Trimurti.id, Bandung – 4 November 2023. Tahun ini kota Bandung menginjak usia ke 213. Didirikan di masa kolonial, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, Bandung tentu menempuh pasang-surut gejolak politik dari pra kemerdekaan sampai sekarang.
Meskipun kemerdekaan sudah digenggam 78 tahun lamanya, dan sudah ada upaya untuk memerdekakan hukum pertanahan melalui Undang-undang Pokok Agraria 1960, masih ada saja aktor-aktor (perorangan, perusahaan, pemerintah kota) yang menggunakan dokumen kepemilikan/penguasaan lahan masa Hindia Belanda untuk merebut lahan dan mengusir warga yang sudah tinggal di atasnya selama bergenerasi.
Bandung tidak kekurangan contoh untuk kasus semacam di atas. Warga Dago Elos sekonyong-konyong digugat oleh tiga bersaudara Muller (Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller), dibantu PT. Dago Inti Graha, yang mengaku mewarisi lahan seluas 6,9 Hectare, berdasarkan surat tanah Eigendom Verponding konon milik moyangnya.
Warga Dago Kanayakan tak kurang naasnya. Mereka terancam tergusur sesudah digugat di pengadilan oleh ahli waris dari Herman Cantinus van Blommestein dan Njimas Entjeh, bersama PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI).
Warga RW 11 Tamansari juga harus tersingkir sesudah pemerintah kota Bandung berencana membangun rumah deret di atas kampung yang sudah mereka huni bertahun-tahun. Pemerintah kota Bandung mendasarkan haknya dari akta jual beli tanah masa kolonial, antara pemilik sebelumnya dengan Gemeente Bandoeng. Sudah jelas, pihak pemerintah kota menganggap dirinya sebagai penerus yang berhak mewarisi lahan-lahan yang dikuasai Gemeente Bandoeng.
Daftar antrian calon korban penggusuran masih mungkin untuk diperpanjang dengan warga yang tinggal di sekitar jalan kereta api, atau lahan-lahan yang didaku sebagai milik PT. KAI. Lahan-lahan yang didaku PT. KAI tersebut dulunya adalah milik perusahaan kereta api swasta masa Hindia Belanda.
Berbagai kasus penggusuran di Bandung itulah yang menjadi pusat perbincangan dalam diskusi yang bertajuk “Sumber-Sumber Sejarah untuk Keadilan Agraria.” Diskusi berlangsung sore hari pada 31 Oktober lalu di sebuah kedai kopi di Bandung Utara.
Ada dua pertanyaan yang muncul dari diskusi ini. Pertama, warga Dago Elos dan warga Dago Kanayakan keduanya sangat meragukan bahwa lawan mereka benar-benar memiliki dokumen Eigendom Verponding dimaksud. Singkatnya, jangan-jangan dokumen itu palsu atau sama sekali tidak ada. Karena itulah, ada kebutuhan bagi warga biasa untuk dapat mengakses dokumen tanah dari zaman Hindia Belanda.
Kedua, pertanyaan yang lebih penting, mengapa hingga sekarang persoalan agraria seperti kepemilikan lahan, penataan ruang, dan pembangunan kota masih menyandarkan diri pada surat tanah dan undang-undang masa Hindia Belanda?
Dalam diskusi tersebut Ujang Saefudin, yang mengamati kasus Dago Elos, menceritakan bahwa tiga bersaudara Muller jelas-jelas memanfaatkan hak pertanahan masa kolonial yang seharusnya tidak dapat digunakan lagi. Dan, jangan-jangan pula mereka menggunakan dokumen palsu. Tim Advokasi Dago Elos sendiri sudah menguak berbagai kebohongan keluarga Muller berdasarkan studi dokumen yang mereka lakukan. Tiga bersaudara Muller, misalnya, mengaku bahwa leluhurnya merupakan “orang Belanda kerabat Ratu Wilhelmina yang ditugaskan di Indonesia.” Singkat cerita, trio Muller sengaja mencatut nama Ratu Wilhelmina dan menggunakan cara-cara kolonial untuk merebut lahan.
Ikut urun pendapat dalam diskusi ini adalah Diana Suhardiman, ilmuwan Indonesia yang bekerja di Koninklijk Instituut vor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), lembaga Kerajaan Belanda yang memusatkan penelitiannya di wilayah Asia Tenggara dan Karibia.
Diana cukup heran, dalam beberapa konflik agraria di Indonesia masih ada saja pihak yang mendasarkan kepemilikan lahan pada dokumen dan arsip kolonial. Menurutnya, saat ini arus dekolonisasi sedang bergelora di Belanda. Orang Belanda malah sedang merenungkan dengan kritis penjajahan yang dilakukan oleh nenerk moyang mereka di masa lalu.
Diana merasa tak beres dengan konflik pertanahan yang dihadapi warga. Ia dengan tegas mengatakan, “Ini masalahnya tidak hanya soal arsip, tetapi juga ketidakmampuan negara menyelesaikan kasus (Baca: tanah).” Diana menambahkan, bukankah arsip kolonial tersebut dibuat bukan untuk kepentingan masyarakat luas, melainkan untuk kepentingan penjajahan?
Sementara itu, peneliti independen Frans Ari Prasetyo mengungkapkan, arsip pertanahan masa lalu dikuasai oleh negara dan masyarakat luas tidak dapat mengaksesnya. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh mafia tanah dan acapkali menjadi permainan politik. “Sehingga, beberapa arsip ini menjadi senjata alat dalam mengklaim tanah, yang akhirnya menjadi permainan dalam merampas tanah,”ucap Frans. Lebih lanjut Frans menegaskan bahwa Dago Elos hanya secuil lahan yang dirampas berdasarkan arsip kolonial. Boleh jadi perampasan akan berlanjut dari Dago Elos ke hamparan lahan yang lebih luas.
Diskusi hangat ini, dihadiri puluhan orang dari berbagai latar organisasi, rupanya harus berakhir karena hari mulai petang. Pada akhir sesi diskusi moderator menyampaikan bahwa memang arsip tidak dapat menyelesaikan kasus konflik ruang, terlebih arsip yang dibuat oleh kolonial Belanda sering tidak berpihak padarakyat. Tapi akses rakyat terhadap arsip kolonial juga dapat digunakan untuk menantang mafia tanah penipu dan korporasi yang ingin merampas lahan dan mengusir warga dari ruang hidupnya.
Reporter: Baskara Hendarto
Editor: Rudi Subekti