Categories
Orasi

Konflik Agraria Tak Kunjung Usai, Tiga Petani Pakel Kini Menjadi Korban

Trimurti.id – Penangkapan tiga petani Desa Pakel pada Februari lalu, berujung pada putusan vonis lima tahun enam bulan. Mereka adalah Mulyadi, Suwarno dan Untung, yakni petani yang aktif dalam perlawanan demi memperjuangkan tanah Desa Pakel.

Putusan tersebut dilayangkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi atas dasar tuduhan penyebaran berita bohong. Di tengah bukti-bukti lemah serta kondisi desa yang sedang dilanda konflik agraria sejak hampir satu abad, institusi hukum dengan jelas memperlihatkan ketidakberpihakannya terhadap warga Desa Pakel.

Penjatuhan vonis terhadap tiga petani Desa Pakel berawal dari laporan seorang warga Desa Pakel yang pernah menjadi bagian dari perjuangan Desa Pakel. Di tengah perjuangannya tersebut, ia memilih mundur. Entah angin apa yang membuatnya berbalik arah, ia malah menyatakan bahwa  perjuangan Desa Pakel dalam memperjuangkan hak atas tanah merupakan hasutan dari Mulyadi, Suwarno dan Untung. Baginya, perjuangan ketiga petani dalam mempertahankan tanahnya tersebut merupakan tindakan provokatif.

Pelaporan olehnya sukses menghambat perjuangan warga Desa Pakel. Fokus advokasi terpecah, baik warga maupun jejaring advokasi. Sehingga upaya advokasi struktural seperti ke ATR/BPN menjadi terhambat.

Warga Desa Pakel pun khawatir diperlakukan serupa. Apalagi pasca penangkapan tiga petani Pakel, sekira tiga warga dipanggil kepolisian terkait klarifikasi menyoal aksi pendudukan lahan dan tuduhan merusak komoditas kebun.

 

Tiga Petani Pakel Merupakan Korban Kriminalisasi

Sekalipun penangkapan terhadap tiga petani Pakel berasal dari laporan seorang warga sipil, negara lah yang jadi tokoh utama pelaku pemidanaan ini. Serangkaian upaya struktural yang sistematis dan terukur dilakukan demi membungkam suara warga serta menghambat perjuangan, dengan menggunakan serangkaian instrumen hukum dan alat penegak hukum. Siapa lagi yang punya kuasa terhadap instrumen hukum dan alat penegak hukum selain negara? Maka, menurut hemat penulis, penangkapan terhadap Mulyadi, Suwarno dan Untung merupakan bentuk kriminalisasi.

Bentuk kriminalisasi tersebut jelas pula terlihat pada proses penangkapan sewenang-wenang yang serampangan dengan tanpa menunjukkan surat tugas serta surat penangkapan yang disertai identitas ketiga petani. Penangkapan pun dilakukan saat praperadilan sedang berjalan.

Kemudian, penetapan tersangka tersebut tidak sah berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebab surat pemanggilan pemeriksaan dilakukan secara mendadak dan dikirim via kurir, yang seharusnya dilakukan pihak kepolisian secara langsung.

Proses maladministrasi yang dilakukan sejak awal penangkapan hingga putusan, yang berasaskan bukti-bukti lemah tersebut jelas memperlihatkan posisi Majelis Hakim yang berat sebelah. Ditambah lagi fakta pada kasus lain, di tahun 2019, pelapor pernah dilaporkan oleh PT Perkebunan karena menanam pisang di kebun yang diklaim PT Perkebunan. Namun, dibebaskan dengan salah satu dalil bahwa sedang terjadi konflik agraria di Pakel. Lalu, apa bedanya dengan sekarang? Bukankah Pakel masih berkonflik hingga hari ini?

 

Perampasan Tanah Desa Pakel

Warga Desa Pakel yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel merupakan korban ketimpangan penguasaan lahan, di mana banyak warganya yang tak dapat mengakses lahan. Dampaknya, banyak dari mereka yang akhirnya berprofesi menjadi buruh tani, serta lainnya bermigrasi ke luar daerah.

Pemberian HGU (Hak Guna Usaha) tanpa melihat persoalan ketimpangan lahan serta sosial ekonomi, justru meningkatkan konflik. Hal tersebut juga merupakan bentuk pengeksklusian (:penyingkiran) warga dari sumber-sumber agraria yang menjadi tumpuan hidup. Dalam hal ini, HGU adalah wujud perampasan ruang hidup.

Warga bersama TeKAD GARUDA (Tim Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria) telah menyampaikan di setiap kesempatan kepada stakeholder Banyuwangi dan instansi terkait atau pemegang mandat kekuasaan bahkan majelis hakim bahwa secara data dan fakta, warga  Desa Pakel ialah korban ketimpangan penguasaan tanah sehingga mengakibatkan defisit penguasaan tanah oleh warganya.

Dari total luas lahan Desa Pakel, yakni 1.309,7 hektar, sejumlah 2.760 jiwa warga Desa Pakel hanya berhak mengelola lahan kurang lebih seluas 321,6 hektar. Ini diketahui setelah ada proses telaah penguasaan lahan di Pakel melalui overlay peta kawasan. Dalam penguasaan lahan tersebut, jika dirinci, terdapat HGU PT Bumi Sari seluas 271,6 hektar, serta ada 716,5 hektar yang dikuasai oleh Perhutani KPH Banyuwangi Barat. Maka dari itu, warga berjuang untuk memperoleh hak atas tanah.

 

Putusan Gegabah Merampas Hak Petani Pakel

Warga Pakel serta TeKAD GARUDA telah melakukan beraneka upaya yang lazim dilakukan, layaknya warga negara yang ingin mendapatkan haknya melalui saluran demokrasi yang tersedia, seperti menyampaikan duduk perkara konflik lahan Pakel ke pihak yang berkuasa, dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi hingga ATR/BPN. Meski ada Perpres tentang Penyelesaian Konflik Agraria yang memandatkan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria, namun sampai saat ini belum ada langkah konkret dan progresif dari pemerintah.

Kasus ini menjadi bukti penting, bahwa negara melalui institusinya sama sekali tidak berpihak kepada warga yang memperjuangkan hak atas ruang hidup. Di sini tampak pula jika negara belum mampu memenuhi dan menjamin hak asasi manusia. Sebab, ketiga petani Pakel ini bukan kriminal, melainkan hanya warga kampung yang berupaya untuk mendapatkan hak atas tanah mereka, serta memastikan hak hidup yang berkelanjutan terpenuhi melalui distribusi lahan yang adil dengan menghapus ketimpangan.

Catatan ini akan menjadi noda hitam yang memperlihatkan bahwa kehadiran negara di tengah warga bukanlah untuk memberikan rasa adil, melainkan sebaliknya. Negara malah memberikan teror-teror atas dasar kepentingan korporasi.

Kriminalisasi terhadap tiga petani Pakel menunjukkan kegagalan negara dalam memahami akar persoalan Desa Pakel. Janji-janji penyelesaian hanya menjadi dalih usang menjelang pemilu para elitis.

Warga Desa Pakel merupakan korban ketidakadilan dari perampasan ruang hidup yang dilegitimasi negara. Maka, sebagai warga negara, warga Desa Pakel akan terus menyuarakan bahwa konflik agraria Pakel harus diselesaikan dan HGU yang berada di wilayah Pakel harus diredistribusi untuk kepentingan keberlanjutan kehidupan rakyat.

 

Penulis: Wahyu Eka Setyawan (WALHI Jawa Timur)

Editor: Nana Miranda