dalam beberapa hari terakhir, ratusan warga turun ke jalan untuk menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), yang dianggap sangat bermasalah dan dicurigai akan mengembalikan militerisme ala Orde Baru.
Menurut Heri Pramono, Direktur LBH Bandung, ada tiga poin utama yang menjadi alasan penolakan terhadap revisi UU TNI. Pertama, undang-undang ini menyimpang dari amanat Reformasi yang mencabut Dwi Fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Kedua, legitimasi TNI dalam ranah sipil semakin menguat. Dan ketiga, TNI seharusnya berfokus pada pertahanan dan keamanan dari ancaman luar, bukan berfungsi sebagai pelayan publik. Beliau menegaskan bahwa ini hanya gambaran singkat, sedangkan masalah yang ada jauh lebih kompleks.
Aksi protes kini sedang dan telah menggema di berbagai kota. Malang, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Bandung, Lumajang, Samarinda, Sukabumi, dan wilayah-wilayah lain yang tak sempat tercatat.
Berikut ini adalah amatan lensa atas Aksi Warga Bandung Tuntut Cabut UU TNI,20-21 Maret 2025, yang berlangsung di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Barat, Kota Bandung, dan ruas-ruas jalan sekitarnya.


Selain berbagai spanduk, poster dan orasi cabut UU TNI, massa aksi juga menuntut pemerintah untuk segera mewujudkan reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional. Menurut mereka, dua program prokesejahteraan rakyat itu tak pernah dilaksanakan sejak Republik Indonesia lahir.
Sejarah mencatat, lanjut orator, hingga hari ini, yang hadir di tengah-tengah kehidupan kita hanyalah berbagai regulasi yang memiskinkan rakyat dan merepresi supremasi sipil, salah satunya UU TNI.


Para demonstran juga mengingatkan, penolakan UU TNI ini bukan soal mana aparat yang baik, mana aparat yang buruk. Baik polisi maupun tentara, menurut mereka, adalah juga alat negara yang digunakan untuk kepentingan penguasa. Melalui UU TNI yang disusun dan disahkan secara tergesa-gesa dan tertutup ini, patut diduga kepentingan macam apa yang sedang dilindungi, begitu kata orator. Meminjam kalimat dalam salah satu poster, “siasat sesat penjahat”.


UU TNI juga memberikan karpet merah pada sejumlah pejabat hirarki atas militer untuk menduduki jabatan sipil dan memperluas wewenang mereka. Selagi membangun legitimasi hukum untuk menguasai “teritori” sipil, tentara telah dan sedang membangun imperium kekuasaan ekonominya atas nama pengamanan aset negara di tengah gejolak protes untuk menuntut tentara kembali ke barak. Dua dari upaya menancapkan kuasa mereka atas ekonominya, berlangsung belum lama ini:
Pertama, penertiban kawasan hutan di 19 Provinsi dari Sumatera Utara hingga Papua sejak 24 Februari hingga 18 Maret 2025 dengan total luas lahan mencapai 317 ribu hektare.
Kedua, pengambilalihan PT Duta Palma Group oleh PT. Agrinas Palma Nusantara Persero, sebuah perusahaan yang diisi oleh tentara, dari level general manager hingga jajaran tinggi direksi. Rapat pengambilalihan yang berlangsung pada 10 Maret 2025 tersebut bahkan dihadiri oleh Mayjen TNI Jamalulael.


Selagi para pejabat tinggi TNI sibuk mengamankan sejumlah “aset”, rakyat Indonesia di berbagai kota/kabupaten mengkonsolidasi kekuatan dan memobolisisasi kemuakan mereka yang diarahkan pada gedung-gedung yang merepresentasikan kekuasaan. Di Bandung, sebagaimana protes yang berlangsung di kota/kabupaten lain di Indonesia, aparat bersenjata lengkap dengan tameng, pentungan, dan mobil pengurai massa, berjajar di gedung DPRD Jawa Barat.
Aparat kepolisian membelakangi gedung yang mereka lindungi dan mengarahkan moncong-moncong pelontar gas air mata pada ratusan massa rakyat yang berteriak memprotes kebijakan yang akan merenggut supremasi sipil.

.


Sejak penyusunan hingga protes yang muncul setelah UU TNI disahkan, tak ada partisipasi, tak ada kesempatan untuk rakyat menginterupsi. Maka teranglah sudah, apa yang diniatkan dari UU yang melabrak segala aturan dan mengembalikan tentara ke tampuk kekuasaan. Mengutip apa yang viral di media sosial belakangan: “you pass the law, (then) we start the war”.


Barangkali, ada benarnya juga, secuil lirik lagu dari Pidi Baiq, “Dan Bandung bagiku bukan cuma urusan wilayah belaka.” sore itu, Bandung melibatkan berbagai kemarahan dan kemuakan yang mengubah lanskap Bandung yang sering diromantisir itu jadi palagan rakyat vs penguasa.

Catatan:

Hingga tulisan ini dipublikasi, aksi menutut dicabutnya UU TNI masih berlangsung di beberapa Kota/Kabupaten seperti Karawang dan Bekasi.

Fotografer: Baskara Hendarto, Dudi Nirwana

Teks: Abdul Harahap, Cecep Hidayat

Editor: Sentot